Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #9

Yang Pergi Tak Selalu Kembali

Cara terbaik mempertahankan seseorang adalah mengikatnya dengan kenangan kalian.

---

Ali Nata Negara

Menjelang pukul sebelas malam aku menepuk stang motor dengan gelisah. Detik seakan demikian lambat bagi orang yang diburu waktu. Perempatan Jalan Pangeran Antasari sudah mulai lengang. Pintu masjid yang berada di sebelah kiriku juga sudah tertutup rapat, serupa dengan plaza yang bersisian langsung dengan bangunan didominasi warna hijau ini. Angin berembus lebih kencang dari biasa, menerbangkan deretan baliho berisi promosi produk pakaian plaza yang namanya diambil dari tokoh pewayangan. Baliho dengan foto sepasang selebriti remaja membentangi pepohonan bersaing tempat dengan promosi minyak goreng murah.

Suara klakson sebuah mobil pick up menyadarkanku dari lamunan. Lekas aku membelok ke kiri, menuju Kelayan -salah satu perkampungan padat di kota Banjarmasin. Jalanan benar-benar sepi sekarang. Suasana menjadi semakin kelam manakala lampu-lampu hanya bersinar kekuningan. Kupikir ini juga menjadi penyebab kawasan ini terkenal rawan.

"Bang Rivlan awas!" pekikan Iptu Reza membuatku menepikan motor dengan tergesa, menyusul keduanya yang bergelut sengit di atas jembatan yang memisahkan jalan menuju Kampung Kelayan A dan Kelayan B.

Seniorku di polresta itu sigap berbalik, memelintir lengan lawannya ke belakang lalu menekuk hingga lelaki itu meringis. Dari seberang aku melihat Bang Reza sudah bersiap menyusul kami. Aku sendiri masih berusaha menangkis lelaki muda yang hendak melepaskan pukulan ke wajah. Di samping kami, air sungai Kelayan mengalir. Biar jembatan itu tak terlalu tinggi dengan jarak jerajak yang longgar. Salah siasat bisa jatuh ke sungai.

Adu tikai kami berlangsung sengit, bahkan kian dramatis ketika hujan turun dengan lebatnya. Aku mulai terengah meski masih berusaha waspada, memperhitungkan lawan dengan cermat, mencari celah untuk melumpuhkannya tanpa senjata. Lelaki itu akhirnya menyerah kalah usai kutikam bahunya.

"Bang Reza, nunduk!" Aku berteriak saat melihat seorang dengan masker hitam hendak menikamkan belati ke tengkuk lehernya. Tapi naas, belati itu berdentang menghujam aspal ketika sebuah peluru melesat ke lengannya. Peluru dari revolver Bang Rivlan.

"Argh ...." Aku menjerit tertahan ketika merasakan sayatan di punggung tangan. Darah metes cepat disapu air hujan. Sial, dari musuh Bang Rivlan yang setengah mabuk tadi.

"Tahan, Li, berita acaranya panjang nanti!" ujar Bang Rivlan ketika aku ingin melayangkan hantaman meskipun tangan kananku nyeri. Kurang ajar betul pemuda tak bermanfaat itu, menikam di saat lawan sedang terdistraksi.

***

Pukul sembilan pagi, aku menuruni ranjang dengan kelopak mata yang masih terasa berat untuk dibuka. Aku baru tiba di rumah sekitar pukul tiga dini hari dengan kondisi basah kuyup, setelah mengeksekusi pelaku balapan liar di Kelayan yang membawa senjata tajam. Daripada kebablasan, aku memilih tidur sekitar dua jam kemudian, setelah melaksanakan shalat Subuh di rumah. Rasa kantukku sulit berdamai. Jangankan melangkahkan kaki ke mushola di komplek, menghidupkan ponsel setelah terhubung dengan charger saja aku malas.

Lima menit berdiam di bibir ranjang, aku melangkah ke dapur. Sepertinya menyesap secangkir kopi sambil menyantap roti pilihan yang tepat. Sambil menunggu air yang kujerang matang, aku mengoleskan selai cokelat kacang ke lembaran roti, melipatnya menjadi segitiga lalu mengunyah dengan perlahan.

"Auwh ...." Aku meringis ketika punggung tangan yang tadi malam terkena sabetan pisau mengenai ujung meja, bertepatan aku berdiri ingin mematikan kompor karena teko berbunyi.

Dalam hati aku merutuki kecerobohan pagi ini sekaligus kejadian tadi malam yang menyebabkan punggung tanganku jadi korban. Remaja tanggung yang ikut balapan itu kurasa juga berniat bertikai jika kalah taruhan, terindikasi dari senjata tajam yang mereka bawa. Kami baru sadar saat seorang remaja hendak menikam Bang Reza dari belakang yang langsung kucegah. Naasnya malah aku yang kemudian disabet walau untungnya tidak mengenai perut.

Aku menuangkan air panas ke cangkir yang berisi bubuk kopi robusta Astambul seperti yang disajikan ayahnya Lily. Kemarin malam, sepulang dari Kampung Kelayan, mampir ke sebuah toko klontong untuk membeli dua batang rokok sekadar menghangatkan badan, sekaligus meredam dongkol karena tak diizinkan Bang Rivlan menghajar pelaku penyabetan. Katanya bahaya karena aku sedang emosi.

Tanpa sengaja aku melihat deretan kopi terbungkus plastik bening tanpa merk apa pun di etalase. Penjualnya menawari kopi Astambul itu usai menyadari mataku yang tak beranjak dari lemari pajangnya.

"Eh, kok ada pesan Lily," gumamku setelah menyesap kopi.

Kuletakkan cangkir berisi kopi hangat itu di meja. Melupakan sejenak roti yang tersisa satu suapan.

Li, gimana penyergapannya?

Li, sudah di rumah?

Lihat selengkapnya