Akandra baru saja memasukkan mobil ke garasi saat Pak Salim membuka pintu.
"Lho, bapak belum pulang?"
"Belum, itu di rumah sana ada keluarga menantu bapak yang sedang menginap. Jadi bapak minta ijin menginap disini."
"Oh nggak apa-apa. Malah bagus saya jadi ada yang nemenin."
Kadang kalau Akandra keluar kota, Pak Salim memang menginap disini. Baginya itu sudah biasa. Hubungan yang terjalin sejak pria itu masih kecil, membuat mereka sudah seperti sebuah keluarga. Memasuki ruang makan, Pak Salim yang mengikuti dari belakang segera berkata.
"Tadi sore ada yang kirim makanan lewat kurir." Ucap pria tua itu sambil menunjukkan sebuah wadah makanan yang masih terbungkus.
Akandra segera membuka, dan tersenyum saat melihat sebuah kartu bertuliskan
[Selamat makan, ini bukan masakanku. Tapi masakan eyang. Aku tidak ahli di dapur. Tapi percaya deh, ini pepes jamur terenak sedunia.
Alea]
"Makan yuk pak, enak nih." Ajak pria itu pada Pak Salim. Segera keduanya duduk di meja makan.
"Mau bapak ambilkan nasi?"
"Nggak usah, takut kekenyangan."
Keduanya menikmati makanan kiriman Alea tersebut. Selesai makan, pria itu segera masuk kekamar dan menghubungi sang gadis.
"Halo Alea, terima kasih, makanannya enak banget."
"Sama-sama, sudah dimakan?"
"Sudah habis malah. Tadinya aku rencana makan sama daun pisangnya sekalian. Untung disadarkan Pak Salim, kalau daun pisang nggak bisa dimakan."
Kalimat itu terdengar sangat serius sebenarnya, dan diucapkan dengan nada lembut khas seorang Akandra. Namun tak urung membuat Alea tertawa diujung sana.
"Sudah tengah malam, kok masih bercanda sih?"
"Lho, memang enak banget. Tapi kamu tahu nggak apa yang bikin tambah enak."
"Apa?"
"Karena aku makannya sambil bayangin kamu."
Tawa Alea semakin keras,
"Kamu tuh dokter atau komedian sih?"
"Kalau di rumah sakit aku dokter penyakit dalam, tapi kalau di rumah aku akan jadi dokter buat hati kamu, supaya kamu ketawa terus."
Keduanya tertawa bersama. Pria itu sendiri tidak habis pikir, kenapa ia bisa mengatakan hal tersebut. Padahal dulu joke kampungan seperti tadi hanya diucapkan di kantin sekolah. Ketika hidupnya belum mengenal apa itu sengsara. Saat papanya masih hidup dan masih punya waktu untuk menjadi kapten basket disekolahnya.