Bukan tiada, mungkin hanya kamu saja yang tidak tahu cara mendengarnya.
---
Lily Diandra
Seperti permintaan Erlan kemarin sore, hari ini aku bertukar dinas dengan Uti. Beruntung ada Saka yang menjadi teman dinas pagi. Setelah dua hari lalu IGD mendadak seperti pasar tumpah, hari malah cenderung lengang dan sepi. RSUD memang selalu punya siklusnya sendiri, tetapi tidak pernah benar-benar pasti.
Setengah jam lagi aku akan aplusan dengan Uti. Kulirik Saka yang menumpukan kepala dengan tangan di nurse station, matanya terpejam ditahan-tahan, terlihat dari kedutan kelopaknya.
"Lily ..."
Seperti biasa, suara Uti terdengar memekakan telinga. Jika kalian pernah menonton serial kartun Jepang yang menceritakan tentang robot kucing masa depan berwarna biru tanpa telinga, mungkin akan tahu juga dengan tokoh anak lelaki bertubuh tambun yang kalau menyanyi tikus pun lari terbirit-birit mendengarnya. Sebagaimana kebanyakan orang dengan tubuh berisi, mereka cenderung berkepribadian ramah, terbuka, dan ceria. Uti pun begitu.
Pernah dulu ketika diesnatalis fakultas kedokteran, kami bertiga susah payah membujuk Uti agar ikut lomba masak saja, bukan menyanyi. Karena urusan mendendang wajan dan panci Uti memang jagonya. Beruntung setelah dijanjikan Uno akan makan tumpeng di sebuah resto jika dia menang, Uti akhirnya bersedia mengurungkan niat ikut lomba menyanyi. Malangnya, dua hari kemudian uang empat ratus lima puluh ribu milik Uno melayang ke kasir resto yang tak seberapa jauh dari kampus FK itu karena Uti berhasil meraih juara pertama.
"Saka kenapa?" tanya Uti langsung kuhadiahi telunjuk melintang di bibir. Dia mengangguk, lalu membekap mulut.
"Kena hipersomnia non-organik kali," ucapku dengan pandangan prihatin.
Nasib sistem kerja bergilir begini, secara medis bisa menganggu circadian rhythm yang berimbas pada kacaunya ritme tidur seseorang. Kulihat Uti meletakkan tas jinjingnya di nurse station, bersiap menepuk bahu Saka yang langsung kutahan.
"Jangan, Ti," cegahku. "Biarin Saka tidur bentar, kasian. Kantung matanya udah kayak kantung semar."
"Tapi mending aku yang bangunin, Ly, daripada kena sidak gubernur kayak yang di tv. Satu Indonesia bisa ikut maki-maki, dokter gak tahu diri, kerja digaji malah tidur. Padahal mereka gak benar-benar tahu apa yang terjadi."
Belum sempat aku menyahut, Saka sudah lebih dulu menegakkan kepala. Matanya memerah dan berair, sepertinya akibat terbangun secara tiba-tiba, mengingat suara Uti yang luar biasa berisik.
"Loh udah dateng, Ti? Tumben rajin banget dinas."
Uti mendelik, memandang Saka dari kepala hingga kaki bolak-balik. "Aku udah hampir lima belas menit di sini, Saka. Kamu aja yang tidur ayamnya kebablasan."
"Kok nggak dibangunin biar kita bisa langsung aplusan[1]?"
"Noh, gak diizinin sama penunggu IGD!" adu Uti sambil melirik ke arahku. "Katanya kasian kamu, kantung mata udah kayak kantung semar."
Saka manggut-manggut, antara setuju aku disebut Uti penunggu IGD atau sebenarnya dia masih menahan kantuk yang tersisa.
"Ly, nggak jadi mandi? Nanti ditungguin dokter Erlan," tegur Saka membuatku menepuk dahi.
"Eh iya. Ti, aplusan sekarang ya? Aku mau ke mesjid buat salat Ashar sekalian numpang mandi."
Bertepatan anggukan Uti, aku langsung melesat dari IGD, melewati poli klinik yang sudah mulai sepi, lalu berbelok ke tengah bangunan RSUD. Di sana, sebuah masjid dengan cat berwarna abu-abu berdiri. Lantai bawahnya merupakan selasar yang menghubungkan dua gedung perawatan berbeda, sekaligus tempat pasien rawat jalan bisa menunggu giliran. Ada tempat istirahat yang dilengkapi toilet dan kamar mandi.
Beruntung kamar mandi kosong. Aku langsung membersihkan diri. Lima menit cukup. Terkesan sebentar ya? Padahal tidak juga. Dulu bahkan ketika masih kuliah, apalagi kalau menginap di kos temanku menjelang OSCE, dua menit juga selesai untuk urusan mandi. Detik berharga di hari kerja. Itu saja.
Azan Ashar baru selesai dikumandangkan ketika aku keluar dari kamar mandi. Usai membereskan peralatan mandi dan pakaian dinas ke dalam tas kecil yang memang kubawa hampir setiap hari, kulangkahkan kaki menuju tempat wudu, bersiap ikut salat Ashar berjamaah di lantai dua.
"Mau jalan sama Dokter Erlan ya, Dok?" sapa seorang perempuan yang di seragamnya terbordir tulisan Ruang Penyakit Dalam.
Aku mengalihkan tatapan dari cermin begitu selesai menyapukan pemerah bibir, tidak tebal dan bukan warna sensual. Sekadar agar tak terlihat pucat.
"Erlan pamit begitu ya ke perawat di RPD?"
Dia menggeleng sambil mengembalikan mukena ke dalam lemari kaca. "Dokter Erlan tadi keluar ruangan udah ganti baju, warnanya juga senada sama Dokter Lily, merah hati. Jadi kita-kita mikir kayaknya mau jalan."
Sayang, aku nunggu di parkiran mobil depan lobby
Chat Erlan dari aplikasi pesan instan menghentikan percakapanku dengan perawat muda itu. Mungkin sebenarnya usia kami sepantaran, hanya saja ia lebih dulu mendapat kesempatan mengabdi sebagai pegawai tetap di RSUD ini. Beginilah konsekuensi perempuan yang menempuh pendidikan kedokteran. Orang bilang menantu idaman, tanpa sadar perjuangan agar tidak digelari perawan tua itu setara UKDI sebenarnya.
"Saya duluan ya? Erlan sudah menunggu di parkiran." pamitku.
***
Traffic light di persimpangan samping Mesjid Raya Sabilal Muhtadin menghentikan laju kendaraan yang dikemudikan Erlan. Sore begini kawasan Siring Sungai Martapura memang ramai sekali, terlebih sejak pasar terapung buka cabang di tengah kota. Erlan menacap gas begitu lampu berganti hijau. Melewati Jembatan Merdeka, kami membelok menuju mall yang bersisian langsung dengan RSUD Ulin dan RSGM Gusti Hasan Aman.