Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #23

Seteru

Seandainya kita bisa seperti anak TK yang berpisah dengan riang dan tawa bukan sepasang insan dewasa yang berpisah dengan derai airmata.

---

Lily Diandra

Alunan gitar segera menyambut setibanya aku di kampus FK yang berdekatan dengan kawasan pecinan. Seorang pemuda -sepertinya mahasiswa tingkat pertama- bersenandung dengan merdunya sebuah lagu dari Glen Fredly berjudul Januari. Lagu yang berkisah tentang perpisahan sepasang insan. Entah apa maksudnya menyanyikan lagu itu di hari ulang tahun fakultas kami? Mungkin sekadar lagu. Namun bagiku ada kenangan yang menyeruak dalam relung kalbu.

Lagu itu membuatku mengenang kejadian beberapa tahun lalu. Akhir tahun yang kelabu. Aku dan Erlan berdiri di selasar tepat di belakang panggung utama. Saat itu benar-benar Glen Fredly yang menjadi guest star diesnatalis FK. Erlan terlambat datang. Itu perkara pertama. Kedua dia lupa tanggal ulang tahunku yang jatuh tepat bersamaan diesnatalis FK.

"Ly, jangan kekanakan gini dong? Kita bisa makan malam berdua atau semacamnya di hari berbeda kan?"

"Bukan perkara makan malamnya, tapi perhatian kamu!" sambarku tajam.

"Okay, okay, aku salah. Udah ya? Kita turun ke bawah sekarang, nanti jadi perhatian orang," bujuknya seraya merangkul bahuku namun segera kutepis.

"Kamu nyeselnya nggak tulus!"

Erlan mengembuskan napas.

"Aku selesai dinas di RSJ langsung ke sini loh buat nemenin kamu nonton Glen. So, please, Sayang, kita bikin malam ini senyaman semestinya ya?"

Seingatku, kami akhirnya meninggalkan belakang panggung dengan aku yang berjalan cepat mendahului Erlan. Kami kemudian duduk di salah satu meja bersama pasukan rusuh beranggotakan Uti, Uno, dan Saka. Mereka juga yang akhirnya berhasil memecah aksi mogok bicaraku.

Aku hampir mengingat semua tentang Erlan, namun lupa kapan terakhir kali menyusuri tempat ini dengannya? Lupa kapan kali terakhir kami berbincang dalam balutan jas lab yang menjadi impian banyak siswa lulusan SMA. Tapi aku masih ingat dengan ulah Erlan yang menyebalkan karena senang sekali membahas tentang ujian yang demi Tuhan sering ingin kulupakan. Dia yang terkadang berlaku mengejutkan hanya demi membuatku senang. Seperti mencetak spanduk besar yang menjadi latar panggung diesnatalis kampus. Spanduk yang berisi tulisan selamat ulang tahun sayang, semoga bersama hingga maut memisah kita. Kalimat yang kuyakin sepenuhnya dikarang oleh tukang percetakan atau paling tidak kakak perempuannya. Tapi upayanya menebus kejadian tempo hari memang perlu dihargai. Ya. Katanya dia menyesal karena membuat hubungan kami sempat karam di malam ulang tahunku. Padahal kalau dipikir lagi, akulah yang bersalah malam itu. Aku yang masih terlihat kekanak-kanakan, menuntut Erlan mementingkan hari lahirku dibandingkan koasnya. Mungkin jika bukan karena Erlan yang mau mengalah malam itu, kami sudah kandas sejak bertahun lalu.

Erlan memang menjadi banyak alasan terjadi dalam hidupku, tak terkecuali sekarang. Dia yang membuatku melangkah lagi ke sini, menyusur kembali jejak kami kemudian mengenangnya dengan sepenuh hati.

Kuembuskan napas sekadar menyudahi memori waktu. Sambil melangkah menuju ruang teater FK, ponselku berderit. Notifikasi dari Uti, dia tidak bisa menemani katanya. Berniat menjawab tak apa tanpa sengaja jariku justru menyentuh percakapan terakhir dengan Erlan.

Apa kabar, Sayang?

Dinginkah di sana?

Masihkah kamu insomnia karena merindukanku?

Kalau iya, kita sama.

Rasanya mirip emboli yang menyusup dalam nadi.

Diam-diam namun mematikan jika tidak segera ditangani.

Aku memandangi barisan pesan itu dengan gamang, membiarkan ibu jari menggantung dalam kebimbangan apakah mengirimkannya atau tetap tersimpan sebagai konsep seperti yang sudah-sudah. Tanpa membacanya lagi pun sebenarnya aku telah hafal sekali kata demi kata itu. Tentu saja. Sebab telah lebih dari seratus kali aku mengetik ulang kata yang sama namun tidak pernah berani mengirimkan kepadanya: ia yang kupencundangi dengan pengkhianatan demikian keji, pengkhianatan bernama janji suci perkawinan dengan lelaki lain.

Sebuah desahan meluncur dari mulutku bersamaan dengan jemari yang menutup pesan itu lalu beralih menjawab pesan Uti. Sebelum melangkah, kubuka pemberitahuan Aksan dalam grup Thalamus, memastikan bahwa perjuanganku bertukar dinas dengan Uno sampai harus merapel dinas malam dan pagi tidak berakhir sia-sia hari ini. Setelah yakin, kuatur ponsel dalam mode non-aktif, kemudian meninggalkan gerbang tempat taksi tadi berhenti. Aku sedang ingin menepi dari takdir yang tidak berpihak pada hati. Menyusun kembali puing-puing kenangan yang masih tersisa di sini, di tempat pertama aku bertemu dengan Erlan Kesuma Wijaya.

Dalam rangka memperingati Diesnatalis Fakultas Kedokteran, Medical Volunteer mengundang seluruh rekan sejawat untuk bersama-sama menyaksikan penayangan film dokumenter yang menceritakan perjuangan Dokter Erlan Kesuma Wijaya merintis hutan demi kesehatan masyarakat Juhu. Film ini meraih juara pertama pada kompetisi Eagle Awards Documentary 2017.

Waktu : 16.30 WITA

Tempat : Gedung teater FK

***

"Secara pribadi saya menaruh bangga atas kreativitas mahasiswa kita sehingga berhasil menoreh prestasi gemilang pada kompetisi Eagle Awards Documentary yang sekaligus menjadi kado terbaik bagi Diesnatalis FK tahun ini. Lebih daripada itu, saya berharap anak-anakku sekalian bisa meneladani dedikasi luar biasa dari rekan kita Dokter Erlan Kesuma Wijaya. Sumbangsihnya dalam memberikan pelayan kesehatan ke pelosok patut kita apresiasi dengan rasa terima kasih tak terhingga. Akhir kata, selamat menyaksikan," tutup Profesor Zairin sebelum meninggalkan panggung.

Begitu lelaki berkacamata itu turun, lampu di ruang teater seketika dimatikan. Derik hewan-hewan hutan dan kicau burung membuka tayangan, disusul kemudian pemandangan dedaunan rimbun yang diselimuti kabut pagi. Masih terasa sejuk dan asri sekali. Gambar terus bergulir. Kali ini rumah-rumah panggung dengan tangga sebatang kayu tanpa gagang yang diperlihatkan. Di halaman rumah itu, beberapa perempuan tampak sedang mengupas kemiri. Sekilas pemandangan di Juhu akan mengingatkan kalian dengan Wae Rebo, sebuah desa cagar budaya di Nusa Tenggara.

Kamera akhirnya bergerak ke sebuah bangunan dengan cat putih yang telah mengelupas di berbagai sisi. Seorang lelaki dengan kepala terbelit ikat kain hitam duduk di terasnya.

"Puskesmas ninih hanyaran ada matan tahun dua ribu lima walas. Rahatan hanyar tuntung ada ai mantri bulang-bulik tangah dua bulan sakali. Tagal inya suah dua kali wara ai ka sini, imbah nituh kada suwah babulik lagi," ujarnya dengan bahasa Banjar beraksen Dayak Bukit yang masih sangat kental.

"Tuhuk hudah bapadah kanu pambakal, kanu bupati, anatapi kada dihirani. Satumbangan nituh banyak banar hudah nang mati marga mariap dingin kada sing ampihan, kanakan muak wan bahiraan, nang baranak pandarahan. Hampai anakku nang pangganalnya ladar awak maniga malam, tuhuk dipidara wan janar kada ampih jua, rahatan handak kubawa turun sakalinya hudah kadada. Mun garing di sia nang kaya mahitung kasau di bubungan haja lagi, awam wigas."

Seluruh penonton yang memenuhi ruang teater mendadak hening. Tidak banyak yang bisa kutangkap dari pengakuan lelaki itu. Namun intinya ia menceritakan puskesmas di Juhu baru ada tiga tahun yang lalu, itu juga hanya dua kali didatangi oleh perawat laki-laki yang biasa mereka sebut mantri. Selama ini mereka sudah mencoba mengadukan kepada kepala desa bahkan bupati namun belum ada tanggapan berarti. Bahkan anak dari lelaki itu juga meninggal karena panas tinggi tanpa sempat ditangani. Sehingga bagi mereka, orang yang sakit di Juhu tak ubahnya menunggu mati saja.

"Ninih tanyaman hudah, imbah Duktur Irlan ada, kada jauh lagi handak batatamba. Maruaiku nang tatabas parang gin wigas wan inya," aku lelaki itu dengan mata berbinar.

Lihat selengkapnya