Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #22

Penolakan

Tuhan itu Maha Baik, mengumpulkan yang terserak, mempertemukan yang terpisah, memulihkan yang patah.

---

Ali Nata Negara

"Kau sudah gila?"

Air muka ayahku seketika merah padam. Ia cengkram ujung meja dengan kuat sampai buku-buku tangannya bertonjolan. Tatapannya nyalang bagai hendak melucuti tulang.

"Bapaknya itu terlibat kasus hukum, pikirkan masak-masak sebelum kau kena imbasnya!"

"Bapaknya kan? Bukan dia. Apalagi kasusnya masih abu-abu, asas praduga tak bersalah harus tetap berlaku. Bahkan andai Lily sekalipun, Ali akan tetap menikahinya," sanggahku membuat ayah kian meradang.

Ayah seperti enggan mendengarkan segala penjelasan yang aku utarakan. Saking geramnya ia bahkan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diuntung.

"Sudah kusediakan jalan lapang malah semak belukar yang kau tempuh. Maumu apa hah?"

"Mau Ali hanya satu, Pak, menikahi wanita yang Ali cintai. Bukan wanita yang Bapak pilih sebagai bentuk balas budi ke Brigjen Waluyo Dirgantoro!"

"Kurang ajar!" sebuah tamparan keras melayang ke pipiku. "Kalau bukan karena jasa Mas Waluyo bisa-bisa sudah jadi yatim kamu!" hardiknya padaku.

Aku diam. Aku ingat delapan belas tahun yang lalu ketika politik di tanah Papua sedang memanas, Bapak ikut dikirim bertugas di sana. Pergerakan Papua Merdeka sedang memasuki puncak pasca rubuhnya Orde Baru. Seluruh siaran televisi memberitakan pergolakan di Timur Indonesia itu, tak terkecuali aparat negara yang kemudian turut menjadi korban. Bapak salah satunya. Ia sempat diculik dan tidak diketahui rimbanya. Beberapa minggu kemudian ia pulang dengan luka tembak setelah berhasil diselamatkan oleh tim yang dipimpin oleh Om Waluyo. Sejak itu keluarga kami menjadi karib.

"Tamparan Bapak tidak akan mengubah keputusan Ali. Dengan ataupun tanpa restu Bapak, Ali akan tetap menikahi Lily," ujarku. "Ingat, Pak, ini keluarga bukan mapolda yang segala keputusannya kehendak komandan tanpa bisa dianulir!"

"Ali!" Ibuku bereaksi. Bapakku juga. Ia tampak hendak melayangkan pukulan lagi namun kadung ditahan oleh tubuh ibu. Airmata menderai di pipinya.

"Anakku sudah mati sejak hari ini!" Telunjuk Bapak menuding ke wajahku.

"Ya Allah, Gusti," ucap Ibu dengan suara terisak. Diusapnya wajah menggunakan sebelah tangan sementara sebelah lagi berpengan pada pundak Bapak. "Ibu lebih baik mati daripada melihat kalian bertengkar seperti ini."

Hatiku bagai diiris sembilu mendengar ibu berujar begitu. Demi Tuhan, tak terbersit sedikitpun niat untuk melukai perasan perempuan yang telah bertaruh nyawa menghadirkanku ke dunia ini. Bapak pun mungkin merasakan hal serupa. Dipapahnya ibu menduduki kursi makan, sementara ia sendiri mengambil tempat di sisi kiri.

"Pak," panggil Ibu lirih. Mereka saling bertatapan dengan tangan Bapak di pundak Ibu. "Anak kita cuma satu, Ibu tidak mau hidup dalam penyesalan karena membiarkannya berumah tangga dengan orang yang tidak dia cintai. Kalau Bapak tidak mau menyakiti Ibu, batalkan niat menjodohkan Ali dengan Melati. Bukan balas budi kalau ada yang tersakiti."

Bapak tidak menyahut. Ia membuang tatapan ke langit-langit ruang makan. Namun sempat kutangkap bola matanya yang memerah basah. Aku kenal bapakku. Dia tidak akan sanggup menyakiti hati ibu. Bahkan pasti rela membiarkan dirinya terluka asalkan ibu bahagia.

Bapak memejamkan mata sebelum memberikan sebuah anggukan samar sebagai jawaban. Aku tahu ini akan berat. Bapak akan menghadapi Om Waluyo sebagai senior yang ia segani sekaligus orang yang terlibat dalam upaya penyalamatan nyawanya.

"Urus segala keperluan pernikahanmu, Mas Waluyo biar menjadi urusan Bapak," tegasnya seraya berlalu meninggalkanku dan Ibu di meja makan.

***

"Lapor, upacara tradisi pedang pora siap!" suara bariton itu menyudahi anganku saat memperjuangkan Lily di hadapan Bapak.

"Lanjutkan!" sahutku.

"Siap lanjutkan!"

Lihat selengkapnya