Kebenaran itu harus disampaikan dengan terang. Karenanya lebih baik mati daripada hidup dalam penyesalan setelah membiarkan orang yang tidak bersalah mendekam dalam penjara.
---
Ali Nata Negara
Kopi hitam dalam gelas bertatakan piring kaca itu telah berhenti menguarkan asap sejak jarum pendek di pergelangan tanganku menempati angka sebelas. Sekarang pukul 12.30 malam. Tiga puluh menit sudah aku mendekam di warung kopi yang menempati sudut jalan seberang hotel Andalas ini tanpa melakukan apa-apa, selain bergelut dengan kecamuk dalam kepala sendiri.
Layar ponselku menyala, sebuah nama nyaris membuatku tersedak asap rokok. Bapak. Buru-buru kuembuskan hasil bakaran rajangan daun tembakau itu ke udara, menggeser ikon hijau sebelum dering berakhir.
"Kau pikir orang tuamu ini umpak batu rumah limasan? Seenaknya dibiarkan cemas dan tidak diberi penjelasan!" cecar Bapak tanpa ampun.
Nyaliku bagai abu rokok sekarang. Melayang berhamburan. Aku sadar telah melakukan kesalahan fatal, mendiamkan telepon bapak dan ibu berhari-hari belakangan. Tepat sejak pemberitaan Lily muncul di media cetak lokal bahkan nasional. Ditambah lagi Brigjend Waluyo yang menugaskan humasnya ikut memberi pernyataan yang agak menyudutkan. Mental Lily mulai tumbang sekarang.
"Ipda Ali Nata Negara, berapa lama seorang bhayangkara diizinkan tidak menjawab pertanyaan komandannya?"
"Siap!" sahutku gelagapan.
"Siap apa?"
"Siap salah, Ndan!"
"Bikin ulah apa kamu di Banjarmasin? Mas Waluyo sampai telepon Bapak pukul empat pagi dan namamu ikut muncul di koran nasional hari ini!"
Kuhela napas panjang. Polisi bintang satu itu mulai KKN lagi, membawa persoalan institusi ke ranah pribadi. Kalau tidak ingat petuah bapak agar jangan meludah ke atas, mungkin sudah kusemprot ia sejak hari pertama kembali ke polresta.
"Ali sedang berusaha menjadi laki-laki bertanggungjawab, Pak."
"Ada hubungan apa kamu dengan dokter yang dituding malpraktik itu?"
"Ini bukan soal hubungan Ali dan dia, Pak. Ali punya pertanggungjawaban moral karena sudah membujuk dia menolong persalinan itu," sanggahku.
Lama bapak tak bersuara, hanya deru napasnya yang memburu mengisi keheningan percakapan kami.
"Nak, dengar Bapak," ujarnya kemudian. "Jangan membela seseorang karena belas kasih, belalah karena ia berada pada posisi yang benar. Sepanjang karier Bapak di kepolisian, Bapak selalu berdoa, semoga kasih Bapak kepada seseorang tidak lebih besar daripada untuk Tuhan, kebenaran, dan keadilan."
"Pak, sejauh ini Ali masih mengupayakan kebenaran dan bukan mencari pembenaran. Sekalipun Ali tahu, untuk kasus ini faktor non yuridis seperti emosi publik sangat berpengaruh."
Kulirik tiga koran terbitan lokal dan satu terbitan nasional yang tergeletak tak beraturan di atas meja warung. Ada yang memuat pernyataan LSM, lalu konfrensi pers pihak IDI Kalimantan Selatan, juga humas Polda Kalsel sehubungan demo yang dilakukan tim bantuan medis kampus Lily.
Tolak Kriminalisasi Dokter, Solidaritas dr. Lily Diandra Kenakan Pita Hitam di Lengan
Humas Polda Kalsel Benarkan Keterlibatan Anggotnya dalam Kasus Malpraktik Dokter Internsip
Sidang Kode Etik menyatakan Tidak Bersalah, Sekdako Banjarmasin Enggan Beri Keterangan
Kupijat keningku pelan, nanar memandangi beberapa headline berita yang bertebaran. Itu baru yang hari ini, belum judul hari sebelumnya. Bapak mengakhiri sambungan telepon setelah menyampaikan pesan agar aku berhati-hati atas kasus Lily. Ia khawatir karierku akan turut dipertaruhkan setelah ikut menjadi sorotan media.
Tanganku terulur ke gelas kopi yang sudah mendingin sempurna, lantas menyeruput seduhan bubuk hitam itu tanpa minat. Dalam kondisi seperti ini, diberi gula pun kopi akan tetap terasa pahit. Baru dua tegukan, ponselku kembali menyala. Pesan instan dari Bang Darius, kasat reskrim yang belakangan mati-matian mendukungku memperjuangkan kasus Lily.
Li, kutunggu di Jembatan Merdeka. Sekarang!
Gegas kuraih jaket yang tergeletak di bangku warung, membayar tanpa meminta kembalian. Beberapa orang menatapku heran, sebagian ada yang takut-takut. Mungkin dipikiran mereka akan ada penyergapan.