Anganku terlanjur melayang pada memori empat belas tahun silam, tentang sebuah botol kaca bekas kemasan minuman berkarbonasi, dua surat masa lalu, dan sekuntum bunga Lily yang anggun sekaligus kuat.
---
Ali Nata Negara
Empat belas tahun lalu kota ini belum sepadat sekarang ketika harus kutinggalkan karena ayah dimutasi ke Sumatera untuk menduduki jabatan baru sebagai wakapolda. Satu hal yang paling mencolok adalah keberadaan fly over yang melintang di Jalan Gatot Subroto, seakan sedang menyentilku bahwa telah banyak yang berubah di sini, hampir sepenuhnya.
Aku bukan seorang pengamat tata kota, tetapi keberadaan fly over cukup menjelaskan bahwa kota ini mulai padat. Betul, padat, bukan sesak. Setahuku ada perbedaan definisi dari kedua kosa kata ini. Padat biasanya didasari dari perhitungan jumlah penduduk berbanding luas wilayah, sedangkan sesak lebih pada penilaian pribadi yang cenderung dipengaruhi kondisi psikologis. Padat atau tidaknya suatu kota berhubungan erat dengan penentuan tipe kepolisian di wilayah tersebut karena mempertimbangkan tingkat kerawanannya. Tetapi satu hal yang aku syukuri mendapat penempatan di kota masa lalu ini, karena iklim masyarakatnya cenderung stabil, minim konflik. Kapolda kami bahkan pernah setengah berkelakar saat apel rutin, jika di Jakarta ia bisa menerima laporan 30 kasus per hari, maka di sini jumlah itu mungkin untuk sebulan sekali.
"Ya nggak bisa dong, Mbak. Motornya harus tetap ditahan sampai sidang."
Suara lantang Brigadir Hendru beradu hingar-bingar kendaraan yang melintasi persimpangan fly over. Kulihat ia sedang berargumentasi dengan seorang perempuan muda. Tangan anggota satuan lalu lintas polresta itu sibuk menekan layar sentuh ponsel pintarnya. Sesuai ketentuan baru, mekanisme tilang bisa dilakukan secara online sekarang. Makin lama, ketegangan keduanya kian tinggi, bahkan mulai menjadi tontonan pengendara yang terhenti di traffic light. Tak enak hati, aku menghampiri untuk melerai.
"Kenapa, Ndru?" usutku hati-hati.
"Ini lho, Ndan, Mbaknya ngotot motornya nggak mau ditahan sampai sidang, padahal gak bawa SIM sama STNK. Udah nggak pakai helm, ngelanggar traffic light juga," terang Brigadir Hendru dengan nada dongkol.
"Tapi saya buru-buru mau ke RSUD sekarang, Pak. Nanti selesai dari RS saya akan selesaikan ke Polresta. Yang lain bisa lepas, kok saya nggak?"
Hendru yang perhatiannya sempat teralih ke ponsel mendadak mendongakkan kepala dengan wajah merah padam. "Mbak pikir polisi yang berdiri di sini umbul-umbul, sampai mau dikibulin? Jelas keliatan aja masih mau ngelak, apalagi kalau dilepas."
"Ndru, sudah!" tegurku tegas. Hendru mendengus. Kulirik perempuan muda berambut panjang yang menatap Hendru jengkel. "Karena Mbak nggak bawa kelengkapan surat, motor terpaksa kami tahan sebagai jaminan sampai proses sidang dan pembayaran denda selesai. Pengendara lain bebas karena ada jaminan surat, sebagian lain juga ada yang ditahan karena SIM atau STNK-nya belum diperbaharui padahal sudah habis masa berlaku."
"Tapi saya nggak mungkin menghadiri sidang kalau jam kerja."
Aku menghela napas kuat. Keras kepala sekali perempuan ini. Brigadir Hendru nyaris akan buka suara lagi seandainya tidak lebih dulu kupelototi. Perdebatan polisi dan pelanggar lalu lintas ini bisa menjadi pentas teater dadakan kalau tidak dilerai. Semoga tak ada yang iseng menjadi citizen journalis dengan merekam adegan kami lalu mengunggahnya ke media sosial. Malas sekali rasanya menjadi viral karena kasus.
"Mbak boleh tidak menghadiri sidang asal denda dibayarkan ke rekening yang tertera, nanti akan diberitahukan oleh petugas kami. Sekarang tolong serahkan kunci sepeda motor Mbak biar petugas kami bisa melaksanakan pekerjaannya dan Mbak bisa segera menyelesaikan tanggung jawab ke RSUD. Kurang etis jadi tontonan orang di bawah fly over begini."
Perempuan itu mengulurkan kunci sepeda motornya pasrah. Aku menggeleng pelan lalu meninggalkan Hendru untuk menyelesaikan tugasnya.
"Boro-boro pungli, ngeluarin duit beli penurun darah tinggi iya!" omel Hendru membuatku terkikik.
"Kerja ikhlas, Ndru. Biar berkah dan nggak nambah kerut di dahi!" tegurku sedikit berteriak karena Hendru mulai menjauh sambil membawa motor perempuan yang ditilangnya.
"Kenapa, Li?" tanya Bang Rivlan, seniorku sambil menepuk bahuku yang dilapisi rompi.
"Biasa, ribut sama pengendara yang ditilang." Aku mengedarkan pandang ke sekeliling jalan yang perlahan mulai lengang. "Udah selesai, Bang?"
"Udah. Penuh lagi nih parkiran polresta."
"Bukannya seneng panen?" kerlingku pada Bang Rivlan.
"Seneng mbahmu! Laporannya yang dipikirin! Kamu bujangan enak, yang tua mah alamat dikomplen bini lagi jarang pulang."
Aku hanya menanggapi keluhan Bang Rivlan dengan tawa. Tak ada habisnya jika dibahas. Baru akan beranjak menyusul anggota yang lain, tanpa sengaja manik mataku bertumbukan dengan perempuan yang tadi ditilang Hendru. Ia duduk di trotoar dengan menelungkupkan wajah pada sepasang tangan yang bertopang di atas paha. Jalanan mulai sepi. Mungkin karena ada razia, jadi banyak yang memilih jalan lain, termasuk para tukang ojek.