Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #17

Jamu Kuat dan Bunga Penyambung Jodoh

Bagaimana caraku melepaskan

Sedang engkau senantiasa kudoakan

Pantaskah kau ajari aku tabah

Sedang ketegaranku kau jelmakan remah

Akankah rintik di pelupuk mata tadah

Sedang kelindan kita terseok menangkal musnah

Aku tahu kau bukan sepatu

Tak mesti diikat sepanjang waktu

Tetapi hatiku juga bukan baju

Yang digantung takkan jemu

Warnaku bisa kusam

Rasaku mungkin karam

Pertalian kita bisa koyak

Remuk tak berbentuk

---

Lily Diandra


Aku mengembuskan napas lega setelah Ali berhasil mengurai kemacetan yang saban hari menjadi pemandangan umum di perempatan Jalan Veteran dan Kampung Pangambangan. Dari Puskesmas Sungai Mesa usai mengambil berdus susu dan biskuit MPASI bantuan dinkes, kami memang menyelinap ke kawasan yang mempertemukan lebih dari empat anak sungai dengan jarak tak seberapa jauh ini. Dua bulan terakhir aku memang bertugas di puskesmas sebagai rangkaian terakhir masa internship.

Kulirik Ali yang nampak tenang membelokkan mobil ke sisi kiri jembatan. Laju mobil ia pelankan agar tidak menabrak anak-anak yang bermain di jalanan. Kampung ini memang diapit sungai Pangambangan dan sungai Bilu, membuat halaman warga sangat terbatas luasnya. Baru setelah lebih dari lima puluh meteran jalanan terasa sedikit lengang. Cahaya matahari petang menyusup dari celah dedaunan pohon jambu air yang banyak tumbuh di tepi jalan.

Ali menurunkan kaca mobil dan menyapa seorang lelaki yang berdiri di teras sebelum menepi ke halaman rumah yang cukup lapang. Dua mobil angkutan kota berwarna kuning terang tampak terparkir, berjarak sekitar sepuluh meter dari pohon ketapang yang menaungi mobilku.

"Numpang parkir, Pak," ujarnya menyalami lelaki berpeci haji itu.

Aku keluar untuk menyusul mereka.

"Oh, Bu Dokter," sapa beliau hangat. "Pantas rasa kenal dengan mobilnya. Masuk dulu kah?"

"Langsung aja, Pak Haji, sudah ditunggu yang lain."

Selepas berpamitan, Ali membantuku membawa dus susu dan biskuit MPASI. Kami menyeberang jalan beriringan. Di sana, di teras rumah yang sepenuhnya berbahan kayu ulin para ibu, bayi, dan batita mereka berkumpul.

"Ini taruh di mana?" Ali memberi kode dengan isyarat mata pada tumpukan kardus yang nyaris mencapai lehernya.

"Taruh di sini aja," tunjukku pada teras. "Nanti biar langsung dibagikan."

Baru saja Ali akan berbalik, sebuah bola plastik menggelinding tepat di kakinya. Ali mengangkat bola itu bersamaan dengan kedatangan beberapa anak lelaki yang memandanginya segan.

"Bola kalian?" tanya Ali sambil mengacungkan benda bulat itu ke udara.

Mereka mengangguk takut-takut. "Maaf, Om, tidak sengaja."

Ali tersenyum. "Bolanya saya kembalikan, tapi dengan satu syarat."

"Apa, Om?"

"Saya ikut main, boleh?"

Para anak lelaki berusia sekolah dasar itu mengangguk, mereka bersorak menyambut Ali dan mulai berebut menentukan akan masuk tim mana polisi ini. Ali melirikku sesaat sebelum beranjak pergi.

"Aku main sama mereka dulu ya? Kalau sudah selesai telepon aja," pamitnya kuangguki.

Punggung Ali mulai menjauh saat bayangan Erlan tiba-tiba bertandang. Dua lelaki ini memang bertolak belakang. Ali yang lebih santai berbanding terbalik dengan Erlan yang cenderung serius dan statis, kalaupun bisa berinteraksi dengan anak-anak itu hanya dengan Edward dan Edwin, keponakannya sendiri. Tetapi melepaskan Erlan bukan perkara mudah. Ia pernah menjadi orang yang sangat peduli dengan kelangsungan pendidikanku, membantu sejak masih preklinik hingga koas. Lelaki yang menitipkan roti diam-diam di loker jaga agar aku tetap ingat makan di tengah sibuknya menjadi asisten para dokter.

Apa kabar dia?

Sejak perseteruan kami sebelum pertanggungjawaban kasus Serunai itu Erlan tak pernah lagi menghubungiku. Hanya Kak Jessy yang masih mengabari jika Erlan menelepon dirinya atau orangtua mereka.

"Laki pian kah, Bu Dokter?" sambut seorang perempuan begitu aku mendaratkan duduk di teras warga. Dia salah satu kader posyandu Kembang Culan, nama yang disematkan mengingat kampung Pangambangan merupakan wilayah pengrajin rangkaian bunga. Orang Banjarmasin mengenalnya kambang barenteng.

"Bukan," sahutku disertai gelengan halus.

"Masih larangan kah?[1]" uliknya seakan tak puas. "Mudahan lakas badatang, tarukui jujuran, tuntung pandang hampai bakalang papan[2]."

Aku menanggapinya dengan seulas senyum tipis dan perasaan sungkan. Seorang bidan menghampiriku bersama sepasang ibu dan anak yang baru saja melakukan penimbangan. Bidan ini menyerahkan KMS atau kartu menuju sehat yang biasanya berisi grafik pertumbuhan anak berdasarkan indeks berat badan menurut umur. Ia menyisipkan kartu ini ke dalam buku KIA, sementara kader tadi beranjak ke sudut lain teras rumah warga yang kami jadikan tempat posyandu. Ia meraih mangkuk dan menuangkan sesendok sayur bubur sop, di sudut piring plastik yang menjadi tatakan tersemat sepotong puding berbahan gula merah, telur, dan santan. Setiap bulan posyandu di sini memang menyediakan menu berbeda untuk memboyong warganya datang. Kadang bubur manis seperti hintalu karuang, randang yang bentuknya serupa sagu mutiara namun berwarna cokelat terang, dan aneka jajanan tradisional lainnya.

"Hallo," sapaku berusaha mengakrabi anak perempuan berusia delapan bulan dalam gendongan ibunya. "Siti Raissa Isyana ya?"

Ibunya mengangguk.

Aku menelaah sebentar ke arah kartu gambaran tumbuh kembang dengan gambar pelangi menanjak berwarna kuning dan hijau. Sudah ada bubuhan keterangan dari kader di sana.

"Ada penurunan berat badan ya karena bulan lalu sempat diare," ujarku lebih condong bicara pada diri sendiri usai mengamati pergerakan grafik yang menurun.

"Iya, Dok, nafsu makannya kemarin sempat turun," tanggap sang Ibu sambil berusaha menarik tangan anaknya yang hendak menjangkau puding. "Tapi seminggu ini sudah banyak lagi makannya. Tadi pagi bubur nasi dan belut habis semangkuk."

"Syukurlah. Insya Allah sehat kok ini, Bu, beratnya masih normal walaupun ada penurunan. Ini masih ASI juga kan ya?" Aku meraih jemari montok bayi perempuan ini. Ia terkekeh kecil saat kucandai.

"Masih, Bu Dokter. Disuruh Bu Bidan sampai 2 tahun."

"Makanannya lebih dijaga lagi ya, Bu, supaya bagus nutrisi buat bayinya," peringat bidan. Ibu tadi mengangguk seraya pamit menghampiri para ibu dan anak lainnya.

Lihat selengkapnya