Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #13

Kenapa Bisa Cinta?

Ada satu nilai yang membuat benda yang sama bisa memiliki nilai berbeda bagi seseorang. Satu nilai yang melibatkan hati dan kenangan.

---

Lily Diandra

Gerimis mulai menjadi hujan lebat ketika semangkuk mie rebus terhidang di meja kantin. Duduk lesehan, kami saling bersisian. Dingin membuat kulit Erlan semakin pucat.

"Syukur kantin yang buka cuma satu," gumam Erlan dengan mata menengadah ke air yang menirai dari atap kantin.

"Aneh kamu, mestinya kesal," protesku padanya. "Udah kantin yang buka cuma satu, mie instannya juga sisa sebungkus."

"Aku kalau IP kamu gak bagus pasti ragu ada materi yang nancep selama preklinik," sindir Erlan menyebalkan. Aku mencebikkan bibir. "Makan telurnya aja yang banyak, mienya biar aku."

"Gak mau, Yang," rengekku memelas. Walau tahu Erlan tidak akan cepat luluh. "Mana kenyang kalau telur aja. Adu dulu-duluan aja gimana?"

Erlan mendengus tapi tidak lagi mendebat. Tapi bodohnya seorang Lily Diandra adalah lupa kalau Erlan Kesuma Wijaya punya keterampilan khusus soal mie. Aku merutuki diri sendiri saat sadar salah menantang orang. Erlan jangankan pakai garpu, pakai sumpit pun dia cepat sekali makan mie. Dan buah dari kedodolan itu seringai menyebalkan Erlan saat mie tinggal sesendok.

"Yang, ngalah ..."

Erlan menggeleng. Alisnya terangkat sebelah. "Nyerah?"

"Gak!"

Seutas mie membentang antara mulutku dan Erlan. Makin lama makin dekat posisi kepala Erlan.

Teg.

Erlan menggigit untaian mie itu hingga menyisakan seruas ujung jari di depan bibirku. Ia tersenyum kecil sementara degup jantungku sudah tidak karuan lagi. Buru-buru kupalingkan wajah dari Erlan.

"Aku menghormati batas yang kamu tentukan," bisiknya membuat rambut halus di sekitar tengkukku meremang.

Inhale. Exhale.

Erlan terkekeh kecil melihatku berusaha mengatur napas agar kembali normal. Tak lama kemudian, telapak tangannya mengangsurkan sebuah notes bersampul kulit warna cokelat muda. Di bagian atas sampul itu tergrafir nama lengkap Erlan.

"Simpan ini, mungkin kamu perlu saat ujian stase tertentu."

Buku dewa. Catatan Erlan itu jaminan lengkap. Kemampuan mind mapping Erlan memang ajaib. Tapi sayang, Erlan hanya mau berbagi catatan dengan orang tertentu meski itu cuma buat difotocopy. Lalu ketika ia memintaku menyimpan salah satu catatannya, wajar bukan kalau aku merasa diistimewakan?

"Makasih, Ko!" ucapku langsung dipelototi Erlan.

"Becanda ih, jangan serius-serius nanti cepet tua," godaku sembari menekan-nekan lipatan di kening Erlan. Dia menggeleng kecil.

Erlan kemudian merogoh saku celananya, lalu menyerahkan sebuah benda kecil dengan kancing berwarna hitam. Berbahan kulit juga.

"Kalau ini pasang di stetoskop biar gak hilang."

Lihat selengkapnya