Ketika hatimu mulai rapuh atas komitmen yang ada, maka ingatlah kenangan-kenangan manis kalian saat bersama. Itu cara paling ampuh menguatkan yang rapuh.
---
Lily Diandra
Pukul delapan kurang lima menit. Asap dari air yang direbus dengan tungku kayu menguar-nguar di udara. Deretan termos dengan tutup-tutup terbuka sudah berjejer rapi tak jauh dari panci, menunggu untuk di isi. Di sudut lain, tiga lelaki berkalung sarung dengan dua di antaranya memejamkan mata menunggu. Aku bisa menerka, mereka keluarga pasien yang membeli air panas di kantin reot dekat Ruang Penyakit Dalam ini.
Aku sengaja datang lebih pagi sebelum jadwal dinas. Bukan untuk menikmati keriuhan tukang bangunan yang sarapan apam, pais (nagasari), bingka ataupun untuk -kue berbahan tepung beras yang diisi parutan kelapa dan gula merah atau pisang lalu digoreng. Bukan itu. Aku hanya ingin lebih dekat dengan tempat di mana Erlan biasanya hilir-mudik berkalung stetoskop. Ingatanku pada lelaki berkulit sewarna buah langsat itu sedang mendayu-dayu sekarang. Tidak jelas itu rindu atau sekadar perasaan bersalahku karena pernah mengizinkan masa lalu untuk bertamu.
Hampir sebulan belakangan Ali tidak pernah lagi menghubungiku sejak selongsong roll film yang diberikannya kulempar ke sungai Barito senja itu. Kupikir sudah saatnya kenangan itu diakhiri. Aku memiliki kehidupan lain di masa kini, begitupun mungkin Ali. Karena dia tak sedikitpun mencegah ketika aku membuang cetak negatif foto kami. Semestinya aku lega, tapi di sudut lain, hatiku seperti dipukul-pukul oleh tatapan mata Ali tak mampu kutafsirkan hingga sekarang.
"Ingat, Erlan, Ly, ingat perjuangan dia dua tahun untuk mendapatkan kamu, ingat dia rela menerobos hujan cariin pembalut pas pengobatan massal Medical Volunteer." Aku mensugesti diri sendiri dalam hati.
Kata orang, ketika hatimu mulai rapuh atas komitmen yang ada, maka ingatlah kenangan-kenangan manis kalian saat bersama. Itu cara paling ampuh menguatkan yang rapuh. Eh ... kok malah ingat yang dibilang Ali waktu di atas tongkang ya?
"Ya Allah, Ly," Aku merutuk. "Lupakan Ali, lupakan Ali. Kamu punya Erlan."
"Ali siapa sih?"
Kontan aku berbalik ke belakang saat menyadari sebuah lengan melewati bahu kanan dan langsung mencomot sepotong bingka tapai yang manisnya luar biasa. Uno. Siapa lagi kalau bukan dokter urakan itu.
"Kepo!" sungutku begitu ia mengambil duduk di samping kiri, berhadapan sepiring lapat dan pundut yang tersaji di meja panjang yang memisahkan kami dengan bangku seberang. Dari posisi ini, kami bisa melihat tukang-tukang bangunan yang merenovasi ruang nifas melalui sebuah jendela tanpa kaca.
"Pasien baru?" Uno membeo. "Eh tapi perasaan tadi IGD masih sepi."
"Uno Sabian Makatenga mulutnya! Belum pernah disedot pakai suction ya? Niat bener nyumpahin yang dinas pagi ketibanan bau," omelku.
"Ya terus siapa?" Bingka Uno sudah tandas. Ia mulai meraih salah satu pundut, melepas plastik berisi sambal habang yang tersemat bersama lidi.
Pundut sendiri sebenarnya sejenis lontong, dibungkus daun pisang yang dihaling -diasapi sampai layu agar tidak mudah robek- dengan menekuk kedua sisinya setelah diisi beras Gambut dan santan kental dari kelapa tua. Jika lontong berbetuk bulat atau segitiga sama kaki, pundut lebih mirip gunung salju yang mengerucut ke atas. Salju yang kumaksud adalah gumpalan santan membentang di puncaknya.
"Gimana kasus diabetes dan hipertensi di Banjarmasin gak makin tinggi tiap tahun, lha pola makan warganya begini," sindirku. "Bangun tidur langsung makan kue manis, sarapannya santan semua. Kalau gak pundut, lapat, lontong Orari, ketupat Kandangan deh."
"Siangnya gangan umbut, rebung, atau gak pisang ya, Ly?" Uno menyahut dengan bibir mencebik.
"Nah tuh tau!"
Dia manggut-manggut sambil mengunyah potongan pundut. "Itu aku tahu dari semester satu, tapi kalau si Ali ini ya harus kamu kasih tau."
Uno mengerling. Aku mendesah kalah. Nasib. Susah betul mengalihkan pembicaraan darinya.
"Rahasia aman, Ly. Dinding kantin RS Ansari Saleh bukan dinding FK yang punya telinga," kerlingnya menyebalkan.
Kuembuskan napas kuat, menatap Uno lekat sebelum kemudian berujar pelan, "Polisi yang bawa Papa ke IGD waktu itu."
Pupil mata Uno melebar. Ia menghentikan kunyahan pundut, lalu menelannya dengan berat. Kentara dari gerakan di kulit leher.
"Jadi korban liur baungan kamu?"
"Sembarangan!" Aku menepuk bahu Uno, membuatnya meringis.
"Ya polisi kan rata-rata liur baungan, Ly, bilang kamu satu-satunya padahal cadangan di mana-mana," ucap Uno berapi-api.
"Jangan curhat, No," cibirku. "Melati gugur sekuntum, bunga lain tumbuh setaman."
Uno memang pernah punya kisah cinta yang pahit. Hubungan dengan seorang polisi wanita yang sekaligus anak Kaploda Kalimantan Selatan kandas secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Mungkin bukan semata soal kecewa, melainkan juga perasaan bertanya-tanya, seperti pasien yang menghilang tiba-tiba di tengah proses perawatan yang belum selesai. Pertanyaan itu bercokol lama tapi tak kunjung bertemu jawab.
"Masa lalu, biarlah masa lalu, jangan kau ungkit, jangan kau rindu," senandung Uno asal, ia menyesap teh hangat yang belum sempat kusentuh.
Aku hanya menggeleng kecil, sudah kadung paham dengan tabiat Uno. Bukan juga sesuatu yang aneh bagi kami berbagi makanan. Terkadang ajaran FK saat ospek memang ada yang menyesatkan, termasuk soal higenitas.
"Alat kesehatan yang baru kadang emang bisa bikin silau mata, tapi dokter biasanya baru ganti kalau yang lama sudah benar-benar kehilangan fungsinya," ujar Uno berkias.
"Gimana kalau ternyata dia adalah alkes kesayangan yang baru kamu temukan lagi setelah hilang belasan tahun?" tanyaku lirih.
Uno berpaling, alisnya tertaut dengan sorot menuntut penjelasan.
"Ali teman sekolah dasarku, No. Dia ada jauh sebelum Erlan mengenalku malah."