1995
Pagi itu seluruh sekolah dikejutkan dengan meninggalnya Ibu Eneng, istri dari Pak Salim, penjaga sekolah. Perempuan yang sudah lama terbaring sakit namun tak kunjung sembuh. Akandra menatap tubuh yang terbujur kaku dari pintu. Pak Salim terlihat menangis tanpa suara. Juga kedua putra putri mereka yang duduk disisi jenazah.
Seingatnya Bu Eneng adalah perempuan yang rajin. Ia menjadi saksi, saat sakitpun masih membersihkan seluruh kelas yang sudah kosong. Sementara Pak Salim akan menyapu halaman dan membersihkan kamar mandi. Lalu sekarang, siapa yang akan membantu? Anak mereka masih kecil-kecil. Tubuh Akandra malah lebih besar daripada mereka.
Setiap siang saat papa belum menjemputnya, Akandra akan bermain dibawah pohon. Ia selalu mendapat suguhan segelas teh, kadang juga diajak ikut makan siang. Bukan makanan mewah, tak jarang hanya telur dadar yang digoreng menjadi sangat tipis agar cukup untuk mereka semua. Terasa nikmat saat bisa makan sambil bercanda.
Sampai kemudian, ada beberapa teman yang melarangnya memasuki rumah Pak Salim. Kata mereka Bu Eneng menderita TBC, nanti menular dan tidak bisa sembuh. Ia juga mendengar kalau ada sekelompok orangtua siswa yang meminta keluarga itu diberhentikan.
Pernah Pak Salim diberhentikan, namun tak lama diminta bekerja kembali. Karena penggantinya tidak mampu membersihkan lingkungan sekolah sebersih ysng dilakukannya. Halaman dan kelas terlihat masih kotor saat pagi. Akhirnya mereka kembali dengan syarat Bu Eneng tidak boleh keluar dari rumah.
Akandra pernah menguping dari balik pintu, saat petugas kebersihan itu meminjam uang pada kepala sekolah. Permintaannya ditolak mentah-mentah dengan alasan tidak ada dana untuk Pak Salim. Karena hutangnya pada pihak sekolah sudah menumpuk.
Kembali ditatapnya tubuh kaku itu. Ia adalah saksi saat Pak Salim menarik nafas dalam karena terlalu letih bekerja. Harus mengurus istri yang sakit sekaligus menjalankan tugasnya. Kadang Akandra ikut membantu, sambil bekerja penjaga sekolahnya itu bercerita kalau biaya berobat itu mahal sekali. Berharap agar ia rajin sekolah supaya bisa mengobati orang miskin seperti Pak Salim.
Sampai pada suatu hari ia berkata, bahwa kelak akan menjadi dokter. Dan pada saat itu ia akan mengobati Bu Eneng secara gratis. Pria itu hanya tertawa dan segera mengaminkan cita-citanya.
***
"Kenapa tidak mau makan?" tanya Edwin sang ayah pada Akandra malam harinya.