Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #26

He Was A Hero

Masa lalu istrimu bukan milik kamu. Tapi apa yang terjadi sekarang, setelah kamu sama dia, itu tanggung jawab kamu. Baik buruk, kamu navigasinya. Dituntun, dibimbing, bukan dipaksa lurus.

---

Ali Nata Negara

Banjarmasin pagi ini agak gigil dan berkabut. Aku mengintip prakiraan cuaca di layar ponsel sambil menahan bersin. Gagal. Hidungku memerah juga akhirnya dan terpaksa membatalkan niat lari pagi mengitari jalan sekitar komplek perumahan.

Sambil menangkup hidung, aku melimbai langkah menuju dapur. Bermaksud mengambil segelas air putih untuk melegakan tenggorokan yang mulai terasa gatal. Bukan gejala yang baik untuk mengawali hari sebenarnya. Namun tidak ada pilihan. Bulan ini masuk agenda tertib lalu lintas. Kegiatan razia sedang padat. Tentu tidak enak kalau aku mangkir hanya karena flu begini. Sekalipun penyakit remeh tapi benar-benar mengganggu sekali.

Tiba di dapur kudengar suara kran air mengucur. Pupil mataku agak melebar ketika Lily keluar kamar mandi dengan raut pucat pasi sambil menyeka sudut bibirnya sendiri. Ia melirik sebentar. Mungkin sadar kuperhatikan.

"Ly, kamu ada nyimpan obat flu?" Pertanyaanku menjeda langkahnya.

Lily berbalik lantas mengangguk samar. Samar sekali dan nyaris sulit dibaca geraknya.

"Mau yang tablet atau kapsul?"

"Apa saja. Kalau bisa yang gak bikin ngantuk."

"Tunggu sebentar."

Aku menurutinya, menunggu di kursi depan meja makan dengan segelas air putih sementara Lily beranjak menuju kamar tamu. Kamar ia yang pilih tempati sejak malam terakhir aku menyentuhnya waktu itu. Napasku terembus dengan kentara. Mencoba menyudahi memori yang mengusik perasaan.

"Minum satu dulu. Nanti kalau masih flu minum lagi sesudah makan siang," ucap Lily seraya mengangsurkan tablet bening dengan butiran warna-warni di dalam.

Aku menenggak dengan cepat lantas berujar, "Terima kasih sudah mau merawat."

"Ke dalam rumah siapa pun yang saya masuki, saya akan masuk untuk menolong yang sakit dan saya tidak akan berbuat suatu kesalahan dengan sengaja dan merugikannya, terutama menyalahgunakan tubuh laki-laki atau perempuan, hamba atau bebas." Lily mengucapkan sesuatu yang terasa asing di telingaku dengan nada begitu beku. "Itu sumpah Hippokrates yang dipegang para dokter sejak ratusan tahun lalu. Dan aku hanya sedang berusaha melaksanakannya. Siapapun kamu."

Ia berbalik pergi. Meninggalkanku yang mematung seorang diri. Mendadak obat yang baru saja kutelan terasa tertahan di tenggorokan dengan rasa pahit yang menjalar sampai ke hati. Rasanya lebih baik menghadapi amukan Lily daripada ia diamkan begini.

***

Aku baru saja melepas pet polantas ketika lelaki itu datang dan langsung meninju pundak. Salam ala laki-laki katanya. Tapi cuma dia yang boleh melakukan, sementara aku cukup menerima. Alasannya empat hal: pertama secara usia dia memang lebih tua, maka kualatlah engkau kalau membalasnya, kedua dia abang letingku, senior singkatnya, maka kurang ajarlah kalau aku juga meninju melati satu di pundaknya itu, ketiga dia mantan kasatlantas tempatku bertugas. Lengkaplah deritamu Ali Nata Negara. Terakhir, bagaimana juga aku telah menganggapnya abang sendiri. Saudara di tanah perantauan.

"Ke Polresta cuma karena kangen orek tempe?" sindirku begitu Bang Rivlan mendaratkan duduk usai memesan menu makan siangnya. "Apa sudah bosan jadi kapolsek?"

"Minta dipulangkan ke akademi ya kamu?" hardiknya dongkol. Aku hanya menanggapinya dengan tawa. "Nganter titipan polsek tuh."

"Berkas belum P21 ya?"

"Belum. Masih ada yang harus dilengkapi, jadi ya gitu nggak bisa nitip ke rutan."

"Kasus apaan dah sampai kapolseknya sendiri turun tangan gini? Kanit kan bisa, Bang."

"Pengedar narkoba. Ketangkep barang bukti 90 gram sabu sama paket ganja di tangan. Mana ketangkep pas mau nganter barang sama anaknya lagi. Pening aku."

"Sinting! Bukannya ngasih teladan ke anak malah dia sendiri lebih parah dari anak-anak nakalnya."

"Makanya kamu kalau nanti udah punya anak kasih contoh yang baik, jangan ngehantam orang sembarangan. Untung nggak ketahuan media kamu. Dua institusi kena kalau itu."

"Bang Rivlan dengar dari siapa?" usutku dengan raut beku.

"Darius telepon aku waktu itu. Tapi baru hari ini kita ketemu. Istrinya cerita ada baku hantam polisi sama dokter di hari jadi fakultas. Istrinya kan ngajar di sana juga sekarang. Darius tahu itu kau yang bikin ulah. Kau itu adik kami, Li, kalau ada apa-apa cerita. Jangan pendam sendiri. Meledak bahaya!" nasihat Bang Rivlan. "Ada masalah apa sebenarnya?"

Aku diam. Ini aib kalau diceritakan.

Lihat selengkapnya