Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #11

Menerjang Arus Waktu

Kawasan ini seperti museum kenangan. Mengunjunginya berarti menyusuri masa lalu bagiku.

---

Ali Nata Negara

Lelaki itu masih sama, tidak banyak yang berubah darinya seperti empat belas tahun lalu, selain rambut keperakan yang kini telah memutih seluruhnya. Kulit yang mengkerut di bawah mata menandai waktu tak dapat dijeda barang sedetik saja. Aku masih dapat mengenalinya dengan baik, termasuk suara menyalak dari balik pagar kayunya. Suara yang mengingatkanku pada hari perpisahan dengan Lily hingga membuahkan luka di kaki.

Semestinya aku terbiasa dengan ketidakbersamaan kami. Namun nyatanya, sebulan terakhir aku malah belajar mendustai hati. Pura-pura lupa padahal mengingat dengan baik setiap potong kenangan kami. Betapa kenangan terkadang memang menjengkelkan. Ia seperti sebuah bola plastik yang pabila ingin kalian tenggelamkan malah makin mengapung ke permukaan. Demikian pula tentang perasaanku pada si anak sekda kota yang ayahnya sedang menyapa lelaki berambut putih penuh di halaman rumah. Mereka bertegur sapa ramah.

"Tunggu sebentar, Pak Soebely, biar kuambilkan sawo matang," ujar lelaki baya keturunan Tionghoa itu bergegas masuk ke rumahnya.

Pak Soebely menggeleng, ia tersenyum kecil lalu bersuara, "Mungkin karena pemiliknya ramah makanya anjingnya galak supaya ada yang menjaga rumah."

Aku tergelak mendengar kelakar Pak Soebely. Selang menit setelahnya, tetangga rumah lama Lily itu datang dengan sekantung plastik sawo matang. Beberapa terlihat mekar hingga memperlihatkan daging buahnya yang cokelat sempurna.

"Sebagian ada yang jatuh, dahannya patah ketika dipanjat," terang beliau lalu menunjuk sosok lelaki lain yang sedang memotong dahan pohon sawo yang tumbuh ke arah jalan. "Tapi sawonya masih bagus. Kujamin manis," lanjutnya.

Pak Soebely menghaturkan terima kasih. Aku mengikutinya menuju rumah lama Lily. Pohon palem menyambut ketika pagar di buka. Tak banyak yang berganti, kecuali sebatang cemara yang telah ditebang lalu ditanami pohon mangga apel. Buahnya yang bulat bergelantungan, merayu-rayu anak kecil untuk melempari dengan batu sambil berdoa agar tak jatuh ke selokan sebelum temannya menangkap.

"Mau mangga, Li?" tawar Pak Soebely melamurkan lamunku.

Aku menggeleng. "Mau lihat sepeda gunungnya saja, Pak."

"Ah ya, ayo!"

Sepasang pintu kayu dengan bagian atas melengkung seperti bulan sabit terkuak setelah Pak Soebely memutar kunci. Sebuah hiasan seperti karpet bergambar unta, lelaki bersorban, cawan kuningan, dan pohon kurma tertempel pada dinding ruang tamu. Hanya urang Banjar yang pernah mencecap tanah suci dengan menumpang kapal, berlayar berbulan-bulan lamanya yang akan memiliki hiasan itu di rumah mereka.

"Itu peninggalan mendiang orangtua saya," ucap Pak Soebely.

Aku tersenyum tipis, menyadari ditebak Pak Soebely untuk ketiga kali. Kawasan ini seperti museum kenangan. Mengunjunginya berarti menyusuri masa lalu bagiku. Setiap jengkal rumah ini berisi ingatan tentang Lily. Tuhan ... teguhkan iman hamba agar tidak berniat menculik anak gadis orang.

Bagaimana tidak, di sudut kiri, sebuah sofa meski tak lagi sama tetap saja mengingatkanku pada kisah lama walau kalender telah bertukar empas belas kali. Letaknya persis, tidak bergeser sejengkal pun. Di sofa itu Lily pernah mengobati lukaku. Kuusap wajah frustasi, mengekori Pak Soebely menuju pintu yang menghubungkan dengan garasi. Kami berniat mengecek kesiapan sepeda sekda kota ini untuk dipakai mengeksplorasi alam Loksado bersama komunitas Kayuh Baimbai yang juga diprakarsai walikota Banjarmasin, Ibnu Sina.

Berawal dari ajakan Bang Darius yang memang penggemar olahraga sepeda takdirku kian terseret pada Lily dan keluarganya. Pak Soebely wakil ketua komunitas Kayuh Baimbai sejak dua tahun lalu, mau tidak mau akan banyak berurusan dengannya, seperti sekarang ini.

***

Fajar sudah menyising gulita ketika mobil melewati batas kecamatan Padang Batung dan Loksado. Sepanjang perbatasan itu tepi jalan penuh oleh tanaman bambu berdiameter sedang seukuran joran pancing. Batung dalam bahasa setempat berarti bambu, sedangkan Lok bermakna sungai.

Jalanan yang datar mulai menanjak sekarang. Di kanan sebagian besar daerah perbukitan, kelapa sawit tampak mendominasi. Pada sisi kiri, jurang membentang, dialiri air yang jernih menerobos batu-batu sebesar punggung kerbau. Kian menanjak jalan, kian dingin angin yang menerpa. AC sudah dimatikan oleh Pak Soebely begitu kami melewati gerbang perbatasan. Lelaki bersaja itu bahkan menurunkan kaca mobil sepenuhnya. Di belakang, Amang Yus tidur dengan suara mirip kodok saat musim hujan. Ia menyerah ketika kami akan memasuki Kabupaten Hulu Sungai Selatan, tiga jam berkendara dari Banjarmasin sejak azan Subuh baru dikumandangkan berhasil membuat tangan lelaki itu kesemutan. Tak tega dan khawatir membahayakan, aku menawarkan diri mengambil alih dua jam perjalanan berikutnya.

"Berhenti dulu, Li," ucap Pak Soebely begitu kami berhasil melalui sebuah tanjakan berkelok. "Pinggangmu sepertinya perlu diluruskan."

Mobil perlahan menepi ke sudut jalan yang berdinding tanah. Jika hujan deras, tanah ini mungkin bisa longsor. Sepanjang perjalanan tadi aku sering menemukan peringatan dan police line. Termasuk pada tepi jurang tanpa birai yang berada di seberang sana. Aku mengekori langkah Pak Soebely yang berjalan dengan tenang. Sepagi ini, jalanan memang cenderung lengang, hanya beberapa sepeda motor modifikasi dengan kanan kiri penuh kayu manis lewat.

"Coba lihat ke sana," Telunjuk Pak Soebely menuding sedikit miring. Sebuah gunung batu bercorak putih tertutup tumbuhan hijau tua tampak menjulang jumawa. Tingginya nyaris menjangkau cakrawala. Matahari bahkan bersinar malu-malu di balik puncaknya. "Itu namanya Gunung Kantawan," ucap beliau kemudian.

"Warga Loksado memang biasa bercocok tanam di lereng bukit ya, Pak?" tanyaku ketika pandangan beralih pada arah yang berlawanan. Di sana, pokok-pokok pisang yang masih seusia anakan tumbuh bergerombol. Seluas mata memandang, segala yang hijau mendominasi jurang ini.

"Itu pola huma tadah hujan, Li. Bagian dari upaya menyelaraskan hidup dengan alam. Mustahil bertanam padi dengan sawah di sini. Mereka hanya panen satu tahu sekali, maka dari itu setiap keluarga membangun lampau di huma dan samping rumahnya. Lampau itu semacam lumbung, tempat mereka menyimpan padi."

"Saya pernah melihat orang-orang Baduy menyimpan padi hingga bertahun-tahun. Apa di sini juga begitu, Pak?"

Sekdako Banjarmasin itu berpaling ke arahku, senyumnya tipis namun terkesan hangat. Sebagian wajahnya ditimpa sinar matahari yang berkilau lembut, menegaskan helaian rambut keperakan.

Ia mengangguk, lantas berkata, "Saya pernah mencicipi beras buyung dari padi yang disimpan selama tiga tahun. Meski wanginya telah hilang, tapi rasanya tetap enak. Sedikit lebih kesat memang karena kandungan airnya jauh berkurang. Warna juga lebih kusam."

"Di Baduy warnanya malah ada yang kehitaman, Pak," timpalku kemudian.

Lihat selengkapnya