Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #25

Here Comes

Sometimes someone comes into your life that changes everything.

(Unknown)

---

Lily Diandra

 

Aku meraba tempat tidur dengan mata terpejam. Mengingat-ingat posisi terakhir meletakkan minyak kayu putih tadi malam.

"Au," ringisku saat tidak sengaja mendapati botol plastik itu tertimpa badan sendiri.

Masih dengan posisi tubuh meringkuk di bawah selimut, kubalurkan minyak kayu putih itu ke perut, tungkai, dan telapak kaki. Rasa hangat perlahan menjalar, meski tidak sepenuhnya mengurangi gigil yang belakangan sering datang. Musim hujan belum tiba, tapi anehnya belakangan ini aku sering diserang gigil secara tiba-tiba di malam hari dan baru berakhir ketika matahari mulai tinggi. Malah terkadang disertai perut kembung dan perasaan mual di pagi hari. Sepertinya daya tahan tubuhku sedang kurang baik sekarang.

Aku baru berniat memejamkan mata, melajutkan tidur setelah salat Subuh. Bukan sesuatu yang baik memang, namun ketika dalam kondisi mendesak, kupikir masih bisa dimaklumi. Belum jua niat itu terlaksana deru motor lebih dulu membuatku terjaga. Tanpa beranjak pun aku bisa menerka itu suara motor Ali. Kulirik jam digital di ponsel. Pukul 06.15. Sepagi buta dia sudah pergi. Entah, mungkin ada apel pagi di Polresta. Aku berusaha untuk tidak peduli, sebagaimana yang dilakukannya juga.

Kuatur alarm agar berbunyi setengah jam kemudian supaya masih ada sisa waktu untukku mempersiapkan diri berangkat ke Puskesmas. Beruntung dari rumah Ali jaraknya tidak seberapa jauh. Kalau lancar hanya perlu lima belas menit untuk sampai. Dekat sana ada sebuah pasar tradisional yang bagian depannya banyak penjual sarapan. Sepertinya membeli bubur di pasar sebelum ke puskesmas pilihan yang tepat. Sekarang, mari melanjutkan tidur sejenak.

***

Banjarmasin di atas pukul 7 pagi. Suara klakson serasa membuat telinga berdenging. Masing-masing hendak mendahului. Dari kawasan Pasar Lama yang terkenal padat luar biasa menjelang waktu berangkat, makan siang, dan pulang kerja, mobilku terjebak tak bisa bergerak. Kalau bukan demi semangkuk bubur langganan, tentu aku akan lebih memilih jalur lain saja. Meski jarak puskesmas sebenarnya tidak seberapa jauh dari ujung jembatan yang melintang di atas sungai Martapura ini. Paling-paling hanya 500 meter. Tapi sebagaimana hukum terjebak macet, jarak realitas menjadi tidak lagi bisa diprediksi.

Sebuah ketukan di kaca mobil membuat lamunanku lamur. Pupil mataku melebar. Ali. Tangannya bergerak memberi aba-aba maju. Tanpa menurunkan kaca jendela, kulajukan mobil sesegeranya. Ya Tuhanku ... kenapa dia harus dinas di Jembatan Pasar Lama hari ini? Kenapa bukan kepolisian sektor setempat yang bertugas sampai harus satuan lalu lintas polresta yang berjaga.

Tiba di halaman puskesmas, kupilih memarkirkan mobil di bawah sebatang pohon ketapang. Posisi yang cukup aman sehingga tidak perlu tertutupi kendaraan pengunjung.

"Baaa!"

"Astaghfirullah hal adzim," seruku sambil memegangi plastik bubur yang hampir jatuh akibat ulah mengejutkan dokter di depanku ini.

"Ngapain pagi-pagi buta ke puskesmas orang? Di Cempaka Putih kurang pasien?" sindirku dongkol.

Di depanku, Uno masih memasang raut sumringah setelah berhasil membuat detak jantungku lebih cepat mendadak. Manusia menyebalkan memang. Untung sayang.

"Minta ditemenin sarapan, males kalau sendirian," adunya sambil mengikuti langkahku menuju pintu masuk puskesmas. Beberapa perawat dan bidan menyapa, kubalas dengan seulas senyum.

"Kalau malas sendirian kan bisa duduk di warung, No, depan Puskes kamu pasar loh! Gila ya, Dokter kabur-kabur begini, kalau ada pasien gimana?"

"Ya balik," sahutnya cuek. "Paling cuma sepuluh menitan ini."

Mengabaikan Uno yang meski mulutmu berbusa menjelaskan tidak akan mempan itu, aku memilih meletakkan tas dan beranjak menuju pantry.

"No, aku mau bikin teh. Kamu teh juga apa kopi?" tawarku pada Uno yang dengan santai sudah membuka pundut nasi. Makanan favorite dia. Dikomposisi beras, santan, dan sambal yang gurih manis.

"Kopi instan apa kopi asli nih?"

"Ampun ya, tamu kok gini amat. Kopi instan lah, No. Pantry puskes ini, bukan kafe mall!" omelku padanya. "Jadi mau teh apa kopi?"

"Teh aja deh. Dua ya? Haus."

Mengembuskan napas, kutinggalkan dokter kesepian yang mulai sibuk makan di ruang kerjaku itu. Uno tetaplah Uno. Hari kemarin dia mengamuk urusan Ali, hari ini dia sudah ceria lagi. Ya asal jangan dibahas-bahas kejadian di FK waktu diesnatalis itu. Bisa-bisa meradang lagi. Dia memang terkadang kambuhan.

Dari pantry terdengar suara yang tumpang tindih. Sepertinya sedang ada kesibukan di ruang apotek yang posisinya berbelakangan langsung dengan pantry. Selesai menyeduh tiga cangkir teh, aku bergegas kembali ke ruangan. Aku harus menyelesaikan sarapan sebelum pasien berdatangan. Tapi baru beberapa langkah, aroma pahit tercecap lidah, membuat tenggorokanku mendadak tidak nyaman.

"Ly, are you okay?" selidik Uno ketika aku meletakkan nampan dengan tergesa.

Aku hanya menjawab dengan anggukan, sementara tanganku sibuk menggeledah isi tas, mencari minyak kayu putih. Begitu dapat, baru napasku agak sedikit lebih lega. Aroma pahit akibat obat yang baru dikeluarkan dari kardus itu mulai berkurang sekarang.

"Yakin nggak papa?" ulik Uno.

"Nggak papa, udah lanjut makan. Nanti pasien keburu datang," anjurku diturutinya.

Suapanku tertahan begitu menyadari ada rasa aneh di lidah. Seperti sesuatu agak keras. Tast. Gigitanku malah membuat sesuatu itu pecah lalu memunculkan rasa pahit disertai aroma mirip kumbang. Seketika itu juga isi perutku seakan dipompa balik ke rongga mulut.

"Ly, kenapa, hei!"

Tanpa memedulikan Uno yang keheranan, aku lari menuju toilet di dekat pantry dengan mulut terbekap. Badanku rasanya begitu lemas setelah berhasil menguras isi perut sendiri hanya gara-gara ada selederi terselip dalam bubur. Padahal saat membeli tadi aku sudah mewanti-wanti agar jangan pakai selederi. Belakangan kurasa selederi mulai punya rasa dan aroma yang berlebihan.

Sedikit lebih baik, aku memilih meninggalkan toilet meski dengan meraba dinding. Kali ini tubuhku benar-benar sulit diajak kompromi ditambah sakit kepala yang menyerang tiba-tiba. Rasanya seperti mengenakan helm dari besi. Mustahil kembali ke ruangan, lebih baik aku menuju mushola. Pandanganku sudah mulai buram dengan sekeliling bagai berputar-putar. Tanpa memikirkan apa pun lagi aku langsung merebahkan diri di lantai mushola. Memejamkan mata dengan kepala berdenyut-denyut berat.

"Li, Lily, hei ..." Seseorang menepuk pipiku.

Lihat selengkapnya