Bunga yang telah koyak takkan bisa lagi kuncup sebagaimana semula. Indahnya hanya tinggal nama. Pun sama perempuan yang telah merasakan pedihnya luka.
---
Lily Diandra
Tanganku ditarik paksa hingga tubuh kami saling berhimpit. Dipagutnya bibirku dengan kasar. Ia baru melepaskan ketika aku meronta karena napas yang terasa menggapai-gapai.
Belum sempat aku menghirup udara dengan normal, tubuhku lebih dulu berdebam ke ranjang. Tubuh Ali mengunci diriku dari atas. Matanya berkilat tajam. Nyalang seperti elang yang hendak memangsa buruan. Tangannya yang kukuh menarik paksa bajuku hingga memunculkan derit benang robek.
"Ali, jangan ...." mohonku dengan terisak.
Ia menyeringai tak peduli. Begitu garang melolosi kain yang menutup tubuhku. Lagi dipagutnya kasar bibirku. Aku berusaha mendorong tubuh atletisnya namun gagal.
"Aku mau lebih dari kekasihmu peroleh!" ucapnya sebelum menyatukan diri secara paksa.
"Ali, jangaaan!"
Aku bangun dengan tenggorokan kering dan napas tersengal. Bahuku naik turun disertai keringat dingin membasahi tubuh. Kuusapkan tangan ke seluruh wajah. Mimpi buruk itu lagi. Mimpi yang selalu datang dua minggu belakangan meskipun kejadian itu sudah berlalu sebulan yang lalu.
"Dok," panggil seseorang di ambang pintu. Ia tampak berdiri ragu. Semoga perawat muda ini tidak mendengar teriakanku tadi.
"Iya, Lin, ada pasien?" tanyaku usai menormalkan detak jantung sendiri.
Linda mengangguk.
"Berapa orang?"
"Satu, Dok. Perempuan. Mengeluh sakit perut katanya," beritahu Linda.
"Ya sudah saya ke sana sebentar lagi."
Selepas kepergian Linda, aku mendekati dispenser di ruangan yang tak seberapa luas ini. Menenggak segelas air putih setidaknya bisa membuatku lebih tenang sejenak sebelum berhadapan dengan pasien. Merasa sedikit lebih baik, kuseret sandal jepit yang menggeletak dekat pintu. Bersiap menghampiri pasien.
***
Aku melepaskan stetoskop dari telinga, menyampirkannya di leher. Kuraba bagian kanan perut perempuan yang sepertinya masih berusia dua puluh tahunan itu. Di sapingnya berdiri wanita berdaster. Mungkin ibunya.
"Sakit kalau saya tekan di sini?"
Dia mengangguk disertai ringisan.
"Dari 1 sampai 10 kira-kira sakit kamu segimana? Kalau satu nggak terlalu sakit, makin dekat sepuluh makin sakit."
"Delapan mungkin, Dok," lirihnya. Sesekali masih meringis.
"Sakit dari kapan?"
"Sekitar selepas Isya tadi, Dok. Saya pikir sakit perut biasa. Tapi lama-lama mulesnya kayak handuk diperas gitu, melilit."
"Kamu ada riwayat maag sebelumnya?"
"Ada, Dok."
"Ada makan sesuatu yang asam atau terlalu pedas?"
"Nggak ada, Dok. Saya kemarin makan seperti biasa."
"Ususnya agak bising sih ini. Tapi kita cek laboratorium dulu ya untuk memastikan, sambil observasi di IGD."
Selepas memberi penjelasan, aku menghampiri Linda yang baru selesai memasang infus pasien. Aku berniat mencari teh hangat ke kantin sebentar sambil menunggu hasil laboratorium pasien tadi keluar. Sejak penilaian akreditasi kemarin RS memang tidak diizinkan memiliki pantry sendiri di ruangan. Kalau siang masih aman karena beberapa penjual makanan dan minuman ada yang berkeliling. Kalau dini hari seperti sekarang tentu lain ceritanya.
Menyusur selasar IGD udara serasa menyengat sekali. Di lobby dekat tangga menuju ruang manajemen, kantin kecil berdiri. Beberapa perawat dan satpam tampak mengantre. Udara menjelang subuh begini memang rawan membuat menggigil. Masing-masing sepertinya sedang menunggu minuman hangat pesanan mereka.
"Bu, teh hangatnya masih ada?" tanyaku sambil bertopang tangan di etalase kaca.
"Eh Dokter Diandra. Ada, Dok. Mau berapa gelas?"
"Dua gelas ya, Bu. Gulanya pakai yang sachet aja, biar saya yang masukin sendiri nanti."
"Iya, Dok. Ada lagi?"
Aku menggeleng. "Saya tinggal dulu ya, Bu, nanti saya ambil sehabis dari toilet."
Ibu kantin mengangguk lalu kembali sibuk melayani pembeli lain. Dua orang koas nampak mendekat ke arah kantin. Sepertinya mereka juga sedang perlu sesuatu yang hangat atau justru sedang perlu asupan kafein untuk mempertahankan kesadaran yang hampir kalah telak dengan rasa kantuk. Masa-masa yang cukup dikenang tanpa perlu diulang bagiku.
Kali ini aku bersyukur satu-satunya toilet dekat tangga sedang kosong. Seandainya ramai seperti pagi hari mungkin setelah ini aku tidak akan bisa beraktivitas dengan tenang akibat rasa ingin buang air kecil terus-terusan. Aku memang punya riwayat infeksi saluran kencing. Entah karena sering menahan buang air kecil, kualitas air yang kurang baik, atau akumulasi keduanya. Kalau sudah kambuh alamat aku bisa beberapa kali bolak-balik ke toilet.
Tapi beberapa waktu belakangan durasi buang air kecilku memang terasa lebih intens dari biasa. Apalagi kalau malam hari. Padahal aku merasa tidak pernah menahan buang air kecil lagi. Mungkin aku harus menyempatkan mampir ke laboratorium untuk memastikan, takut-takut aku mengidap diabetes tanpa terdeteksi sebelumnya.
Sekeluarnya dari toilet, kulihat tersisa dua perawat yang sedang asyik berbincang. Sesekali mereka menutup mulut menahan tawa. Lamat-lamat akhirnya aku bisa menangkap topik apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Kubatalkan niat untuk bersuara.
"Kok aku aneh ya sama Dokter Lily, pengantin baru malah sering banget dinas malam."
"Denger-denger dia kerja di puskesmas juga. Buat apa sih banting tulang gitu? Padahal kan Bapaknya kaya, secara sekda kota."
"Suaminya juga perwira polisi, ditinggal nyeweleng baru tahu rasa itu," tutup perawat berjilbab biru lalu disusul tawa temannya.
Aku menarik napas sebelum mendekati keduanya. Kuberi isyarat mata pada ibu kantin agar menahan pesananku sementara. Dari belakang aku berdeham, membuat kedua perawat itu membalikkan badan dengan tatapan kikuk.
"Saya pikir setiap tenaga kesehatan sudah tahu kalau rekam medik saja tidak boleh sembarangan diperbincangkan kepada yang tidak berkepentingan. Karena sifatnya rahasia dan dilindungi kode etik. Mungkin begitu juga semestinya sikap kita pada privasi orang lain. Tapi bisa saja saya keliru, buktinya Anda bisa berbincang tentang rumah tangga orang dengan sangat seru," tutupku membuat kedua perawat itu salah tingkah.
Kuraih gelas kertas yang ada di etalase. Menyerahkan sejumlah uang pada ibu kantin. Sebelum pergi, kusempatkan mendekati mereka yang tertunduk menatap lantai.
"Saya duluan, selamat melanjutkan obrolan," ujarku disertai seulas senyum tipis.
***
Setibanya di IGD aku langsung menghampiri Linda yang nampak sibuk menulis sesuatu sampai tidak menyadari kedatanganku. Sepertinya dia sedang mengisi status pasien yang baru masuk tadi.
"Minum dulu, Lin, itu saya belikan teh hangat buat kamu."
"Eh, maaf, Dok, saya nggak sadar Dokter sudah datang."
"Nggak papa. Hasil lab pasien tadi sudah keluar?"