Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #21

Panggilan Tak Terjawab

Menurut masyarakat Banjar, bunga teratai melambangkan kehidupan perkawinan yang tak mudah karam meski dihantam air pasang. Sebuah doa yang amat mulia dalam memulai kehidupan rumah tangga, lebih-lebih yang terjalin dengan hati belum sepenuh rela sepertiku ini.

---

Lily Diandra


Terasing di keramaian. Barangkali kalimat itulah yang cukup tepat menggambarkan perasaanku sekarang. Di tengah hiruk-pikuk keluarga besar Papa dan Mama yang berkumpul dengan riang, berbincang sambil sesekali diselingi tawa, berbagi kisah setelah sekian lama berpisah, aku justru merasa sendirian. Benar. Mari beri garis bawah pada kata MERASA, sebab ini urusan hati.

"Minyak anginnya mana?" interupsi salah satu sepupu Mama saat mereka tengah sibuk mengulek daun pacar.

Kulihat Mama bergegas berdiri lalu melimbai menuju kotak P3K yang tergantung di dinding dekat dapur. Diserahkan beliau botol kecil dengan isi berwarna hijau dan bau mint yang menyengat itu pada sepupunya. Ah ya, maaf jika aku lupa menceritakan pada kalian. Malam ini kami sedang menyelenggarakan tradisi bapacar. Sebuah tradisi bagi perempuan Banjar sebelum hari pernikahan. Di malam ini pula kuku-kuku jemariku akan berubah warna menjadi merah usai dibubuhi tumbukan daun pacar.

"Minyak angin buat apaan sih?" bisik Uti tapi dengan suara persis tukang beri pengumuman di mushola komplek.

Aku menggedikkan bahu. Tapi tanya itu segera berjawab ketika tanteku dari pihak Mama meraih tanganku ke pangkuannya. Ia tampak lincah melepaskan helai demi helai daun pacar dari ranting. Lalu satu per satu daun itu ia olesi dengan minyak angin dan disusun membentuk serupa bunga di punggung tanganku.

"Ini sengaja dikasih minyak angin biar tetap merah walaupun tidak ditumbuk," terang tanteku.

"Ebuset mau dibikin cantik apa saingan sama nenek-nenek, Ly? Gile minyak anginnya nyaris setengah botol itu," celutuk Uti seketika kuplototi.

Dasar toak FK! Susah payah kusikut lengannya agar bisa memelankan suara. Nasib, Uti baru peka setelah keluargaku memusatkan perhatian padanya. Sambil menunduk-nunduk ia memberi isyarat meminta maaf karena telah mengganggu ketertiban. Sepertinya memang harus ada Saka di dekat Uti agar anak ini bisa mengontrol diri. Sayang Saka baru bisa datang besok pagi karena rumah sakit tempatnya bekerja sekarang sedang mempersiapkan kedatangan pejabat daerah.

Ah ya, aku belum bercerita ya kalau selepas kami internship Saka memilih mengabdikan diri sebagai dokter di Nagara, tepatnya di rumah sakit yang baru saja dibangunkan pemerintah setelah lebih dari 50 tahun kota mereka berdiri. Setidaknya keberadaan rumah sakit itu akan menolong sekali para warga yang bermukim di tengah rawa dan memerlukan pertolongan segera. Karena yang sudah-sudah jarak tempuh menuju rumah sakit di kota kabupaten sering kali memakan korban nyawa.

"Sia-sia deh dikukus pakai rempah kalau akhirnya malam pertama bau minyak angin, Ly."

"Enak aja dikukus, batimung itu!" sangkalku. "Mandi uap tradisional Banjar. Nah itu lebih tepatnya."

"Tetap aja dikukus, sama-sama pakai panci sama kompor ini. Bedanya kalau pepes dibungkus daun pisang, kamu dibungkus tikar purun!"

"Ini daritadi godain Lily terus, kamu nikah juga gitu nanti," canda Mamaku sambil mengusap pundak Uti.

"Mudah-mudahan suaminya Lily nggak nyaru ya, Tan, mana istri mana pepes patin? Sama-sama dikasih serai gitu."

Mamaku tertekeh sementara aku justru menghela napas panjang. Nikah. Suami. Esok hari aku bukan lagi Lily Diandra Soebely melaikan milik seorang Ali Nata Negara. Kepadanya surga dan nerakaku akan dipikul. Tuhan ... Engkau saja yang tahu condong ke mana hatiku.

"Ly, are you okay?" panggil Uti setelah melepas mamaku menuju keluarga yang lain.

Aku mengangguk. Direngkuh Uti bahuku hingga kepala kami saling bersandar.

"Ti, kamu kalau satu kelompok koas sama orang yang nggak sehati gimana rasanya?" tanyaku lirih.

"Nggak enaklah, Ly. Pasti pengen buru-buru lulus atau paling nggak tukar shift sering-sering deh, biarin deh tiap hari dinas malam atau jaga pas libur sekalian. Penting nggak bareng dia aja."

Bibirku mendadak melengkungkan sebuah senyum kecut.

"Seandainya pilihan kayak gitu ada buat aku ya, Ti?"

Lihat selengkapnya