Alea menatap pintu yang sudah tertutup. Aroma Dokter Akandra masih tertinggal. Ia tahu parfum yang digunakan pria itu sama dengan papinya. Maskulin dan sangat menenangkan. Sama seperti tutur katanya yang terdengar lembut. Juga tatapan yang sanggup membuat detak jantung Alea meningkat.
Dokter Akandra. Berkali-kali Alea mengulang nama itu dalam hati. Tadi merupakan pertemuan pertama dimana ia tidak memiliki kesan dingin dan arogan terhadap pria itu. Apalagi mengingat sikapnya pada anak-anak. Pantas ia menjadi salah satu dokter terbaik disini meski masih cukup muda.
Pria itu tidak terlalu tampan, namun memiliki kharisma tersendiri yang tidak terelakkan. Seorang pendengar yang baik, malah ada kesan kalau sebenarnya pendiam. Sikapnya sangat sopan terhadap siapapun termasuk perawat yang selalu menemaninya. Bahkan mami Alea sudah jatuh cinta padanya. Sampai pernah bilang,
[Kalau saja Dokter Akandra mau jadi menantu mami. Langsung akan mami setujui.]
Maminya yang sangat jarang memuji laki-laki saja bisa mengatakan itu pada pertemuan ketiga. Bayangkan bagaimana sikap pria itu tidak hanya meluluhkan hati maminya, namun juga Alea! Sayang ia tidak tahu apapun tentang laki-laki itu selain tidak ada cincin dijari manisnya. Untuk bertanya ia masih malu, takut menimbulkan banyak gosip diluar sana.
***
Akhirnya Alea keluar dari rumah sakit seminggu kemudian. Sakit saluran pencernaanya benar-benar parah, ditambah lagi tekanan darah dan kolesterolnya juga bermasalah. Membuatnya harus beristirahat total. Namun rasanya hari-hari tidak terlalu membosankan, apalagi saat Akandra mengunjunginya. Meski statusnya hanya sebagai pasien.
Pria yang selalu muncul dengan tutur kata lembut dan senyum yang teduh. Tidak ada tatapan memuja pada netra pria itu, membuat Alea merasa sedikit kesal. Karena baru kali ini ada pria yang tidak penasaran atau ingin berlama-lama mengobrol dengannya. Semua hanya sekadar pertanyaan tentang penyakit dan sedikit saran. Setelah itu sang dokter akan meninggalkan ruangan, selalu seperti itu.
Sore hari saat Alea baru turun dari lantai lima belas, ia kembali berpapasan dengan sosok Akandra di lobby.
"Hai, sudah syuting?" sapa pria itu.
"Sudah dok, dokter mau visit?"
"Ya, bagaimana kesehatan kamu?"
"Lebih baik sih sekarang. Meski kadang masih lemas."
Dokter Akandra hanya tertawa,
"Jaga stamina ya. Jangan sampai dirawat lagi, kecuali kepengen ketemu terus dengan saya."
"Mau sih ketemu terus, tapi saya jangan tidur di rumah sakit. Mending ketemu sambil makan siang, dok." Alea mencoba memancing.
"Kamu terlalu sibuk, pasti waktunya susah. Nggak pusing lagi?"
"Udah enggak sih, tapi kolesterolnya yang susah banget turun."
"Ya selain memperbaiki pola makan harus rajin olahraga juga. Kalau belum kuat, jalan kaki boleh , yang ringan-ringan saja asal rutin."
"Kadang malas kalau sendirian, aku tuh kepengen ngajak seseorang. Tapi yang disekitarku semua malas olahraga."
"Atau perlu saya yang ajakin kamu?" ujar Akandra sambil tertawa.
"Dokter serius? Nanti malam ada waktu nggak" kejar Alea.
Kini dokter Akandra menatapnya lekat. Seakan tak percaya pada apa yang ia dengar.
"Saya ada waktu cuma dipagi hari saja, terutama sabtu dan minggu. Mau dihari itu aja?"
"Dokter serius?" Kini giliran Alea yang tak percaya.