Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #18

Perpisahan

Perpisahan itu semakin indah, semakin pedih. Seperti hati yang tercabik tapi tak pernah terpisahkan.

---

Ali Nata Negara

Perpisahan itu semakin indah, semakin pedih. Seperti hati yang tercabik tapi tak pernah terpisahkan. Kupikir kalimat Seno Gumira Ajidarma, si penulis yang terkenal dengan narasinya tentang senja ini tidaklah berlebihan. Di ujung panggung sana, dalam remang lampu kekuningan sepasang lelaki dan perempuan sedang berusaha melepaskan pertalian hati. Caranya demikian indah, namun mustahil untuk bisa dinikmati. Bagaimana pun jua, racun takkan berkurang efek mematikannya sekalipun kau sajikan berselubung gula kan?

"Dinda Putri Kahuripan, adakah Sang Hyang bertitah jalan lain agar kita dapat bersama?" tanya lelaki itu nelangsa.

Perempuan berselendang merah muda itu menggeleng lemah. Tatapannya demikian nanar.

"Tak ada jalan bagi langit dan bumi untuk bersatu kecuali kiamat tiba, Kanda Wangsa Gangga. Tetapi sampai hatikah, Kanda, menjadikan rakyat Nagara Dipa sebagai korban kita?" ujarnya sembari mengusap pipi sang pewaris tahta kerajaan Nagara Dipa. Lelakinya terdiam. "Kutahu tiada mudah berdamai dengan titah Sang Hyang, terlebih perkara hati dan cinta. Sebagai hamba, kita hanya bisa berupaya menawar luka."

"Adakah penawar bagi hati yang dikoyak paksa, Dinda?" ucap Wangsa Gangga retoris. Gelengan samar Putri Kahuripan adalah jawaban. "Perpisahan itu, Dinda, kita buat seindah apa pun jua tetap perih dan pedih. Seumpama keris, kian lembut kau tusukkan, kian dalam luka yang ia timbulkan. Sungguh menyakitkan."

Keduanya saling mengambil jarak. Perlahan selendang merah jambu itu mulai meninggalkan permukaan panggung seiring tubuh sang Putri Kahuripan bergerak naik. Ia menyerahkan setandan bunga teratai merah dan putih kepada Pangeran Wangsa Gangga.

"Kanda, bilamana teratai tak mudah karam walau dilamun air pasang, tak mudah layu meski digempur kemarau panjang, semoga pertalian kita pun demikian adanya sekalipun Sang Hyang memisahkan langit dan bumi bagi kita."

Genggaman itu terlepas, Putri Kahuripan terbang dengan kepakan selendang. Di bumi, Pangeran Wangsa Gangga tertunduk sendu, raungannya terdengar pilu, teriakannya lantang menyayat hati orang-orang.

Layar ditutup. Kami berdiri dari bangku, riuh rendah tepukan tangan mengiringi perubahan lampu dari keemasan menuju lebih terang. Layar dinaikkan, seluruh pemain memberi penghormatan. Aku dan Lily berpandangan sesaat sebelum menyusuri bangku penonton untuk meninggalkan ruang pementasan di Gedung Balairung Sari.

"Pementasan tadi kalau ada lanjutannya aku mau nonton lagi," celutukku sembari menyerahkan helm pada Lily.

"Lanjutannya cuma ada dibuku sejarah, kepanjangan kalau dipentaskan."

"Kok gitu? Penasaran sama cara Wangsa Gangga menghadapi sakit hatinya. LDR langit sama bumi."

Lily mengurungkan niatnya memasang helm. Matanya menatapku lurus. Hirupan napasnya mengudara.

"Karena perlu waktu lama bagi Pangeran Wangsa Gangga sampai bisa menikahi perempuan lain. Menikah lho ya, gak tau sih cinta apa gak?"

"Ada bedanya?"

"Ya ada. Orang bisa menikah tanpa cinta dengan berbagai alasan. Pangeran Wangsa Gangga contohnya. Dia menikahi Putri Kabuwaringin, anaknya Patih Lambung Mangkurat, kakek angkatnya dari pihak ibu setelah lebih dulu mempermalukan lelaki ambisius itu."

"Permalukan gimana?"

"Jadi, setelah perpisahan romantis sekaligus tragis antara Pangeran Wangsa Gangga dengan Putri Kahuripan, si Patih Lambung Mangkurat langsung nyariin perempuan dari pulau seberang. Niatnya nyembuhin luka sang pangeran. Ini patih emang mak comblang dari zaman ibunya Wangsa Gangga, Putri Junjung Buih. Eh, pas perempuan itu datang, Wangsa Gangga nolak mentah-mentah. Terpaksalah si Lambung Mangkurat yang akhirnya nikahin."

"Terus kamu bisa menyimpulkan cinta Wangsa Gangga bukan untuk istrinya dari mana?" tuntutku penasaran.

"Ingat tari yang aku pentaskan tiap ada perpisahan di sekolah kit dulu?"

"Ingat. Kaitannya?"

Lihat selengkapnya