Masa lalu terkadang serupa fosil, sedalam apa pun kalian menguburnya, akan ada waktu di mana orang lain justru berusaha menggalinya.
---
Lily Diandra
Aku tak sanggup menerima uluran tangan Ali hingga ia menurunkannya sendiri. Pantai Jodoh bagai disergap sepi usai ia memperkenalkan diri sebagai sosok yang pernah mengisi masa sekolah dasarku. Ali Nata Negara, teman satu kelas selama empat tahun. Satu-satunya teman yang kutangisi kepergiannya berulang kali bahkan hampir sampai lulus SD. Tangis yang pecah ketika menatap pohon palem di depan rumah masa kecilku.
Dia kembali di saat yang tidak tepat, ketika di sisiku telah ada seorang lelaki lain kini. Erlan bisa meradang kalau tahu Ali bukan sekadar polisi yang mengantarku ke RSUD tempo hari, melainkan juga lelaki yang dulu rela menggendongku ke sana kemari.
Kenapa baru kembali sekarang?
Ingin sekali aku meludahkan kalimat itu, tetapi tertelan begitu bersitatap dengan manik matanya yang kelam. Empat belas tahun dia pergi, lalu sekarang datang dengan sekehendak hati. Benar kata orang, masa lalu terkadang serupa fosil. Sedalam apa pun kalian menguburnya, akan ada waktu di mana orang lain justru berusaha menggalinya. Lelaki di depanku inilah bukti sahihnya.
"Apa yang membuat kamu ingat dengan saya?" Kubangun benteng tinggi untuk Ali, sebelum nostalgia kami terlalu jauh menghanyutkan.
Dia melempar pandang ke atas permukaan sungai yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Napasnya berembus seakan ingin menyamai kekuatan angin yang bertiup hingga meranggaskan dedaunan ke ceruk jukung.
"Wajah korban tabrak lari di depan UNLAM kemarin sore dan berita utama surat kabar lokal hari ini," lirih Ali.
Ya, aku tahu berita itu. Semua koran lokal mempublikasikannya pagi ini. Kemarin ada beberapa wartawan yang datang ke RSUD dan meminta penjelasan tentang kondisi papa pasca kecelakaan. Mamaku tak bersedia diwawancara, maka akulah sebagai gantinya.
Diam-diam aku meneliti wajah Ali yang kini terlihat lebih matang. Rahangnya yang kukuh dengan tubuh padat berisi. Rasanya sulit untuk percaya, dulu tubuh kurusnya mampu menggendongku tanpa menganggap sebagai beban berat.
"Terima kasih sudah melunasi janji menjadi seorang dokter," ungkap Ali.
Pupil mataku melebar sempurna. Janji itu, janji yang kuucapkan ketika kaki Ali terluka. Kontan pandanganku menyusuri tubuh atletisnya yang dibalut seragam polisi. Dia tersenyum saat pandanganku bertemu sorot berbinarnya, lalu mengangguk seolah berkata ia juga mewujudkan janjinya untuk menjadi seorang polisi.
"Apa masih ada yang kamu ingat tentangku?" tanyanya dengan tangan memeluk kaki yang ditekuk untuk menyesuaikan ruang pada ceruk jukung.
Aku mengangguk, menuding tatapan ke lututnya. "Luka karena melindungi saya dari kejaran anjing."
Dia terkekeh kecil. "Tapi bekasnya sudah hilang."
Bekasnya mungkin hilang, tapi kenanganku membekas tanpa lekang. Ada kenangan lain tentang Ali yang sebagian masih dapat kuingat, meski ragu apa dia sendiri masih mengingat itu. Kebiasaannya memanggilku dengan sebutan Galuh, seperti seorang pendulang di tanah Cempaka kepada butir intan, ayah terhadap putrinya, atau seorang sultan untuk permaisurinya. Lama-lama bersama Ali hatiku bisa karam dua kali. Harus segera diakhiri sebelum benar terjadi.
"Bisa kita kembali ke RSUD sekarang? Saya khawatir Mama belum kembali dan Papa sendirian."
Ali menyetujui dengan isyarat kelopak mata. Ia mendayung jukung ke tepian, membiarkanku naik lebih dulu ke dermaga dengan berpegangan pada sebelah tangannya karena sebelah lagi memegang tiang titian agar jukung tak menjauh. Sekarang aku percaya Nata itu memang berarti pelindung, seperti sikap Ali ini.
"Masih tinggal di Buncit?" tanya Ali ketika motor yang dia kendarai sudah melewati Mesjid Hasanudin Majedi, tak sampai separuh perjalanan untuk tiba di RSUD Ansari Saleh.
"Sudah nggak lagi."
Rumah masa kecil itu hanya sesekali dikunjungi. Sejak Papa menjadi Sekretaris Daerah Kota Banjarmasin kami menempati rumah dinas yang letaknya tak jauh dari kantor Perpustakaan Provinsi.
"Sampai di sini aja, Li," ucapku sembari menepuk bahu Ali yang dilapisi jaket kulit slim fit.
Ali menghentikan laju motor tak jauh dari gerbang masuk RSUD Ansari Saleh. Sengaja agar tidak menghalangi kendaraan pengunjung yang akan masuk.
"Kenapa nggak sampai depan lobby?" tanyanya menahan langkahku yang baru saja turun dari sadel motor.
"Nanti kamu repot kalau harus parkir lagi. Hari ini kan pakai motor pribadi bukan patroli."
Ali mengembuskan napas pasrah.
"Terima kasih," ujarku.
Nata dewasa itu mengangguk kecil lalu samar kudengar ia berujar,"Hati-hati ... Galuh."
***
Malam ini Saka menjadi teman duetku. Dinas yang menyenangkan bersama dokter bertubuh kurus dengan kulit sawo matang dan rambut mirip mie kuning dalam semangkok bakso. Sahabat yang selalu menjadi sumber rasa iri perempuan, karena tubuhnya yang tidak pernah mengembang walaupun menandaskan nasi goreng di depan RS nyaris setiap malam. Hanya sedikit lebih berisi dibandingkan semasa kuliah. Dulu malah aku mengira Saka ini torso rangka manusia, karena perawakannya yang bagaikan tulang dibalut kulit.
"Wadai ipau datang ..." seru seorang perempuan dalam balutan jilbab biru malam dan seragam berbahan sasirangan dengan warna lebih muda.
Kak Nanang, perawat laki-laki yang menjadi tim kami dinas IGD malam ini mendekati bungkusan kresek merah yang diletakkan di atas nurse station. "Pesanan orang atau buat asupan energi yang jaga IGD nih, Kak?"
"Buat yang jaga IGD malam ini, kecuali John Tralala KW."
Refleks aku, Saka, dan tiga petugas lainnya mengulum gelak yang nyaris pecah andai tidak mengingat ini pukul sembilan malam. Sekilas, Nanang memang mirip dengan John Tralala, komedian Banjar yang sering pentas di tv nasional bahkan off air hingga ke Malaysia dan Kuala Lumpur. Ia juga merupakan seniman madihinin, sebuah kesenian bertutur khas Banjar dengan tabuhan rebana.
Nisa, analis dari laboratorium bahkan sampai memerah wajahnya karena menahan tawa. Kak Nanang yang menjadi bahan perundungan memasang raut masam.
Menyadari aura tak nyaman rekan sejawatnya, Kak Enong langsung menjawil lengan lelaki berperangai sedikit gemulai itu. "Becanda doang, Nang. Perajuan banar ading unda yang pambungasnya nih[1]."
Dibujuk begitu, Kak Nanang seketika memasang senyum, kembali bersemangat mengeluarkan wadai ipau yang bisa dibilang pizza tradisional orang Banjar walau perupaannya tidak persis. Warnanya putih, terdiri dari lapisan-lapisan tipis yang disusun hingga hampir sejengkalan tangan anak-anak. Bercitarasa gurih dengan taburan bawang goreng dan irisan cabai merah. Kue ini spesial, hanya dijual saat bulan ramadhan. Di luar itu, cuma ada jika memesan.
"Rabah waluh[2] dapatnya rayuan Hj. Enong nih," ledek Kak Musa dari bagian radiologi kali ini benar-benar memecahkan tawa kami.
"Kita ketawa begini untung IGD pas kosong ya," celutukku.
"Dokter Diandra mulutnyaaaaaa!" teriak Kak Enong, Kak Nanang, dan lainnya kecuali Saka. Mereka bagaikan paduan suara.
"Astaghfirullah hal adzim. Maaf ... maaf ..." sesalku. "Semoga kita nggak ‘bau’ malam ini ya."
Serempak squad IGD Ansari Saleh malam ini melantunkan kata amin mirip makmum saat salat di mesjid. Saka hanya terkekeh kecil sambil membolak-balik doctor's note dengan bermejakan nurse sation. Dia seakan tidak terganggu dengan keriuhan kami perkara wadai ipau yang menggoda air liur ini. Mungkin memang selera Saka yang agak bermasalah, makanya sejak masih kuliah dia lebih merasa wajib melahap handout daripada nasi.
"Dokter Diandra, cobain." Kak Enong mengangsurkan potongan wadai ipau dengan sendok ke mulutku. Lekas kusambut dan mulai mengunyah secara perlahan, menikmati gurihnya yang memenuhi mulut. Rasanya sayang jika cepat-cepat melewati tenggorokan.
"Bagaimana, Dok?"
Aku mengangkat dua jempol. "Nyaman banar[3], Kak. Lembut."
"Pilih kasih," rajuk Kak Nanang membuat kami berpaling menatapnya. "Kok dokter Diandra duluan yang disuruh coba, bukan aku?"
"Parai[4]," sambar Kak Musa. "Nyawa tu[5] nasi putih dikasih kuah teh juga bilang nikmat. Nggak bisa dijadikan barometer."