Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #7

Pandara Elang Tambunau

Jika seekor elang bisa demikian mencintai anaknya, apalagi manusia yang dibekali akal oleh Tuhan.

---

Lily Diandra

Angka di wedget pada ponselku baru menunjukkan pukul sembilan pagi waktu Indonesia bagian Tengah ketika mobil membelok ke kiri, menuju kampung Kuin. Tetapi matahari sudah bersinar teramat terang rasanya, sampai-sampai pantulan di atas permukaan sungai menyilaukan mata. Terpaksa aku menaikkan kembali kaca mobil.

Kulirik sebentar layar ponsel sebelum memasukkan ke dalam pouch. Tak ada pesan dari Erlan. Terakhir ia menelepon hampir dua minggu yang lalu, tepat setibanya di kota Barabai -wilayah administrasi Kabupaten Hulu Sungai Tengah berjarak sekitar 5 jam perjalanan darat dari Banjarmasin- sebelum merambah hutan untuk menuju Puskesmas Juhu yang ditempuh dengan berjalan kaki selama dua hari itu.

Ada gemuruh yang bersanding dengan rasa khawatir dalam benakku ketika Erlan menyampaikan keputusannya ikut program dokter PTT secara tiba-tiba. Aku kecewa lantaran Erlan merahasiakan pendaftaran PTT yang dilakukannya sekitar tiga bulan lalu. Ingin rasanya aku marah, memprotes pilihannya tanpa melibatkanku. Tetapi nyata aku hanya sanggup menangis di depan tempekong senja itu. Karena di sisi lain, aku justru khawatir dengan keselamatan dan kesehatan Erlan mempertimbangkan lokasi Puskesmas Juhu yang berada di pedalaman hutan Meratus itu.

"Ly, ikut turun atau mau tunggu di mobil?" teguran Papa berhasil melesapkan lamunan tentang Erlan.

"Ikut turun, Pa," sahutku membenahi kerudung berbekal cermin kecil di atas dashboard mobil lalu menyusul Papa yang lebih dulu melangkah keluar mobil.

Halaman makam Sultan Suriansyah telah dipenuhi ayunan berbahan tapih bahalai -kain jarit- yang digantung pada bambu melintang di sela tenda dengan menggunakan tali belati. Hiasan ketupat guntur berbentuk burung, rangkaian anyam menyerupai halilipan berbahan janur kelapa, serta kue berbentuk bunga aneka warna -seperti kuning dan merah muda- menjadi ornamen di sekitar ayunan tapih bahalai selain kakamban -kerudung kain panjang- berwarna kuning, merah, dan hijau. Pemandangan ini mengingatkanku pada adat batasmiyah untuk menyambut bayi yang baru lahir sebagai bagian daur hidup urang Banjar.

Beberapa lelaki langsung menyalami Papa yang baru melepaskan alas kaki di pelataran makam para raja dan anggota kesultanan Banjar masa silam. Tegel berwarna merah marun menjadi pijakan pertama kami, rasa sejuk langsung menjalari kaki. Dibarengi harum kembang melati, kenanga, cempaka, dan mawar yang menguar memasuki indera penghidu.

"Pak Soebely mau mengayun anak juga?" tawar seorang lelaki dengan rambut yang sebagian telah memutih.

Papa melirikku meminta persetujuan, kugelengkan kepala sebagai jawaban.

"Tahun ini saya mengayun anak orang saja, Pak Haji. Anak saya malu diayun lagi, mungkin sadar Papanya lebih cocok mengayun cucu sekarang," kelakar Papa memancing tawa kecil beberapa orang di dekatnya. Aku menggeram tanpa berani menimpali.

"Peserta termuda usia 40 hari. Tapi baayun maulud hari ini ada peserta yang usianya sudah 75 tahun dari Palangkaraya," terang lelaki berambut putih tadi.

"Kalau begitu saya mengayun dua-duanya saja. Tapi peserta tua yang duluan, Pak Haji."

Percakapan sejenak terhenti seiring langkah Papa yang menyusuri makam dari kanan ke kiri. Dari raja terakhir hingga pertama, yakni Sultan Suriansyah yang dulu bernama Pangeran Samudera. Kami kemudian bersimpuh di tengah anjungan, mendaras surah yasin bersama-sama. Papa melongokkan kepala ke dalam sumur yang berada di tengah-tengah anjungan makam, deretan air bercampur kelopak bunga kenanga, mawar, dan melati yang telah dibungkus kantong plastik seukuran gula satu kilogram mengelilingi sumber air itu, sesaat setelah masing-masing telapak tangan tertelungkup ke wajah.

"Silakan, Pak, airnya bisa langsung diminum," ujar lelaki yang sejak tadi duduk di samping sumur. Ia menyodorkan gelas plastik pada Papa.

"Ini airnya beda sendiri ya, jernih sekali. Padahal sungai Kuin warna airnya kecokelatan kalau dilihat dari permukaan," komentar Papa sembari meletakkan gelas ke atas penutup sumur berbahan kayu ulin.

"Mungkin karena dulu sanitasi istana dirancang dengan baik, Pak Soebely, makanya air di sumur ini tetap terjaga kualitasnya. Meskipun bangunan istana hancur karena agresi militer Inggris dan Belanda ketika perang Banjar, tapi sisa sanitasi masih bisa dilihat di areal makam ini."

"Pak, saya boleh bertanya sesuatu?"

Lelaki berambut putih dengan tutur bersahaja itu melirikku. Beliau tersenyum ramah. "Silakan."

"Betul di sumur pernah ditemukan jasad anak laki-laki yang tenggelam di sungai Kuin?"

"Iya. Dulu sekali, pernah ada anak laki-laki keturunan Tionghoa yang tenggelam lalu jasadnya ditemukan di sumur ini. Makamnya juga ada di sini, berdampingan dengan para raja, permaisuri, serta patihnya. Ini membuktikan bahwa urang Banjar menganut toleransi dalam berbagai aspek, termasuk budaya dan agama."

Ada pertalian antara etnis Banjar dan Tionghoa hingga melahirkan akulturasi budaya. Salah satunya nampak dari pakaian pengantin babakun pacinan. Aku sengaja ingin menggali itu di depan Papa, berharap mampu membuat hatinya tanak. Namun sepertinya, rencana itu belum sepenuhnya berhasil. Papa bergeming, berusaha tak peduli dengan cerita yang kugali. Hingga suara tarbang yang ditabuh beriring shalawat menjalari liang telinga kami memaksa kaki bergerak menuju tenda di halaman makam. Di sana, para bayi, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan lansia bersiap untuk melaksanakan tradisi baayun maulud yang diselenggarakan setahun sekali dalam rangkaian maulid nabi.

***

Asap dupa yang ditancapkan pada sela piduduk -beras, kelapa, dan gula merah yang disimpan dalam belanga berbahan kuningan- seakan menari bersama semilir angin tepian sungai Kuin. Wanginya mengingatkanku pada Erlan setiap kali kami bertemu seusai ia melakukan persembahyangan. Wangi yang hanya bertahan sebentar sebab digantikan oleh minyak baboreh pada telapak tangan sebagai rangkaian tradisi batampung tawar.

"Ulun[1] sedikit saja," pintaku tatkala seorang ulama dengan sorban melingkar di kepalanya bersiap memercikan minyak khas Banjar itu dengan menggunakan daun pisang yang dibentuk bagai pengocok telur namun dalam ukuran yang jauh lebih kecil.

Tabuhan tarbang -alat musik semacam rebana- masih mengalun bersama senandung pujian kepada Nabi Muhammad sepanjang pembagian bunga rampai -rajangan daun pandan dengan kelopak bunga mawar dan diberi pewangi, biasanya malaikat subuh. Aku berusaha memecah barikade wartawan yang berniat mengabadikan momen Papa mengayun peserta tertua pada gelaran baayun maulud kali ini. Susah juga rupanya meringsek di antara tubuh jenjang yang bersiap membidikkan kamera pada objek bernama Sekda Kota Banjarmasin. Kalau bukan karena Mamaku yang meminta dikirimi foto Papa, mungkin aku lebih memilih menunggu liputan di koran saja. Tapi apa boleh buat, daripada beliau gelisah sepanjang menunggu penerbangan ke Jakarta untuk menghadiri pertemuan kepala PAUD se-Indonesia.

"Jangan talalu gancang, Tuh lah. Kaina Nini tasungkam[2]," ujar peserta lansia itu kontan memecah gelak kami yang menyaksikannya. Aku sampai harus menggigit bibir untuk merejam tawa agar tak semakin lepas.

"Aturannya pian dipukung supaya kada tasungkam[3]," kelakar Papa.

Hari ini aku kembali melihat tawa lepas Papa. Mungkin suasana kebersamaan seperti ini yang ia rindukan sebagai bagian tanggung jawab seorang Sekretaris Daerah Kota setelah hampir seminggu rawat inap. Bisa jadi, segala keramahan inilah yang menjadi energinya. Kuhela napas pelan, menarik tubuh mundur dari kerubunan dan keriuhan setelah memastikan foto Papa cukup baik kualitasnya untuk dikirim pada Mama.

Usai mengayun nenek berusia tujuh puluh tahun lebih itu, Papa kemudian bergerak ke tenda kedua. Di sana, seorang anak lelaki berusia empat puluh hari sudah menunggu. Papa menyalami sepasang orangtua muda yang menyambut beliau dengan antusias. Jika tidak keliru, aku menaksir usia keduanya mungkin sepantaran denganku. Seorang perempuan dengan bulang yang nampak mati-matian bertempur dengan zaman juga ikut mendampingi mereka dan menyalami tangan papa.

"Ini cucu ulun nang pamulaan, Pak Sekda ai. Mudahan mun pian ayunakan ganalnya jadi arjabat kaya sidin ni jua[4]," tutur perempuan yang bertempur dengan zaman itu.

Papa membalas dengan kalimat aamiin yang segera bersahut oleh peserta lainnya. Beliau tersenyum dan meraih pangkal ikatan kain dengan tali belati, mengayun bayi lelaki usia empat puluh hari itu dengan gerakan pelan.

"Guring-guring anakku guring. Lakasi guring, matanya kalat bawa bapajam. Allah laa illahailallah, Muhammad rasulullah. Ya Rahman, Ya Tuhanku. Nabi Muhammad ya nabiku. Yun ayun, anakku ayun. Ayun dalam shalawat nabi. Jauh culas, jauhkan dangki, kur sumangat, hidup baiman. Guring anakku dalam bismillah ...."

Papa menyandungkan dundam –nyanyian pengantar tidur- dengan suara lembut namun bergetar. Rambut halusku terasa meremang mendengar pengantar tidur dengan lirik yang biasanya berisi harapan-harapan orangtua tentang kebaikan, terutama perihal keimanan bagi anak itu kembali melucut dari bibir papa setelah sekian lama. Seluruhnya hening mendengar suara papa, tidak ada lagi yang menaikkan ponsel untuk mengabadikan momen beliau. Hanya tabuhan tarbang yang masih mengiringi hingga papa menyelesaikan dundamnya. Ia menyeka sudut mata dengan samar setelah melepaskan genggam dari tali ayunan. Aku menyadari itu.

Acara baru berakhir menjelang adzan Zuhur. Dari makam kami bergerak menuju Masjid Sultan Suriansyah. Papa melangkah pelan meski jahitan di lututnya telah kering. Ia berjalan beriringan dengan lelaki berambut putih yang ternyata seorang sejarawan sekaligus budayawan. Di belakang mereka, aku dan beberapa ibu-ibu setempat ikut mengiringi.

Sepanjang jalan kira-kira dua ratus meter jauhnya warga menyapa kami, menawarkan mampir ke rumah-rumah mereka yang sebagian besar dibangun di atas sungai dengan jukung tertambat pada tiang penopang lantai.

"Maaf, Pak Soebely, air kran di tempat wudhu tidak mengalir," lapor seorang warga pada kami.

"Ly, kita wudhu di sungai saja."

Aku terkesiap mendengar jawaban Papa. Meski keseharian urang Banjar akrab dengan sungai, bukan berarti semua orang bisa berenang di sungai lepas dan dalam. Apalagi untuk ukuran sungai Kuin dengan panjang 3.908 meter dan lebar mencapai 61 meter ini.

"Pa, kalau terpleset di tangga dermaga bagaimana? Papannya kan terendam setiap hari, kemungkinan berlumut dan licin."

"Papa yang pegangin kamu."

Aku melangkah pasrah, mengiringi langkah Papa menyeberangi jalan aspal yang tak seberapa lebar untuk jalan perumahan dengan penduduk padat seperti di Kampung Kuin ini. Ia mempersilakanku untuk mengambil wudhu lebih dulu, sesekali terkekeh kecil menyaksikan wajah putrinya pasi.

"Kita di sini dulu, tunggu yang lain selesai wudhu."

Papa mengajakku ke sudut kiri dermaga yang lebih teduh karena dinaungi pohon Ketapang. Beberapa daun berguguran ke lantai dermaga, ditiup angin musim peralihan. Sekawanan elang terbang menukik di atas kami, bagai parade para penari. Papa mendongakkan kepala, membiarkan sisa-sisa air wudhu metes di wajahnya.

"Kata orang biasa akan ada yang meninggal kalau elang terbang mengitari atap ya, Pa?"

Papa memutar badannya menghadapku, menyandarkan pinggang di birai dermaga Masjid Sultan Suriansyah. "Gara-gara kicaunya yang terdengar seperti bulik ... buliik ... itu ya?"

Aku mengangguk. Bulik dalam basa Banjar berarti pulang atau kembali. Sejak dulu aku termasuk orang yang percaya kicau elang itu pertanda akan ada yang pergi menghadap Sang Maha Kuasa. Meskipun aku sendiri lupa, tahu tentang mitos yang terkadang benar adanya ini dari siapa?

"Mungkin Papa lupa menceritakan ini sewaktu kamu masih kecil, tentang asal mula kicau elang yang bagaikan meminta pulang. Dulu sekali, ada seekor elang, Tambunau namanya. Suatu senja, ia pulang ke sarang sebagaimana biasa, membawakan buruan sebagai tanda cinta untuk anaknya," Papa nampak menarik napas sebelum melanjutkan dongengnya.

"Sarang elang itu letaknya di pohon-pohon tinggi. Sengaja, agar sulit dijangkau pemangsa dan manusia. Dibangun dengan alas tanah, rumput dan rumpun bambu yang kecil. Tetapi rupanya, senja itu sang Elang Tambunau tak mendapati anaknya dalam sarang. Ia terbang ke sana kemari, namun hasilnya nihil. Sejak itu sang Elang Tambunau berkicau bagaikan meminta pulang, karena ia sedang memanggil kembali anak-anaknya yang hilang. Sebagian orang ada yang mengaitkan cerita ini dengan asal mula buluh marindu, potongan bambu yang bisa membuat orang terserang rindu tak berkesudahan. Katanya manusia itu mengambil bambu dari bagian sarang elang."

Papa menutup ceritanya dengan pandangan menerawang ke langit lepas. Ada embun yang menyusup di antara lensa kacamata. Cengkraman tangannya lepas dari birai dermaga berbahan kayu ulin -yang kian kuat jika terendam air.

"Jika seekor elang bisa demikian mencintai anaknya, apalagi manusia yang dibekali akal oleh Tuhan. Papa pun sama, memanggil kamu pulang meski dengan cara berbeda; melalui doa-doa panjang yang bahkan terlantun sejak kamu masih dalam kandungan Mama. Kita bukan kali pertama tidak sepaham. Dulu, ketika kamu lulus SMA, kita bahkan terlibat argumentasi alot. Papa ingin kamu melanjutkan ke IPDN, tetapi kamu bersikeras ingin menjadi dokter. Papa kemudian bisa menerima karena alasanmu keduanya sama saja bertujuan mengabdi pada banyak orang.

Kamu sudah dewasa, tetapi bukan berarti tugas Papa selesai begitu saja. Tugas orangtua bukan hanya menasihati, Ly, melainkan juga mengarahkan dan mendampingi anaknya. Erlan bukan lelaki jahat, Papa tahu itu. Dia juga seorang yang taat untuk keyakinannya. Namun pernikahan itu menyelaraskan dua keluarga, Ly, bukan semata pola pikir kalian berdua. Papa pikir, kepergian Erlan ke Juhu bisa menjadi cara untuk melatih kamu terbiasa melepaskan dia."

Bibirku terkatup sempurna sekarang. Nada bicara Papa seakan penuh pengharapan. Kandas sudah rasanya yang selama ini aku dan Erlan perjuangkan. Hati Papa tak kunjung memiliki celah untuk sekadar bertandang. Ia tidak goyah. Persis kayu ulin yang menjadi pasak rumah-rumah di seberang kami. Tidak lapuk walau dihantam riak air setiap hari.

***

Karena sejatinya, perasaan mesti dinyatakan; oleh perkataan ataupun perbuatan.

---

Ali Nata Negara

Kata orang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Maka bagi anak lelaki, ibu adalah labuhan perasaannya. Anggapan yang kuyakini sampai detik ini, ketika jarak membentangi kami.

Aku sedang merindukan harumnya nasi liwet buatan ibu, legitnya tempe bacem, atau segarnya segelas cincau hijau dipadu santan dan siraman gula merah cair yang ia buat sendiri. Ibu biasa menyediakan minuman itu, alasannya untuk mendinginkan kepala ayah jika sedang banyak kasus yang ditangani. Meski prevalensinya masih perlu diuji, nyatanya hipotesis itu benar-benar sanggup menyegarkan suasana di rumah kami, menarik kedua sudut bibir ayah untuk membentuk lengkung nyaris ke pipi. Dari rasa masakan ibu, sejujurnya aku sedang merindukan perempuan lembut itu.

"Suntuk bener, lagi kepikiran Melati?" tegur Bang Rivlan.

Aku mendongak, mengangkat kepala dari stir mobil patroli. Tatapan Bang Rivlan antara prihatin sekaligus penasaran. Kuhela napas berat. Dua minggu belakangan Melati seakan menghindariku, ia juga bersikap dingin sehingga menjadi bahan pergunjingan di polresta. Polisi yang lain menebak-nebak hubunganku dan Melati sedang merenggang, meski aku sendiri tidak tahu ada persoalan apa sebenarnya di antara kami berdua.

"Bukan," bantahku. "Lagi kangen Ibu."

Lihat selengkapnya