Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #5

Memories

Cobalah untuk percaya saya mampu menjagamu.

---

Ali Nata Negara

Mustahil jika hanya mendelegasikan untuk menghadiri rapat membuat seorang Komisaris Besar Polisi Anjar Wicaksana sampai harus repot-repot memanggilku ke ruangannya. Pasti ada sesuatu. Hari ini aku membuktikan tebakan yang lebih menjurus perasaan kurang nyaman itu menjadi kenyataan.

Pimpinan tertinggi Polda Kalimantan Selatan yang juga ayah Melati ini langsung merangkul bahuku begitu rapat rencana sosialisasi penerapan sistem tilang baru dan kenaikan biaya pengurusan surat kendaraan dinyatakan selesai. Sebagian pasang mata sontak terhunus ke arah kami berdua, sebagian lain mulai saling membisik.

"Kita ngobrol santai dulu di ruangan saya ya. Saya sudah izin ke komandanmu tadi," ucap beliau basa-basi.

Apa daya, menolak permintaan pimpinan sama saja meludah ke atas. Bukannya kena yang bersangkutan, malah wajah sendiri yang jadi korban. Aku mengiringi langkah tegap lelaki dengan bintang satu di pundaknya itu. Ia senior ayah semasa pendidikan dulu, walau secara pangkat kemudian terlangkahi. Itulah mengapa dulu ayah selalu berpesan kepadaku agar jangan terlampau menjajah junior di akademi, karena kita tidak pernah tahu nasib seseorang di kemudian hari. Bisa saja yang dulu juniormu malah menjadi atasanmu.

Dua cangkir teh yang masih mengepulkan asap telah terhidang di meja, lengkap dengan kudapan makan siang yang tertata rapi. Ruangan ini seakan makin luas karena kami hanya duduk berdua dengan posisi saling berhadapan. Ia mempersilakanku mulai menyantap menu makan siang seorang brigadir jenderal polisi. Meski canggung, aku akhirnya mulai memasukan potongan lontong dengan sate ayam yang telah dilepas dari tusuknya.

"Ayah kamu apa kabar, Li?" tanya beliau sembari menghapus sisa makanan di sudut mulutnya dengan tissu.

Sepanjang makan siang, kami memang tak berbincang. Hanya denting sendok dan piring yang memecah sunyi. Aku menurunkan cangkir teh dari bibir, meletakkan kembali ke meja sebelum menjawab pertanyaannya.

"Baik, Ndan."

"Panggil Om saja, Li," tegur beliau membuatku sungkan. "Melati bilang tangkapan satlantas makin banyak ya setelah ada kamu?"

Aku tersenyum kikuk. Bingung harus menimpali bagaimana? Karena sejujurnya jumlah kendaraan yang terjaring saat razia bukanlah prestasi menurutku, melainkan indikasi kinerja polisi masih belum optimal. Karena masyarakat cenderung hanya taat saat ada polisi berjaga, selebihnya mereka lebih sering melanggar tanpa peduli keselamatannya sendiri.

"Kamu kalau dipindah ke satuan narkoba bersedia? Di Banjarmasin peredarannya makin rapi, perlu polisi yang sigap, tegas, dan tangkas."

Jemari tanganku saling bertautan sekarang. Tawaran terselubung. Aku yakin bukan hanya pengedar narkoba di Banjarmasin yang semakin rapi, melainkan juga upaya jenderal bintang satu ini untuk mendekatkanku dengan putri bungsunya. Melati bertugas di satuan narkoba polresta yang semenjak keberadaanku mulai sering menyambangi satuan lalu lintas. Padahal menurut Bang Rivlan, dulu ia jarang sekali bertegur sapa dengan anggota satlantas.

Aku sudah terlalu peka dengan taktik seperti ini. Pengalaman bertugas di reserse kriminal khusus unit tindak pidana korupsi membuatku paham dengan segala bentuk negosiasi. Termasuk negosiasi ala koruptor gula dan minyak goreng Bulog sehingga tetap bisa menjadi ketua persatuan sepakbola walaupun berstatus narapidana. Bahkan paling di luar nalar, kudengar ia akan mencalon menjadi gubernur sekeluarnya dari penjara bertahun lalu.

Jika dulu koruptor yang dihadapkan dengan polisi, maka kini akulah yang berhadapan dengan salah satu bentuk KKN ini. Ayah Melati menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi ambisi pribadi. Walaupun perjodohan di kalangan polri bukan sesuatu yang tabu, tetapi hatiku masih belum bisa menerima gerakan terselubung semacam ini. Ketidakmampuan menerima inilah yang menjadi salah satu alasanku membatasi diri, takut orang salah mengartikan interaksiku dengan Melati, menganggapnya sebagai suatu kedekatan padahal bukan sama sekali.

Ponsel yang kusimpan di saku sudah berderit tiga kali, terhitung sejak Om Waluyo menawarkan merotasiku ke satuan narkoba. Kali keempat aku terpaksa memohon diri, menjawab panggilan tanpa menjawab pertanyaan beliau lebih dulu.

"Li, masih di Polda nggak?" tanya Bang Rivlan begitu sambungan telepon terhubung.

"Masih, Bang. Kenapa?"

"Kamu bawa sedan patroli kan? Di depan Universitas Lambung Mangkurat ada kecelakaan, tolong susul sementara anggota yang lain ngejar pelakunya."

"Oke, aku langsung jalan ke sana."

Usai mematikan telepon dari Bang Rivlan, aku bergegas pamit pada Om Waluyo. Tidak ada waktu melanjutkan perbincangan yang lebih pada niatan perjodohan itu. Aku tidak menyatakan bersedia dirotasi meski juga tidak memberi penolakan. Berharap beliau cukup bijak dalam mengambil keputusan.

Dari polda, aku langsung memutar arah begitu traffic light menunjukkan warna hijau. Handtalk di pinggang berbunyi-bunyi melaporkan kejadian. Tiba di depan universitas, kulihat orang-orang berkerumun di atas trotoar jalan, akibatnya lalu lintas sedikit terhambat.

"Kakinya bisa digerakan, Pak?"

Lelaki paruh baya dengan kemeja sasirangan -kain tradisional khas Kalimantan Selatan yang dibuat dengan teknik menjahit jelujur- berwarna jingga dipadu hitam ini menggeleng pelan. Matanya terpejam. Aku meneliti luka di lututnya, sepertinya cukup dalam.

"Mas, bisa tolong bantu saya angkat beliau ke mobil? Biar bisa segera dibawa ke RS," pintaku pada seorang pemuda yang sepertinya mahasiswa. Ia mengangguk, lalu ikut memposisikan diri di sebelah kanan bapak berkemeja sasirangan ini, sedangkan aku bersiap mengangkat dari sisi kiri.

***

Petugas IGD langsung memasang sungkup oksigen ketika bapak itu mulai hilang kesadaran. Samar aku merasa mengenali wajah lelaki medio lima puluh tahunan itu, meski tidak sepenuhnya mengingat siapa dia. Aku menjauh dari bilik yang hanya dipisahkan tirai saat seorang lelaki berperawakan tinggi dengan rambut halus di sekitar rahang yang baru saja memasangkan sungkup oksigen mulai memanggil petugas lain. Sengaja memberi mereka ruang untuk memberi penanganan pada korban.

"Kak, kalau balik ke RPD tolong bilangin dokter Diandra, ada papanya di IGD. Soalnya aku nelpon gak diangkat." Suara berat dari tirai yang tertutup mengalihkan perhatianku dari ponsel.

Tak sampai lima menit kemudian aku melihat seorang perempuan berlari menuju bilik korban kecelakaan. Rambut panjangnya yang tergerai sampai berterbangan. Ia meronta ketika lelaki berperawakan tinggi tadi merangkulnya menjauh dari sisi brankar. Matanya sudah lebih dulu sembab dengan hidung memerah. Aku mengenalinya, dia dokter yang ditilang Hendru hampir tiga minggu yang lalu. Mereka lalu mengambil duduk di dekatku.

"Papa kenapa, No, kok bisa sampai gak sadarkan diri kayak gitu?" Ia bertanya dengan nada sengau.

"Om Soebely tadi diantar pakai mobil polisi ke sini. Pas kita pindahkan dari trolli bed ke brankar tahunya kesadaran beliau menurun. Lukanya cukup dalam, makanya lagi dijahit sama perawat. Kayaknya juga harus rawat inap karena tekanan darah beliau lumayan tinggi."

Perempuan itu makin terisak setelah mendengar penjelasan temannya. Aku memandangnya iba sekaligus prihatin. Dia hanya mengangguk ketika lelaki dengan rambut halus di sekitar rahang itu pamit untuk mempersiapkan ruang rawat. Sekarang aku mengerti, mengapa tiga minggu lalu ia bersikeras harus segera ke RSUD.

"Maaf pernah membuat perjalanan dokter tertunda karena razia waktu itu," ujarku membuatnya mendongakkan kepala. Tatapannya yang sendu mendadak tajam.

"Detik bagi seorang dokter bukan semata jumlah denda, tapi pertaruhan nyawa. Pertimbangkan itu!" sungutnya menyulutku.

Lihat selengkapnya