Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #20

Sudut Hati

Karena yang terlihat kadang tidak selalu sesuai dengan apa yang dirasakan. Seperti rasa nyeri yang tidak selalu menunjukkan lokasi penyakit sebenarnya.

---

Lily Diandra

Aku pernah membayangkan menantinya pulang ke rumah sambil berpura-pura memasak makanan kesukaannya yang serba manis. Aku pernah membayangkan bahkan benar-benar melakukan menyambutnya di depan pintu lalu mencium tangannya. Sungguh. Aku pernah membayangkan semuanya: menjadi istri, menjadi ibu bagi anak-anaknya yang lucu dan menggemaskan. Namun semuanya sekadar drama masa kanak-kanak yang kami rancang tanpa skenario. Drama yang kami mainkan hari ini dan berakhir sebelum hari berganti. Cerita yang hanya berlangsung di bawah pohon karsen pada sebuah tanah lapang, bukan kenyataan untuk hidup bersama, berbagi kehidupan dan hati dalam sebiduk mahligai perkawinan.

Untuk satu ini aku tidak pernah membayangkan akan menjalin kehidupan perkawinan nyata di masa dewasa dengannya. Selain karena ia pernah pergi begitu lama, aku juga terlanjur mencintai dan dimiliki lelaki lain. Maka semoga kalian mau mengerti mengapa yang kubayangkan adalah hidup dengan seorang lelaki bernama Erlan Kesuma Wijaya, menantinya pulang dinas pagi, sore, atau malam. Kemudian diisi oleh anak-anak dengan wajah oriental yang apabila terkena sorot cahaya matahari atau tertawa matanya akan menyipit hingga segaris saja. Lalu sesekali aku dan dia akan kerepotan berbagi menghadiri rapat di sekolah karena jadwal dinas kami yang bertabrakan. Di lain waktu kami mungkin akan menghadapi protesan dari mulut-mulut mungil yang tidak rela liburannya berakhir mengitari Rumah Sakit karena Papa dan Mamanya dinas. Itu bayanganku, tapi bukan kenyataan yang kudapatkan.

"Ly, tatap wajah Ali," teriak fotografer yang bertugas mengabadikan momen pra-nikah kami. "Bagus, tahan begitu!"

Ali memeluk pinggangku. Kedua bola mata kami saling bersipandang. Ia mengenakan pakaian dinas upcara berwarna putih sementara aku memakai snelli dengan warna sama.

Menara Pandang yang berada tepat di tepi sungai Martapura menjadi lokasi pertama pemotretan yang kami pilih. Tempat selanjutnya adalah parkiran kapal tongkang di Desa Berangas dekat puskemas tempat Erlan pernah bertugas. Tapi itu sore nanti menjelang matahari terbenam. Aku tidak tahu jika kalian berada di sini akan menilai kami mesra atau bagaimana? Karena yang terlihat kadang tidak selalu sesuai dengan apa yang dirasakan. Seperti rasa nyeri yang tidak selalu menunjukkan lokasi penyakit sebenarnya.

"Cukup dulu ya? Lily sudah keringetan banget tuh," ujar fotografer itu.

"Minum dulu," tawar Ali seraya menyerahkan sebotol air mineral tak lama setelah aku menyapukan tissu ke wajah.

"Makasih," jawabku singkat.

Angin berembus kuat di puncak menara tiga lantai ini, namun suhu kota Banjarmasin yang memang cenderung panas sepertinya sulit ditaklukkan. Sudah panas di luar, panas pula di dalam. Maksudku dalam hatiku. Dua bulan terakhir aku memang belajar berdamai dengan hatiku, kemauan papaku, dan takdir hidupku. Ya. Dua bulan lalu, selepas shalat Subuh berjamaah di rumah, Papa memelukku agak lama. Ia membahas kenangan masa kecil dari mengantarku ke TK pada hari pertama sampai membahas tugas Sekda yang akan segera purna. Tapi katanya, ia ingin sebelum tugas Sekda purna bisa mengantarku menapaki kehidupan baru yang pertama, menjadi istri lelaki pilihannya.

Jangan tanya reaksiku Subuh itu seperti apa? Karena seperti hukum saraf kalau luka terlalu dalam bahkan sampai putus itu tidak akan terasa apa-apa lagi, hanya darahnya yang mengalir tanpa henti. Aku terkejut setengah mati sampai sulit menjelaskan kepadamu tentang perasaanku sendiri dua bulan lalu. Satu yang pasti aku syok karena lelaki pilihan Papa adalah Ali, sahabat masa kecil yang pernah kutangisi satu semester saat SD, tapi tidak ada hubungan apa pun denganku selain sebagai teman baik.

Aku menegosiasi. Tentu saja. Tidak semudah itu Papa bisa membuat sia-sia perjuanganku dan Erlan lima tahun ini. Kalau politikus tidak pernah jera berlaga lima tahun sekali, kami juga, sekalipun hubunganku dan Erlan belakangan lebih perih nasibnya dari janur pengantin yang cuma digantung seharian.

"Papa akan nikahkan kamu dengan Erlan kalau dia bisa datang hari ini untuk meminang kamu. Kamu tahu syarat apa yang harus dia penuhi," tandas Papa yang membuatku seketika terseguk di pelukan Mama.

"Kalau memang syaratnya itu, kenapa bukan Uno atau Saka yang Papa pilih?" gertakku.

"Karena kalau memang mereka menginginkan kamu lebih dari sahabat sudah pasti Uno atau Saka datang meminang kamu dari lama. Kenyataannya kan tidak begitu?"

Aku diam. Menangis sendirian. Datang ke puskesmas dengan mata sembap dan bengkak. Seandainya hari itu bukan perpisahan internship, aku mungkin memilih izin saja. Maka untuk kamuflase aku datang dalam balutan maskes dan kacamata minus. Naas mengelabui Uno, Uti, dan Saka adalah kesia-siaan belaka. Dalam gudang obat yang ruangnya berada paling belakang aku diintrogasi oleh mereka dan berujung menangis lagi untuk kesekian kalinya. Semoga kalian tidak lekas menghakimi sikapku. Aku tidak menuntut untuk disetujui, tapi coba bayangkan perasaan diminta menikah dengan orang yang bukan kamu cintai? Berat, teman-teman. Itu perjalanan sakral. Sekarang aku mulai berpikir, mungkin begitu juga yang dirasakan Pengeran Wangsa Gangga saat dipaksa berpisah dengan Putri Kahuripan lalu diminta menikah dengan wanita yang baru dikenalnya dari Patih Lambung Mangkurat.

"Untuk badudus nanti gimana?" tanya Ali usai meneguk air mineralnya sendiri.

Oh ya, sebelum kalian bingung badudus itu apa, ada baiknya kujelaskan saja. Badudus itu adalah prosesi mandi kembang sebelum pernikahan. Dalam adat Banjar ada dua istilah untuk prosesi ini yakni bamandi-mandi dan badudus. Jika bamandi-mandi lebih untuk kaum jaba atau masyarakat secara umum, maka badudus diperuntukkan bagi keturunan langsung kesultanan Banjar. Aku dan Ali harus melakukan prosesi badudus karena ibuku merupakan keturunan kesultanan Banjar, namun tidak boleh menurunkan gelar Gusti di depan namaku karena menikah dengan lelaki kaum jaba.

"Mama yang urus sama tukang riasnya, Li. Mustahil juga kita yang urus, aku tahunya cuma harus ada mayang kelapa sama bunga mawar, melati, kenanga, cempaka. Sisanya kayak air dari pusara sungai itu mana tahu ngambil di mana?"

Ali mengangguk, kembali meneguk air mineral. Cuaca di Banjarmasin memang rawan membuat haus.

"Berarti tinggal meeting desain undangan ya? Cinderamata kan sudah pesan kemarin."

"Iya. Jadi warna cokelat muda dipadu tosca itu?"

"Aku ikut kamu aja baiknya biar nggak terlalu kaku. Jangan lupa cantumin jam pedang pora."

"Ingetin aja nanti lagi, kan sama kamu juga meetingnya."

"Kita ambil foto sekali lagi di atas kelotok abis ini ya, baru jalan ke Desa Berangas," beritahu fotografer yang mendekati kami. "Tapi yang ini snelli Lily dilepas aja, biar lebih formal sedikit. Oh ya, pet yang cokelat bawa kan, Li?"

Seketika Ali melirikku. "Pet aku tadi kamu bawain nggak? Soalnya nggak ngecek lagi pas kita keluar dari rumah."

"Bawa kok, ada di paper bag jok belakang. Nanti brevet sama tanda kepangkatan kamu abis dilepas kasih ke aku aja dulu, takutnya kelupaan pas ganti PDU malah ketinggalan."

Lihat selengkapnya