Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #16

Penuntasan

Ketika orang tidak mencoba mencari sudut pandang lain, selamanya dia akan terjebak dalam keyakinan yang mungkin keliru. Seperti gajah yang kakinya dirantai besi sejak kecil, dia akan tetap percaya tidak bisa lari meski talinya diganti benang saat sudah dewasa.

---

Lily Diandra

Sehari sebelum pertemuan pertanggung jawaban persalinan Serunai, aku duduk di kantin dekat ruang penyakit dalam. Hujan masih menyisakan rintik meski langit sudah dilingkup jingga yang agak terik. Samar, pelangi melengkung terlihat dari jendela tanpa kaca di sudut kantin. Mie instan rasa soto Banjar Limau Kuit dengan rebusan telur ayam kubiarkan mendingin tanpa sentuhan. Lidahku terasa pahit untuk bersantap sejak kasus ini bergulir. Terlebih beberapa jam lalu aku menerima telepon dari Erlan yang bukannya menenangkan malah mengundang perang.

"Kenapa terlalu idealis sih, Ly? Kalau kamu gak nekad aku yakin kasus ini gak akan terjadi," ucapan Erlan membuat kekalutanku tersulut.

"Ini bukan soal idealisme, Dokter Erlan Kesuma Wijaya, tapi kemanusiaan! Loksado itu masih satu gugus pegunungan dengan Juhu, dalam kondisi serba terbatas tega kamu biarin pasien meregang nyawa tanpa kasih tindakan apa pun?" sentakku tajam.

Hening menyusupi percakapan jarak jauh kami. Erlan sedang merujuk pasien ke rumah sakit kabupaten sehingga bisa menghubungiku. Naas, waktu komunikasi yang terbatas malah ia gunakan untuk mempersalahkanku, bukan mendukung secara moril seperti yang aku harapkan. Ada ragu yang mulai menggelitik hati, mengapa makin ke sini aku dan Erlan semakin jauh jurang pemisahnya? Karakter kami kian terlihat sulit diselaraskan.

"Sebenarnya aku ragu motif kamu menolong itu semata-mata karena pasien. Aku malah berpikir kamu ada sesuatu dengan polisi yang ikut masuk namanya di koran nasional itu," tuduh Erlan membuatku meradang.

"Kenapa kamu jadi terpengaruh asumsi pribadi begini sih, Lan?"

"Karena aku yakin kamu tahu resiko pasien itu. Sebentar aku kutipkan pernyataan kamu di koran kalau kamu lupa," ujar Erlan dengan nada tajam. "Saat saya menemui pasien SN kondisi tangan bayi sudah terulur sebatas lengan dari jalan lahir dan tidak bergerak. Tetapi ketika itu saya tidak membawa doppler untuk bisa mengetahui detak jantung bayi."

Erlan berhenti sejenak, ada suara lain yang menginterupsi, mungkin perawat di RSUD yang menangani pasien dari Puskesmas Juhu. Napasku rasanya ikut berhenti menunggu ia bicara lagi.

"Wajar gak kalau aku mikir kamu ada apa-apa dengan polisi itu? Karena dia yang membujuk kamu menolong pasien SN," tuntut Erlan.

"Kamu mikir gak, Lan, kalau hari itu aku memilih angkat tangan akan berapa nyawa lain yang melayang? Aku bukan mau takabur tentang kuasa Tuhan, bukan. Tapi pantas gak kita berharap pasien selamat tanpa melakukan tindakan apa pun?"

"Menyelamatkan orang lain bukan berarti menumbalkan diri kamu sendiri, Dokter Lily Diandra!" sentak Erlan. "Aku sepenuhnya yakin kamu bisa prediksi kemungkinan apa yang akan kalian terima seandainya pun bayi itu selamat. Pertama lengan dia patah, kedua dia bisa saja terinfeksi, bahkan dampak paling bahaya bisa jadi baru muncul seiring perkembangannya. Mikir ke sana gak kamu? Logika harus tetap dipakai sekalipun untuk urusan kemanusiaan. Heran aku sama kamu."

"Erlan, cukup!" peringatku. "Kamu bicara seolah-olah selama ini aku gak belajar apa pun. Kamu bicara seakan ditugaskan ke daerah yang penuh kecanggihan. Resiko di Juhu itu lebih besar, Rizal yang cerita kamu nolong pasien tanpa anastesi.

Tujuan kamu ke sana sebenarnya apa? Kemanusiaan atau menghindari Papa?"

"Ly, hubungan kita ini rapuh jangan kamu tambah beban dengan menghadirkan orang lain."

"Ali itu bukan siapa-"

"Bisa jadi akan siapa-siapa kalau terus kamu beri ruang!" potong Erlan. "Kamu mau kita selesai?"

Lihat selengkapnya