It's beutiful thing when career, love and passion come together.
---
Lily Diandra
Aliran darah ke otakku rasanya dipompa lebih cepat dari siklus normal membuat jantung berdebar-debar sekaligus napas tersengal. Mendadak oksigen seakan menipis ketika melihat plank nama di depan pintu ruang direktur RSUD Ansari Saleh. Kuketuk pintu sebelum kemudian mendorongnya secara perlahan. Tuhan, sejauh ini aku memang tak menunjukkan indikasi menginap penyakit jantung atau hipertensi, tapi kalau limbung mendadak tolong bilang malaikat jangan buru-buru niat pindahin dimensi. Belum siap, belum nikah.
"Silakan duduk, Dokter Diandra," ujar lelaki berperawakan gempal dengan kacamata berlensa terpisah antara miopi dan hipermetropi.
Suhu di luar tadi memang agak panas, tetapi pendingin udara di sini sepertinya masih berfungsi dengan baik. Hanya saja keringat keluar membasahi telapak tanganku yang susah payah menahan gemetar, seperti pasien tremor.
"Sudah tahu alasan saya panggil ke sini?" tanya Dokter Wibowo dengan ritme datar. Aku mengangguk lemah.
"Ini penilaian akreditasi kedua bagi RS kita karena yang pertama dinyatakan masih belum memenuhi standar. Pengulangan seperti ini jelas melelahkan baik secara fisik ataupun psikis bagi seluruh jajaran." Spesialis Saraf yang menjabat sebagai direktur RSUD itu mengambil jeda, mengembuskan napas dengan kentara.
"Saya berharap dokter Diandra tidak mengulangi perilaku indisiplin seperti ini. Karena tidak ada perbedaan antara dokter internsip atau staff lainnya. Semua berkontribusi menentukan status RS kita bagi penilaian akreditasi ataupun terhadap masyarakat umum. Paham?"
Aku mengangguk kaku. "Saya mohon maaf atas kejadian hari ini, Dok."
Dokter Wibowo menggerakkan kelopak matanya yang kubaca sebagai permakluman.
"Silakan lanjutkan pekerjaan Anda."
***
"Gubernur provinsi mana sih sampai pengamanan dibonceng langsung pakai motor polisi?" Suara Uti nyaris membuatku benar-benar limbung di anak tangga terakhir setelah keluar dari ruang direktur di lantai 2 gedung utama RS. Di sebelahnya ada Saka yang memasang wajah lempeng mirip jalan bebas hambatan baru selesai diaspal.
Uti dan Saka, dua manusia bertolak belakang secara kepribadian dan ukuran massa tubuh. Uti yang berperawakan besar dengan kadar kehebohan mirip pasar tumpah dan Saka yang mendedikasikan hidupnya untuk belajar. Mereka sahabatku sejak masih kuliah.
"Pengamanan apaan, korban tilang nih!" protesku pada Uti.
"Hah, kok bisa?" pekik Uti hiperbolis yang membuat Saka langsung menimpuknya dengan doctor's note. Apa kubilang, dia mendedikasikan hidupnya untuk belajar bahkan pada jam mestinya menikmati istirahat siang.
"Pelanin dikit, Ti! Suara kamu saingan sama speaker bagian informasi." tegur Saka mengundang bibir bebek Uti.
"Udah bahas di kantin aja, lapar nih," ucapku menengahi mereka.
Empat meja kecil dengan masing-masing dua kursi itu hanya diisi tiga orang pengunjung. Kami memilih tempat dekat mesin ATM. Saka sebagai lelaki yang menganut ajaran FK dengan taat untuk respect dan care mendahului menarik kursi sebelum aku atau Uti memintanya. Wajar saja hari terakhir Ospek dulu Saka mendapat gelar mahasiswa teladan karena kesigapannya terhadap banyak hal. Aku salah satu yang merasakan karena satu kelompok dengannya.
"Mbak Nanin, nasi pecelnya satu sama jeruk hangat jangan pakai gula satu," ucapku pada petugas kantin yang menghampiri untuk membersihkan meja kami.
"Saya ikan tongkol satu sama air mineral yang botol kecil ya, Mbak." Saka bersuara.
"Ti, gak makan?" tanyaku pada Uti yang tak lagi buka suara setelah respon berlebihannya tadi. "Kenapa? Gaji intern kamu udah abis?"
"Bukan, ya kali abis. Pusaka berharga tuh, cair tiga bulan sekali doang," dumel Uti. "Aku lagi diet GM. Hari ini cuma boleh makan buah."
"Wuiidiiih nyolong buah di instalasi gizi ya, Ti? Banyak bener. Minta satu!" Uno dengan tidak tahu dirinya langsung mencomot potongan golden melon yang baru saja dibuka Uti dari kotak makan. Kontan Uti menepuk tangan manusia penentang aturan itu. Sekaligus terkenal badung sejak awal kuliah.
Bayangkan saja, ketika FK menerapkan aturan lelaki wajib memakai celana kain, dia pernah ke kampus memakai celana jeans dan jelas langsung diusir dosen. Belum lagi perkara potong rambut di hari pertama ospek, dia dengan santainya mendebat kakak tingkat karena aturan yang dianggap tidak relevan dengan sistem perkuliahan. Kami sampai harus menahan napas menyaksikan ulahnya. Dekat dengan Uno memang rawan mengundang sirosis hepatis saking terlalu sering memendam emosi. Tetapi di luar itu, Uno tetaplah sahabat yang setia kawan bahkan hampir tak pernah menolak memberi pertolongan.