Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #29

Sepasang Paru - Paru

Jodoh itu mirip dua lembar kain yang disatukan menjadi sebuah pakaian. Mungkin aja dua kain ini nggak bisa dijahit jadi satu baju, padahal keduanya sama-sama dari sutra. Itu bukan karena nggak baik, tapi nggak tepat.

---

Lily Diandra



Aku baru selesai menutup pagar usai memasukkan mobil ke carport ketika suara televisi terdengar sayup-sayup. Lampu di ruang keluarga merangkap tempat menyambut tamu dekat itu masih menyala terang-benderang, pertanda Ali masih terjaga. Kulirik jam di pergelangan tangan, pukul sepuluh lewat seperempat malam. Aku baru selesai praktik di klinik milik direktur RS swasta tempatku sebelumnya bertugas. Sejak mengetahui kehamilanku usai pemakaman Papa waktu itu, Ali memang mewanti-wanti tidak praktik double lagi antara RS dan puskesmas. Beruntung direktur RS tempatku bertugas baik hati dan mau memaklumi. Kami kemudian bersepakat agar aku praktik 2 hari dalam seminggu menggantikannya di klinik bersama dokter lain dari pukul 5 sore hingga 9 malam. Biasanya aku praktik di hari Selasa dan Sabtu, selebihnya hanya dinas di puskesmas. 

Meski belum sepenuhnya cair, setidaknya kami mencoba saling berkompromi agar konflik yang ada tidak terlalu kentara, terutama di depan keluarga. Lagipula belakangan aku merasa lelah sekali kalau harus beradu argumentasi dengan Ali, walhasil sebagian kujawab dengan sikap secukupnya saja. Berhubungan selayaknya teman seatap. Beruntung kami masih tinggal di kamar terpisah sehingga tak terlalu canggung saat akan tidur.

"Assalamu'alaikum," ucapku seraya mendorong pintu rumah secara perlahan. 

"Wa'alaikum salam." Ali tampak sedikit terkesiap dan mengalihkan pandang dari layar televisi. Ia melirik ke jam dinding di atas rak televisi sebelum kembali bersuara. "Tumben baru selesai jam segini praktiknya?" 

"Iya, pasiennya agak banyak hari ini sama ada yang diobrolin dulu tadi." 

Ia mengangguk maklum. "Kalau kamu nggak capek, aku mau ngobrol soal putusan kasus Papa." 

Napasku terhela. Berat sekali rasanya mengenang tragedi perih itu lagi. "Boleh, tapi aku bersih-bersih sebentar ya." 

"Iya, nanti ketemu di meja makan aja," putus Ali kusetujui.

Lima belas menit kemudian aku keluar kamar dengan stelan piyama tidur. Ali sudah duduk di depan meja makan kecil yang bersebelahan langsung dengan dapur bersih. Tangan kukuhnya memegang sebuah cangkir kramik yang masih mengepulkan asap sama seperti sebuah cangkir lain di depannya. Aku berjalan mendekat dan baru menyadari beberapa surat kabar tertumpuk di meja makan. 

"Minum dulu, tadi aku bikinin teh hangat pakai madu supaya lebih rileks," tawar Ali begitu aku mendaratkan duduk di seberangnya. 

Kusesap perlahan teh madu itu sembari menerka-nerka perkembangan kasus Papa. Empat bulan berlalu, Ali memang lebih banyak mengupdate daripada diriku. Selain karena ia lebih paham perkara hukum, aku juga masih merasa ada di fase duka atas kehilangan Papa sehingga tanpa sadar membatasi hal-hal yang bisa mengingatkanku pada luka kepergian beliau. Aku ingin bisa mengenang Papa dalam kondisi terbaiknya saja. Terkesan egois memang. Namun mungkin kalian akan paham, seandainya tidak bisa memiliki keberadaannya lagi, setidaknya aku masih memiliki ingatan baik tentangnya. 

Karena ada yang pernah bilang ketika orang yang kamu cintai pergi menghadap Tuhan, seluruh kesalahannya akan termaafkan. Sebab sekiranya bisa memilih kamu tentu lebih menginginkan orang itu tetap ada di sisimu sekalipun misal ia menyebalkan. Apalagi jika memang ia orang yang berarti bagi kita, tentu bukan perkara sederhana menerima perpisahan yang tiba-tiba.

"Kamu mau ngobrolin apa?" Aku memecah hening. 

"Coba baca deh." Ali menyodorkan surat kabar ke arahku. Di bagian depan ada berita Papa tercantum. "Kasus Papa sudah SP3 sekarang dari KPK, jadi secara hukum, pidananya sudah gugur." 

"Jadi putusannya inkrah?" Aku menatap Ali bingung. 

"Bukan inkrah sih, tapi penyidikan dan tuntutan pidananya dianggap gugur demi hukum. Jadi berdasarkan undang-undang nomor 19 tahun 2019 ada beberapa hal yang bikin KPK boleh menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, salah satunya kematian tersangka. Posisi Papa kan kemarin masih tersangka belum terdakwa." 

"Beda ya antara tersangka dan terdakwa? Aku kira selama ini sama." 

"Beda. Kalau terdakwa kan tersangka yang sudah dituntut dan diadili di persidangan. Sementara tersangka itu baru orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan. Karena posisinya masih tersangka, kalau dari pasal 77 KUHP itu kelanjutan pidananya gugur."

"Kalau menurut kamu gugur kok pernyataan jubir KPK di koran ini bilang tetap melakukan upaya hukum ke Papa ya buat narik kerugian negara?" 

Ali melepas napas perlahan. Disesapnya teh sebelum kembali bersuara. 

"Gini, karena kemarin pas proses penyidikan kan sudah ada temuan berupa OTT tuh jadi bisa diperkarakan pakai pasal 32 ayat 1 UU pemberantasan tipikor. Soalnya ada bukti kerugian negara. Nanti pihak penyidik akan menyerahkan hasil temuan ke Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan buat melakukan gugatan perdata ke ahli waris. Dalam hal ini ya kamu." 

Giliranku mengusap badan cangkir sekarang, mencari kehangatan dari suasana yang mendadak dingin dan menakutkan. 

"Nominalnya kira-kira berapa?" 

"Dilihat dari jumlah waktu OTT kemarin sama akumulasi setelah penyidikan dan persidangan nanti paling. Tapi prediksiku minimal banget ngepas di 1M sih." 

"Kok bisa prediksi segitu?"

"Ya karena kalau kerugian negara nggak sampai 1M itu pasti akan ditangani kepolisian bukan KPK berdasarkan pasal 11 undang-undang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi." 

"Semoga asset Papa bisa nutup nilai gugatan yang diputuskan nanti ya," harapku. 

"Kalau nggak setuju kamu bisa ajukan banding ke Mahkamah Agung kok." 

Aku menggeleng. "Kalau memang ada hak negara yang diambil Papa, aku mau itu keluar aja, Li, dari harta keluarga. Selain nggak berkah, aku mau Papa tenang di sana." 

"Mudah-mudahan kita dapat keputusan paling adil," tutup Ali. "Kamu besok jadi cek ke dokter?" 

"InsyaAllah nggak berubah sih. Kamu jadi ikut?" 

Ali tampak menimbang sejenak. "Sore ya?" 

Aku mengerjapkan kelopak mata sebagai jawaban.

"Ingetin lagi besok ya? Aku kemungkinan ada penyergapan gudang obat sama dinkes juga." 

"Nanti aku WA kamu atau paling aku share hasilnya aja?" tawarku kemudian. Ali terlihat diam sejenak sebelum akhirnya setuju. 

"Aku usahain ikut. Tapi ya kalau di sat narkoba sering nggak tentu kerjaannya. Beda waktu masih di satlantas dulu, jam kerjanya agak lebih rutin," keluh Ali yang dua bulan terakhir baru pindah satuan meski masih di polresta. 

"Ya udah diobrolin besok lagi ya, aku mau istirahat dulu," pamitku berbalas isyarat tangan mempersilakan dari Ali. 

"Selamat tidur," ucapnya hanya kuangguki. 

***

Sisa hujan kemarin malam meninggalkan genangan di sebagian halaman puskesmas yang paving bloknya terlepas. Aku masih mengantre cuci tangan setelah giat gotong-royong menanam apotek hidup yang berisi aneka tanaman obat dari rimpang hingga dedaunan seperti kunyit, jahe, kumis kucing, sirih, serai, bahkan pandan. Rencananya hari Senin nanti akan ada kunjungan dari Walikota. Meski sebenarnya setiap hari Jumat memang selalu ada giat bersih-bersih puskesmas setelah senam pagi bersama para lansia.

"Silakan, Dok," ucap seorang perawat laki-laki kepadaku. 

"Sudah?" 

Ia mengangguk lalu bergerak memberiku ruang untuk mendekat ke arah wastafel yang menempel dengan dinding samping puskesmas tidak jauh dari areal parkir. Selesai giat, sebagian besar staff puskesmas memang masih berdiri di halaman. Karena pada hari Jumat seperti sekarang jam pelayanan lebih pendek. Biasanya hanya sampai pukul sebelas siang.  

Baru selesai mengeringkan tangan dengan handuk kecil yang tergantung di sisi wastafel, derit ponselku lebih dulu menjeda rencana hendak beranjak ke UGD. 

Keningku mengernyit begitu menyadari telepon yang masuk dengan kode 0511. Kode telepon rumah. 

"Dari siapa ya?" Aku bermonolog sebelum memutuskan menjawab panggilan. "Hallo." 

"Eh, hai, Ly," suara di seberang sana terdengar tidak asing. "Ini Kalina, sorry pakai telepon klinik." 

Lihat selengkapnya