Alea meraih jemari Akandra kemudian mengecup punggung tangan itu sepenuh hati. Yang dikatakan kekasihnya benar, ia takkan sanggup menentang mereka. Tapi saat ini hatinya sudah terpaut pada pria yang tengah memeluknya. Pada kesederhaan, kejujuran, dan cinta tanpa batas yang tidak pernah didapat dari laki-laki lain. Mampukah ia menemukan cinta yang lain kelak?
Dunia Alea selama ini bagaikan menatap sebuah film dilayar lebar. Semua terlihat indah, namun penuh intrik didalamnya. Bahkan kadang ia tidak tahu siapa lawan atau kawan. Semua terlihat manis didepan bagai seekor burung merpati. Beberapa kali ia terjatuh dalam lubang cinta yang semu. Semua berakhir gagal.
Akandra menawarkan sesuatu yang berbeda. Ia memang bukan pria romantis. Juga tidak pernah mengiming-imingi dengan sesuatu yang tak terjangkaunya. Hubungan mereka berjalan natural, tidak ada yang memaksa atau merasa dipaksa. Pemikiran kekasihnya yang logis dan realistis membuat menjadikan mereka seperti teman dan sahabat. Sikap apa adanya itu sanggup menenangkan seluruh harinya.
Kini mereka berbaring di sofa ruang tamu, Tangan kekar milik Akandra memeluknya erat. Tidak ada yang mereka bicarakan lagi. Saat wajah pria itu terjatuh dibahunya. Beruntung sofa ini cukup besar, sehingga ia bisa sedikit bergeser kemudian merubah posisi tidurnya.
Matanya terpejam sempurna, dengan alis yang sangat tebal. Ada sideburn membiru terlihat dikedua rahangnya. Kenapa ia sangat mencintai pria ini? Jelas Akandra tidak akan bisa lolos dari penilaian eyang apalagi papi. Sanggupkah ia menyampaikan itu kelak?
Entah kenapa ia ingin menangis, berapa lama lagi mereka bisa seperti ini? Apakah Akandra bisa menerima keputusan keluarganya kelak? Seorang Alea tidak punya jawaban apapun. Inti dari permasalahan kelak bukan terletak dibahu pria itu, tetapi pada keputusannya.
***
Pagi hari, Alea bangun terlebih dahulu. Tidur Akandra sangat pulas. Tidak tega membangunkan, perempuan itu memilih bangkit menuju kamar untuk mencuci muka. Rumah terasa sangat sepi, hanya ada mereka berdua. Pak Salim belum datang. memasuki kamar pria itu ia tertegun sejenak. Semua tampak sangat rapi dan bersih, meski cukup banyak barang didalamnya. Selain sebuah lemari besar, beberapa ransel yang tampaknya berisi, juga beberapa kotak kotak besar yang bersusun. Tempat tidurnya sendiri berukuran queen size.
Perlahan jemarinya membuka kedua sisi jendela, halaman samping dan depan segera tampak jelas. Suasana jihau diluar sana membangkitkan moodnya pagi ini. Aroma khas pria masih memenuhi ruangan, ia tersenyum saat melihat fotonya dengan bingkai perak ada diatas nakas. Akandra sendiri yang memotret dan mencetaknya. Saat mereka tengah berdua di rumah ini. Bergegas ia memasuki kamar mandi untuk melakukan rutinitas dipagi hari. Selesai semua, ditatapnya cermin. Ada sebuah wajah yang terlihat merona tanpa make up disana. Ini pertama kali Alea tidur dalam pelukan kekasihnya tanpa melakukan apapun.
Meski selama ini ia juga memiliki batasan pada mantan kekasihnya, tapi Akandra memang berbeda. Tak sekalipun ada sentuhan dibagian sensitifnya, atau dengan sengaja tangan kekar pria itu menyentuh bagian terlarang. Ia benar-benar merasa dijaga. Seperti ini rasanya berpacaran dengan pria dewasa.
Keluar dari kamar, ada aroma kopi menguar dari atas meja. Sedikit malu sebenarnya, langkah jenjang itu mendekat.
"Selamat pagi pacar cantikku." Sapa Akandra
"Pagi juga. kamu malah sudah buat kopi? Perasaan aku ke kamar mandi tadi kamu belum bangun? Cepat amat?"
"Tadi sebenarnya aku sudah bangun, tapi pura-pura tidur aja biar bisa peluk kamu lebih lama. Lumayanlah obat kangen setelah lama nggak ketemu."
Jawaban itu segera membuat wajah sang gadis memerah.
"Mau roti atau nasi?"
"Roti saja, aku jarang sarapan berat."
"Aku malah terbiasa sarapan nasi. Karena aktifitas yang padat sepanjang hari. Jadi laparnya lebih lama karena butuh energy extra buat mengunjungi tiga rumah sakit."
Akandra lalu pamit sebentar ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baru kemudian keduanya duduk berhadapan, kali ini Alea yang melayani.