Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #12

He is the First

Sisi nuraniku mendentumkan tentang kesetiaan. Haruskah aku goyah demi kemanusiaan?

---

Lily Diandra

"Mau digendong?" tawarnya dengan suara yang masih lugu, tanpa kesan berat dan sengau.

Cepat-cepat aku mengangguk dan berpegangan pada pundaknya. Lalu dengan cengkraman lengan yang kurus dan panjang mirip sulur keladi yang tumbuh subur di tepi sungai Veteran, ia akan membawaku di balik punggungnya hingga mencapai pagar masjid raya. Keningnya mengeluarkan peluh sebesar-besar bulir jagung. Aku tahu ia lelah. Alih-alih mengeluh, ia justru akan tertawa memandangi wajahku yang merasa berdosa. Nata Negara. Pelindung negara. Itu arti nama yang disematkan ayahnya. Tapi Nata kecil memang sudah mengidap tanda-tanda sakit jiwa. Dia lebih suka menyebut Nata Diandra. Pelindung yang kuat katanya. Pelindungku.

Kilas balik itu berkelebatan sering pandanganku yang mengabur. Air yang menghantam wajahku kian deras, tanpa ampun memasuki tenggorokan. Tertelan walau tidak kuinginkan.

"Ly, telentang!" teriak Nata kecil yang kini sudah dewasa. "Sungai Amandit airnya dangkal, jangan berenang tengkurap," tambahnya dengan suara yang timbul tenggelam.

Aku baru berniat membalikkan badan saat sebuah batu menghatam dada. Nyeri. Air yang mengisi mulutku kian banyak. Dalam kepalaku kemudian hanya kematian yang berpendar. Segalanya menjadi tentang maut saat tubuh digulingkan arus deras, kaki, lengan, bahkan dada bergantian terhantam batu-batu yang sebagian cadas. Ada bayangan papa dan mama.

Lalu samar-samar kudengar suara teriakan, "Dapat!"

Kalimat yang kudengar timbul tenggelam ketika sebuah tangan mencengkram bahu, menarik ke tepian. Mendadak pandanganku menggelap sebelum akhirnya kurasakan air terpompa dari dalam, menyembur ke luar melalui refleks batuk.

"Ngapain stetoskop taruh di bibir begitu?"

Mataku mengerjap, Uno membungkuk tepat di depan wajah sambil menggoyang-goyangkan tangan mirip orang membersihkan kaca dengan kemoceng. Sesaat kemudian raut herannya berubah sumringah, seringai jahil tampak jelas tanpa perlu kalian belajar mikro ekspresi dari psikolog.

"Segitu sakit hatinya bibir udah gak perawan lagi, Ly?" goda Uno membuatku membelalak. "Padahal yang kemarin bukan pertama kali kan?"

"Mulutnya bengkok deh kayak gunting sunat!" hardikku malah membuat Uno terbahak. Ia baru berhenti ketika dokter Mariana -istri Pak Walikota- melirik ke arah kami. "Ini kalau ada Papa bisa-bisa disidang aku."

"Iya sih, Om Soebely tahu kamu tenggelam aja kemarin langsung berubah sikapnya ke Ipda Ali, apalagi tau anaknya dikasih napas buatan. Dikawinin besok mungkin."

"Uno!"

Dia hanya mesem-mesem tak karuan. Dari sekian banyak dokter yang ikut pengobatan massal, kenapa harus Uno yang satu penugasan denganku? Tragis.

"Orang kalau suhu dingin biasanya malas ngomong, kamu kok makin lancar ya, No?" sindirku.

"Dinginnya Gunung Keladi mah gak seberapa sama dinginnya kamu kemarin. Buktinya gak ada yang ngasih ciuman buat menghangatkan?" kerling Uno nakal.

"Napas buatan!" protesku sambil memukul lengannya sampai Uno mengaduh.

"Eh yang kemarin benar ciuman pertama? Terus yang di FK dulu apa kabar?"

"Mana pernah, No? Erlan mau cium kening izin dulu dan gak pernah depan umum ya!"

"Bukan sama dokter Erlan, sama torso pas rekruitmen Medvo," ucapnya lalu tergelak. Aku mendengus. Uno sialan.

Ledekan Uno soal kejadian kemarin sepertinya akan berlangsung panjang. Tidak tahu dokter berambut halus di sekitar rahang ini memupuk dendam sejak kapan? Ia seperti sedang berusaha membayar lunas ledekanku sewaktu kami main scrabble itu. Mendadak aku merasa Uno dan Uti semestinya mendapat ospek ulang di FK agar ketanggapannya meningkat. Di antara tiga dokter yang ada, kenapa harus Ali yang melakukan RJP? Kata Uti kemarin situasinya mencekam sekali. Aku terlempar dari lanting, Ali mengejar, Saka mengambil alih kendali lanting, sedangkan Uno menenangkan Uti yang histeris.

Aku tidak bisa mempermasalahkan Saka. Di antara kami berempat, dialah yang paling akrab dengan air. Saka lahir dan besar di kecamatan Nagara, daerah yang seluruhnya berupa rawa dan dialiri sungai Mandala. Hanya ada satu jalan raya di sana, membelah seperti ketika Nabi Musa hendak menyelamatkan ummatnya dari kejaran Fir'aun beserta bala tentaranya. Desa tempat Saka lahir dihubungkan oleh jembatan papan tanpa birai yang sekaligus jadi halaman rumah mereka. Sehari-hari ia lebih sering menggunakan jukung. Alam yang kemudian mengilhami orangtuanya memberi nama Saka Mandala. Saka dalam basa Banjar berarti sungai.

Pada bulan Mei, rawa Daha akan memekarkan bunga seroja; teratai merah. Dulu, semasa kami masih kuliah, pulang dari Nagara biasanya Saka akan membawakan buah teratai yang masih muda. Rasanya manis. Kalian pasti bisa menebak siapa yang paling banyak memakan buah teratai di antara kami berempat, bukan?

Sekali waktu, Saka juga membawakan jaruk kembang tigarun. Itu makanan kesukaan Papa. Tigarun sebenarnya nama sebuah pohon. Saka bilang tumbuhnya kadang di tengah rawa. Tidak bertuan, tak ada yang punya. Siapapun bebas memetiknya. Orang-orang Nagara biasa mengolah bunga Tigarun dengan menyiramkan air panas, diberi sedikit garam, lalu disimpan dalam toples. Beberapa hari kemudian baru dimakan dengan menambahkan irisan cabai rawit dan perasan limau kuit.

Di balik sikap diam Saka tersimpan luka tentang kematian. Ayahnya meninggal karena jukung terbalik saat mencari ikan. Lebih menyedihkan, Saka tidak akan pernah bisa lagi menziarahi pusara sang ayah.

Di Nagara, orang yang meninggal akan dimakamkan dengan cara menenggelamkan tabala -peti jenazah- ke dalam lumpur rawa dengan diberi pemberat. Sering orang mengatakan, mati di Nagara itu sama saja dengan mati dua kali. Naas, makam ayah Saka dihantam banjir bandang sehingga menghanyutkan tabala beliau. Tidak ada yang tahu jasad itu hilang ke mana hingga sekarang. Maka dari itu, mendengar kesigapan Saka mengambil alih lanting membuatku tidak sanggup mempersalahkannya. Karena selama ini, berhadapan dengan proses kematian kadang membuat Saka terpaku.

"Kak Lily, Kak Uno, kita hari ini sampai sekitar jam 12 siang ya. Soalnya pimpinan dan sebagian staff puskesmas Malinau dan Loksado ada rakor di Dinkes Kabupaten bersama Bupati." Seorang mahasiswa FK memberitahu kami.

Aku melirik jam di pergelangan, pukul setengah sembilan. Setengah jam lagi sebelum dimulai tapi warga desa Lumpangi sudah mulai berkumpul. Ada baiknya aku meminta Uno kembali ke mejanya sebelum ia makin berulah.

***

"Ularnya ke bawah meja!"

Lihat selengkapnya