Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #19

Rendang Pak Jenderal

Menggapai jodoh itu seperti memasak rendang, perlu kesabaran dan perjuangan. Setelah matang akan tahan lama.

---

Ali Nata Negara

Aroma lengkuas, daun salam, serta gula merah seketika melayapi indera penghidu begitu aku menapaki wilayah kekuasaan ibu. Dapur. Perempuan bersahaja itu nampak sibuk memindahkan satu demi satu potongan ayam, tempe, dan tahu dari panci ke wajan yang telah berisi minyak panas. Cipratan kecil akibat pertemuan dua zat berbeda unsur langsung menciptakan suara gemericik yang khas. Suara yang sangat jarang kudapati di dapur rumahku sendiri.

"Pagi, Bu," sapaku seraya merapati pipi ibu.

"Pagi, Nak," sahut beliau disertai seulas senyum hangat.

"Masak bacem ya?"

Ibu mengangguk. "Susul Bapak di halaman belakang sana, nanti kalau sudah siap Ibu panggil. Sekalian bawakan teh melati di meja."

"Berasa anak bebek kalau siap makan baru disuruh kumpul," celutukku dihadiahi tepukan kecil oleh Ibu.

"Sembarangan kalau bicara!" tegurnya.

Melewati sebuah pintu geser berbahan kaca, kulihat Bapak sibuk menjentik-jentikkan jari sambil sesekali bersiul dengan kepala terdongak ke sangkar burung yang tergantung di atap. Bahkan terkadang ia ajak berbincang. Di luar urusan kedinasan, kaos tipis berwarna putih dengan sarung terlilit di pinggang menjadi pakaian resmi lelaki penyandang bintang dua ini.

"Sampai Via Vallen nyanyi Alamat Palsu juga burung itu nggak akan nyahut omongan Bapak," ucapku usai meletakkan nampan teh di sebuah meja kecil yang menghadap kolam ikan dengan air mengalir dari dinding berhias batu kali.

"Ya mau bagaimana lagi, maunya ngemong cucu tapi anaknya punya bakal mantu aja nggak," balasnya sambil mendaratkan duduk di kursi.

Ia menyesap teh melati dengan mata terpejam. Seakan sajian ibu yang masih mengepulkan asap tipis itu adalah sajian sakral. Ah ... bapak Jenderal ini memang kadang bisa melankolis juga rupanya.

"Baru juga mau naik pangkat ke Iptu sudah bahas-bahas cucu," sanggahku. "Apa kabar kalau jadi kapolri baru punya istri?"

"Jangan pakai nama Bapak pas ijab qobul, bikin malu keluarga Astaka Negara saja!" sambar Bapak sengit.

"Sadis sekali Bapak Jenderal ini," kelakarku. "Padahal Bapak juga setelah AKP kok baru nikah sama Ibu."

"Tapi dari lepas status taruna Bapak sudah tahu siapa yang akan diajak berumah tangga. Sudah pasti ada bhayangkarinya. Nah kamu besok kenaikan pangkat ya tetap sendirian begitu kok bisa tenang?"

Aku baru berniat menyanggah saat ketipak langkah terdengar menyusuri lantai kayu yang menutupi teras belakang rumah kami. Rupanya ibu mendekat. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri menyaksikan perdebatan dua lelaki yang jarang bertemu namun tetap jarang akur ini. Dielus ibu pundakku. Senyumnya terasa menenangkan hati. Sementara bapak sudah lebih dulu melipat wajah. Aku yakin dia tidak terima jika ibu mulai membela anaknya.

"Le, dulu sekali Ibu pernah bertanya pada Bapak kenapa tetap bertahan memilih Ibu padahal dibuat lama menunggu, bahkan terkadang mendapat penolakan pedas dari mendiang Kakekmu. Bisa menerka kamu apa jawaban Bapakmu?"

Aku menggeleng. Di sampingku bapak sudah memasang raut datar. Tangan halus ibu kemudian mengusap punggung kekar yang mendampinginya hampir tiga dekade itu.

"Bapakmu bilang, menggapai jodoh itu seperti memasak rendang, perlu perjuangan dan kesabaran. Sebelum api tungku menyala, ada tangan-tangan yang lebih dulu menahan panasnya cabai saat menghaluskan dengan ulekan batu, mata yang memerah perih sebab merajang bawang merah. Namun, Bapakmu selalu percaya, kalau daging kerbau yang alot saja bisa lunak setelah ditanak dengan santan -meskipun memakan proses panjang- ia yakin hati manusia juga demikian adanya."

"Itu mengapa rendang disebut sajian tanda cinta. Ada doa yang terselip dalam setiap adukan agar bisa nikmati lama selepas perjuangan yang mempertaruhkan kesabaran," tambah Bapak seraya menegakkan duduk. "Makan yuk! Bahas hati dengan bujang lapuk ini sampai revolver lunak juga nggak akan selesai-selesai."

Ibu terkekeh kecil sambil mengacak rambutku. Bapak Jenderal ini kalau bicara memang bisa pedas juga. Ah ... Aku lupa, dia hanya akan bicara semanis teh talua jika kepada ibuku. Untung mereka berjodoh. Pabila tidak barangkali menjelma bujang tua pula ia.

***

Masakan ibu yang sebelumnya memenuhi meja kayu di dapur rumah kami kini telah tandas semua. Hanya jejak-jejak kecap manis yang masih terbaca, juga beberapa biji cabai yang menghiasi sudut-sudut cobek, selebihnya sisa minyak belaka. Beruntunglah tak ada kursi di sini. Bapak sengaja menata meja makan dengan bangku panjang berbahan kayu nangka. Nuansa desa memang sengaja ingin ia duplikasi pada rumah kami yang bergaya limasan. Arsitektur yang menjadi upaya terselubungnya untuk membuat ibu betah di rumah. Sebab sejak mendampingi Bapak dan melahirkanku, Ibu memilih sepenuhnya berhenti mengajar sebagai dosen sastra di sebuah perguruan tinggi swasta.

"Pak, lusa jangan lupa kosongkan waktu untuk menghadiri undangan menantunya Mas Waluyo," pesan Ibu seraya membersihkan meja dibantu asisten rumah tangga keluarga kami.

"Mantu yang mana ini, Bu? Istrinya Mas Damar atau Mas Djati?" Aku ikut menimpali dengan menyebut dua kakak Melati.

"Djati. Kemarin sebelum kamu datang dia mampir ke sini antar undangan pengajian empat bulanan istrinya," tanggap Bapak.

Ibu mengambil duduk di samping Bapak yang berseberangan denganku. Ia kemudian menambahkan keterangan sebelumnya. "Alhamdulillah akhirnya bisa hamil setelah tujuh tahun nikah."

"Mungkin itu cara Tuhan memberi kesempatan Mas Djati bisa pacaran dengan istri."

"Tapi kasihan, mereka sekarang pisah dulu. Istrinya Djati tinggal di rumah orangtuanya, sementara Djati tetap dinas di Surabaya."

Seingatku kakak pertama Melati yang bertugas sebagai dokter di Surabaya ini hanya sempat mengenal dua bulan putri Pati Mabes Polri sebelum kemudian melangsungkan pernikahan. Menurut cerita Bapak, Om Waluyo mengenal besannya saat mereka sama-sama bertugas pada operasi pembebasan sandra. Dari kejadian itu keduanya menjadi dekat dan berujung menjodohkan anak masing-masing. Hal serupa yang mulai kutakutkan terjadi pada Bapak mengingat keseganannya pada senior semasa pendidikan dulu ini.

"Kamu mau ikut atau bagaimana?" usut Bapak padaku.

"Bapak gimana, lusa kan Ali ada upacara kenaikan pangkat?" Aku membalikkan tanya. "Titip salam dan doa saja, semoga istri dan anaknya Mas Djati sehat sampai proses persalinan."

"Sama Melati nggak sekalian titip salam?" canda Bapak membuatku mendelikkan mata.

"Tiap hari juga ketemu di Polresta, ngapain titip salam segala."

"Kalau setiap hari bertemu lantas keberlanjutan hubungan kalian berdua bagaimana?" pancing Pak Jenderal dengan tatapan penuh selidik.

"Hubungan yang mana dulu nih?" konfirmasiku. Kedua telapak tangan Pak Jenderal terulur pertanda menyerahkan jawaban kepadaku. "Kalau hubungan pertemanan ya baik. Tapi kalau lebih daripada itu, Ali lebih baik bikin pengakuan dosa aja deh hari ini. Mudah-mudahan bisa menyiangi harapan Bapak dan Ibu -jika memang ada- sebelum berkembang jadi semak belukar yang liar."

"Maksud kamu apa, Le?"

"Ingat dulu saat Ali masih taruna angkatan kami paling sering ditiadakan jatah pesiarnya?"

Bapak mengangguk. "Ya itu karena angkatanmu sering bikin ulah sehingga yang tugas jaga kesal."

Aku menggeleng tak setuju. "Bukan salah angkatan sebenarnya. Itu Ali yang diam-diam bikin perkara, paling sering sengaja bikin barak nggak rapi. Karena lebih baik nggak ada pesiar atau bahkan disumpah serapahi angkatan sekalian, daripada ada malah Bapak desak mampir ke rumah dinas Om Waluyo untuk bertemu Melati," terangku jujur.

"Kamu ini kenapa? Sejak dinas di polresta Banjarmasin kok jadi aneh. Padahal dulu baik-baik saja dengan Melati dan kelurganya. Apa berubah setelah dekat dengan anak Sekda Kota itu?"

Dadaku mengempis sejenak, menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya kuat. Bapak Jenderal ini mulai punya gerakan mengusut sembunyi-sembunyi rupanya. Kadung basah, guyur sajalah sekalian.

"Seperti Ali bilang tadi, kalau hubungan pertemanan ya tetap baik. Tapi urusan hubungan personal, Ali rasa Ali cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Kalau memang mencari tahu, tolong susur sampai ke akar rumput. Jangan sampai hanya karena tudingan malpraktik yang diblow up media stigma Bapak ke keluarga Lily menjadi buruk. Padahal tuduhan kemarin juga tidak terbukti."

"Ayah dokter yang merupakan teman dekatmu itu mungkin akan menjadi sorotan setelah ini. Apa pun yang terjadi pada mereka, jangan pernah menceburkan diri lagi dalam urusan yang semestinya bisa tidak kamu campuri!" peringat Bapak, ia terlihat akan beranjak meninggalkanku dan Ibu lebih dulu dari meja makan. "Sudah cukup kamu membahayakan kariermu sendiri kemarin."

"Apa ini karena Om Waluyo lagi?" tudingku tak bersahut. "Pak ... Bapak!"

***

Aku baru beranjak beberapa langkah dari pintu kedatangan bandara Syamsudin Noor saat derit notifikasi dari aplikasi perpesanan instan masuk. Tanpa sengaja sudut bibirku naik ke pipi, menepikan sejenak kisruh dengan Pak Jenderal yang kalau mengeluarkan titah sudah semacam saudara King Mufassa dalam film The Lion King. Galak. Sekehendak dan semaunya.

Galuh Intanku

Selamat buat kenaikan pangkatnya, Li!

Kurang-kurangin doyan nilangnya 😅

Sambil berjalan menuju taksi yang tadi ditawarkan oleh sopir, aku segera mengetikkan pesan balasan untuk Lily. Si Galuh Intanku: batu mulia yang memiliki kemilau seribu cahaya dengan kekuatan luar biasa. Hanya bisa dihancurkan oleh dirinya sendiri.

Ucapinnya agak siangan dikit deh.

Galuh Intanku is typing ...

Menunggu balasan Lily, aku memilih menyandarkan punggung ke jok taksi yang mulai meninggalkan kawasan bandara.

Lihat selengkapnya