Kamu boleh gagal dalam banyak hal, kecuali satu, gagal sebagai orangtua.
---
Ali Nata Negara
"Kamu boleh gagal dalam banyak hal, kecuali satu, gagal sebagai orangtua."
Bapak menyesap teh melati buatan ibu dengan retina mata memerah ketika mengucapkan kalimat itu. Dahinya berkerut dengan raut tegang. Aku masih taruna tingkat pertama ketika belajar mengenali ekspresi Bapak dengan perasaan empati.
"Kenapa memangnya, Pak?" ulikku.
Bapak berdeham sekali sebelum menjawab pertanyaanku itu. "Gagal tes masuk akpol, kamu masih bisa coba tahun depan, tidak lolos PTN, masih ada swasta, bahkan gagal berumah tangga kamu masih bisa nikah lagi. Tapi kalau gagal sebagai orangtua itu merusak banyak manusia di generasi setelahnya. Karena orangtua itu orang pertama yang dipercaya anaknya, kebayang nggak seberapa besar kecewa anakmu dan sesulit apa mengembalikannya?"
Aku memilih diam. Membiarkan Bapak melanjutkan cerita yang ingin ia bagi. Sebab aku sepenuh paham, petuah bijak bestari itu tidak mungkin didapat Bapak hanya lewat lamunan iseng di balik meja kerjanya.
"Tadi Bapak baru berkunjung ke lapas narkotika. Tidak sengaja salat Zuhur di sampir narapida, mantan bandar sabu dan ganja. Ia berdoa agak lama sambil memegangi selembar foto kecil, seukuran biasa di dompet itu. Katanya itu foto anaknya. Tujuh tahun lalu, bandar itu ditangkap di halaman rumah saat akan membawa anaknya ke pasar malam. Sejak saat itu anaknya tidak mau bertemu ayahnya, ia menganggap ayahnya orang jahat.
Dari hari itu, sampai menjelang bebas bulan depan, bandar ganja ini selalu minta ke Tuhan agar anaknya mau memberikan maaf. Ia merasa gagal menjadi orangtua sebagaimana mestinya. Ia terpikir nasib cucunya kelak dididik oleh anak yang kehilangan teladan dari seorang bapak."
Napasku terhela. Jam di dinding dapur sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Sementara mataku belum terpejam satu jam pun. Adanya sekarang cerita bapak berkelebatan. Panjang umur. Baru kukenang Bapak lebih dulu menelepon.
"Waalaikum salam, iya, Pak," sahutku ketika panggilan terhubung.
"Di mana kamu?"
"Di rumah, Pak."
"Sudah lihat berita seharian ini?"
"Sudah, Pak. Tadi lihat di polresta pas Lily lagi bareng aku juga."
Bapak hanya menanggapi dengan dehaman di ujung sana.
"Mertuamu diduga terima aliran dana suap terkait penunjukkan kontraktor RS Pemko selain kasus OTT itu. Kamu ada dengar beliau akan dimintai keterangan di gedung KPK Jakarta besok?"
"Belum ada, Pak. Ali cuma tahu dari sore sampai Isya tadi beliau di Polda. Tapi nggak bisa akses untuk besuk."
"Nggak akan dikasih akses kamu. Mas Waluyo ada di belakang kasus ini, Li."
"Informan KPK beliau, Pak?"
"Iya. Iparnya kan wakil ketua KPK. Tapi ya seandainya mertuamu lurus sih nggak bakal kena juga. Itu kenapa Bapak bilang politisi kadang lupa perkara yang baik dan buruk kalau sudah bicara kepentingan."
Aku memilih bungkam. Kondisi seperti ini daripada menyulut emosi Bapak lebih baik mencari jalan keluar untuk kami.
"Istrimu gimana kondisinya?"