Karena nostalgia sedetik, rusak move on sepajang masa.
---
Lily Diandra
Aku mengelus dada demi melihat kelakuan Uno yang sepertinya masih jauh dari status taubatan nasuha; insyaf sebenar-benar insyaf. Lihat saja kelakuan anak itu sekarang. Dia tengkurap dengan berbantalkan boneka angry bird jumbo yang sengaja ditinggalkan Uti pada ruangan tempat para tenaga medis IGD beristirahat. Di mulut Uno terselip potongan terang bulan -martabak manis- berisi tapai ketan, selera yang kurang umum bagi orang kebanyakan.
"Kamu yakin dia ngisi borang malam ini?" Aku menyikut lengan Saka, lelaki jangkung itu menggedikan bahu.
"Paling ketiduran setelah main," sahut Saka kemudian. "Dia kan masih setia menganut metode SKS -Sistem Kebut Semalam- biarpun FK sudah pakai sistem blok."
"Alasan doang berarti ya nemenin kamu dinas malam sambil ngisi borang."
"Serumen; kotoran telinga," ucap Uno sambil meletakkan tujuh bidak pada papan scrabble. "Anyway, masih inget kalau hantaran udara lebih bagus daripada hantaran tulang kan? Jadi kalau mau ngegosip jangan di depan orangnya wahai kawan-kawan sekalian. Minimal di belakang kepalaku biar gak terlalu kedengeran."
Aku dan Saka saling berpandangan sebelum kemudian tergelak. Saka bahkan nyaris menyemburkan air putih yang baru saja mengisi rongga mulutnya. Tidak ada pertengkaran serius. Uno saja sudah sibuk dengan potongan terang bulan yang baru. Dia memang seperti pinang dibelah dua dengan Uti secara kepribadian. Dan karena tragedi dua anak manusia ini pula permainan scrabble kami berbasis Dorland, kamus kedokteran.
"Ini si Lily diam antara mikir kata berikutnya atau ngayal etiologi scrabble kita nih, Sak," sungut Uno.
Aku mengulum senyum, mengalihkan tatapan dari rak biduk scrabble. "Lama-lama si Uno kayak cenayang ya, Sak? Bisa banget nebak pikiran orang."
"Antara dua, Ly. Orang bisa nebak itu karena telepatinya beres atau justru trauma masa lalu yang belum kelar."
"Sialan, Saka!" umpat Uno sambil menimpuk karib satu kosnya itu dengan bantal angry bird milik Uti.
Gelakku pecah tak tertahankan. Aku masih mengingat baik scrabble berbasis istilah kedokteran ini diciptakan oleh Saka berangkat dari keprihatinannya pada cara belajar Uno yang konyol. Saat itu masih tahun pertama kami kuliah, masa-masa berusaha pdkt dengan anatomi. Uno adalah tipe orang dengan gaya belajar visual. Dia peka terhadap objek nyata dan warna. Malangnya pengetahuan ini malah digunakan Uno dalam bentuk yang keliru.
"Ly, udah ih ... masih aja diingat yang begitu," ucap Uno setengah memelas.
"Aturan ada Uti nih," godaku kian membuat wajah Uno masam. "Dia kan saksi kunci mahasiswa kedokteran yang kepergok nyaris telanjang bulat di kamar kos demi menghafal anatomi."
"Sialnya itu pintu pakai gak dikunci, jadilah gempar kayak liat penampakan. Secara yang mergokin anak perawan!" timpal Saka sukses dibalas geraman oleh Uno.
"M menurun, Maramis; tokoh yang mendefinisikan setres berhubungan dengan tuntutan penyesuaian diri sehingga mengganggu keseimbangan seseorang," seruku sambil menyusun enam bidak di bawah kata yang Uno buat.
"Curhat?" cibir Uno seakan ingin membalasku.
Aku mendelik. "Gak ah, biasa aja tuh!" bantahku pada Uno.
"Masa?" kerling Uno jahil. "Bukannya sekarang lagi penyesuaian ya karena dipisah bakti buat negara?" Ia menyikut lengan Saka, meminta dukungan. Saka menggedikan bahu, memilih menyusun bidaknya ke arah kiri huruf A dari rangkaian kata yang kubuat. Kontan Uno mendengus dongkol.
"Apoptosis; kematian sel yang terprogram secara sistematis untuk menyeleksi mana sel tua, sel yang perlu, dan sel sehat."
"Penganut Darwinisme Neuron nih," sindir Uno.
"Wajib, No. Karena hanya hubungan baik yang akan dipertahankan, kalau gagal ya mending disingkirkan. Apoptosis bermanfaat lho, kalau gak ada sel yang mati pas masa embrio, jari kita bisa nempel semua," timpalku.
"Kamu sama dokter Erlan belum apoptosis kan?"
"NGF Lily kayaknya masih berfungsi dengan baik buat menghasilkan neutrofin biar daya tahannya kuat, No. Mekanisme pertahanan terhadap setres," komentar Saka sok serius.