Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #14

Hikayat Pohon Bungur

Luka orang kamu yang obati, tapi pulih atau tidak itu mekanisme tubuh pasien yang bekerja. Perpanjangan tangan Tuhan tidak serta merta membuat dokter ikut berkuasa terhadap semesta.

---

Ali Nata Negara



Balai yang menjadi pusat desa Lumpangi ini makin sesak usai gemerincing gelang Hyang Sang Balian berganti gema gong yang betalu-talu. Di halaman, babi-babi mendadak makin banyak, namun bukan pertanda bahagia. Kuiknya bersahut tangis sejak dini hari tadi.

Tidak ada yang menyangka sukacita panen melalui gelaran Aruh Ganal akan berubah menjadi hujan airmata tak bertanai hanya dalam hitungan malam.

"Sini, biar aku yang lanjutkan!" seruku lalu merebut paksa beliung -kapak- dari tangan Dehen ketika sadar benda tajam itu nyaris mengenai jarinya.

Mata lelaki yang sudah kuanggap adik sendiri itu telah memerah saga. Urat-urat bertonjolan. Ia tak tidur semalaman. Sempoyongan sejak kami menebang sebatang hiyuput -pohon bertekstur lembut- dalam hutan Gunung Kaladi yang akan digunakan untuk membuat rarung; peti mati.

"Penutup rarung sudah selesai."

Lapor seorang lelaki dengan laung di kepala. Aku tahu ia salah satu balian yang menarikan putir tadi malam. Kami mempercepat pekerjaan mengeruk batang pohon sepanjang enam puluh sentimeter ini agar segera menjelma serupa sampan. Dalam rarung inilah Nanjan, bayi laki-laki yang tadi malam dilahirkan Serunai akan dibaringkan.

Semenjak menginjak lantai bambu yang berderit-derit menahan beban hentakan kaki Sang Balian kemarin malam, ada sesuatu yang menyusup di benakku secara diam-diam tetapi urung aku nyatakan. Aku ragu Serunai benar-benar adik Dehen dari satu umbun -kekerabatan balai. Keraguanku kian diperkuat dengan penyelenggaraan adat mambatur siang ini. Mambatur sendiri biasanya diselenggarakan oleh etnis Dayang Maanyan yang mendiami gugus pegunungan Meratus di Kabupaten Tabalong.

"Rarung-nya mau dibawa ke mana?" selidikku saat dua lelaki muda memikul peti yang sudah berbentuk seperti sampan itu.

"Ke dalam balai supaya dialasi tikar bamban dan kain lalangit dulu sebelum dibaringkan mayat," terang lelaki lain yang masih memegang beliung di tangannya.

Aku mengangguk, lalu menyusul Dehen yang termenung sembari menyandar pada dinding balai. Sorotnya yang nyalang sekarang tampak menerawang. Seruas rokok tanpa filter yang terselip di antara jemarinya mengabu sia-sia. Kuyakin hanya sekali rokok itu ia hisap usai dihidupkan.

"Apa Serunai akan selamat, Bang?" tanya Dehen dengan nada putus asa yang kentara.

"Aku harap begitu, Hen," ujarku seraya mengembuskan napas hingga memunculkan kabut di depan mulut. "Lily dan petugas medis di RSUD pasti berusaha yang terbaik untuk Serunai, tugas kita di sini mendoakan. Bukahkah kata Bapangmu, saat Aruh Ganal begini Nini Bahatara sedang membukakan langit lebar-lebar untuk menumpahkan berkah-Nya?"

Dehen mengangguk. Kurengkuh bahunya. Dayanya bagai dihisap buyu sekarang.

"Kau tidak ikut memandikan Nanjan?"

Sebuah gelengan lemah mendahului jawaban yang meluncur dari mulut Dehen. "Damang Aban tidak akan sudi cucunya disentuh keturunan balian pulu sepertiku, Bang."

"Maksudnya?"

"Garis balian di keluargaku berakar dari nenek. Sehingga keturunannya hanya akan menjadi balian pulu, balian yang tak diizinkan melakukan tatamba[1]. Sekalipun ia mampu. Itu sebabnya Bapang memintaku menjadi polisi, melepas keyakinan Kaharingan. Bapang menjadi balian terakhir di keluarga kami."

***

Tepat di pergantian malam, gong bergema lagi ketika jasad Nanjan dalam balutan pakaian rapi akan dibaringkan ke dalam rarung. Api dari lampu minyak tanah berbahan botol bekas minuman berenergi yang tutupnya diselipi sumbu kompor tampak meliuk liar ditingkahi angin. Asapnya yang hitam pekat seakan ingin membuat jelaga di haluan dan buritan peti.

"Simpan ini untuk dibawa ke pemakaman," ujar salah seorang usbah -keluarga mendiang- seraya membuka tangkupan tangan.

Dari tangkupan itu, helai rambut, kuku yang masih belum seberapa, bulu mata, juga secarik pakaian Nanjan berjatuhan ke dalam wadah kecil berbahan tanah liat. Para usbah mulai menangis lagi. Sebagian bahkan masih terisak ketika wadian mulai merapal nasihat-nasihat bagi bayi lelaki yang belum sempat membuka mata itu. Tak ada kata-kata wadian yang dapat kumengerti. Tetapi, menurut salah satu warga yang berdiri di sampingku, nasihat itu semacam petunjuk agar amirue -arwah- tidak tersesat menuju surga. Seketika terbersit dalam benakku, Nanjan mungkin akan lebih bahagia hidup di sisi Tuhan daripada di sini. Aku tak bisa memastikan mengapa berani berpikiran begitu. Hanya saja, menilik ucapan Lily kemarin malam, ketika Nanjan lahir tanpa tangisan dengan kondisi patah bagian lengan, aku tak tega membayangkan ia harus merasakan sakit berkepanjangan.

Esok harinya, wadian mengakhiri nasihat yang ditutur nyaris semalam suntuk ketika rarung ditandu menuju pemakaman. Langit sudah mendung kembali begitu cupu yang berisi rilekui Nanjan dibenamkan sekitar lima puluh sentimeter dari puncak gundukan. Nanti, saat prosesi nabuh dalam rangkaian mambatur dimulai, Damang Abansebagai kepala adat akan mengambil dan membersihkan cupu itu untuk disemayamkan oleh seorang balian pada suatu tempat. Di hari ketujuh, tarian Gintur akan dipentaskan sebagai pengiring acara santap kerbau.

Lihat selengkapnya