Tidak ada kejahatan yang sempurna.
Hanya terkadang perlu peka untuk bisa membaca tanda.
---
Ali Nata Negara
Aku mengurai lengan yang tersimpan di balik boomber jacket ketika siut angin terasa meremangkan rambut-rambut halus sekitar tengkuk. Hawa dingin terasa kian menusuk tulang seiring malam yang beranjak menuju dini hari. Hari yang begitu mengejutkan dan memberatkan bagi kami di institusi polri, terlebih areal Kalimantan Selatan.
"Selain dingin dan mencekam, bau formalin di sini juga mulai membuat mual ya," celutuk Bang Darius sambil membenarkan posisi masker di hidungnya.
Aku mengangguk samar. "Kalau ruang pemulasaran jenazah ini nggak dingin bahaya juga sih, Bang. Mayat bisa cepat membusuk karena bakteri berkembang masif di daerah lembap."
"Benar juga kau. Kudengar dalam kulkas di depan itu masih ada organ tubuh manusia yang disimpan."
"Habis proses autopsi mungkin. Kan kalau kondisi meninggal karena tenggelam gitu organ paru-parunya ditimbang pakai alat yang di samping Abang itu." Tunjukku dengan dagu ke arah pangkal meja autopsi yang bagian atasnya tergantung timbangan berbahan stainless steel.
"Kalau kupikir-pikir kasian juga ya, sudah mati eh nggak bisa langsung dikubur karena badan harus dibongkar-bongkar dulu. Memang enak mati wajar saja, jangan aneh-aneh macam si Melati ini," ucap kasat reskrim ini dengan pandangan prihatin ke arah jasad yang terbujur kaku di depan kami.
Iya. Jasad perempuan dengan kaki tergantung label sidik jari di atas meja autopsi itu adalah Melati, putri tunggal Om Waluyo, yang pernah hampir dijodohkan denganku. Selepas Isya tadi ia ditemukan tak bernyawa dalam bathtub kamar mandi rumah sewaan dengan luka tembak di kepala. Penemuan yang membuat geger seluruh staff kepolisian resort Hulu Sungai Tengah dan kami yang mengenalnya.
"Tapi, Bang, aku kok merasa janggal ya sama dugaan Melati bunuh diri? Pertama motif dia terkesan nggak berdasar. Kedua, pas ngobrol sama dokpol yang ikut dari TKP bilang nggak ditemukan cadaveric spasme. Padahal kalau benar dia menebakkan pistol ke kepala, harusnya ada kaku di tangan yang nggak hilang sekalipun udah berjam-jam."
"Kalau yang mati bunuh diri nggak pernah pegang pistol sebelumnya mungkin aku percaya saja. Dia kan tiap hari kenal pistol, ketegangannya pasti beda dengan sipil, Li," sanggah Bang Darius. "Tapi aku setuju analisa kau soal kejanggalan dugaan bunuh diri ini. Manajer TKP juga cerita ke aku, posisi Melati pas ditemukan itu setengah duduk menyandar di bathtub. Mestinya setelah nembak kepala itu badan dia merosot ke dalam air bukan?"
"Kalau posisi begitu artinya Melati sudah meninggal sebelum ada di bathtub itu. Karena kekakuan jenazah mulai muncul sekitar 2 jam setelah seseorang meninggal. Bukan mustahil, Bang, jenazah Melati dipidahkan dari posisi sebelumnya," tanggapku. "Lihat foto pas Melati belum diangkat dari bathtub nggak, Bang?"
"Iya. Itu airnya merah kali kutengok."
"Darah dari luka di kepala harusnya nggak bikin air semerah itu kayaknya."
"Betul juga kau. Ada lebam pula katanya di badan dia itu," tambah Bang Darius. "Tapi ya harus ada pemeriksaan mendalam lagi buat memastikan lebamnya terkait sebab kematian atau memang normal muncul."
"Ini ada pemeriksaan toksikologi juga nggak ya?" ulikku pada Bang Darius.
"Tim labfor minta itu sih soalnya ada nemu bungkus diazepam di kamar Melati."
"Diazepam masuk obat golongan daftar G loh, Bang. Harus resep dokter kalau mau pakai buat mengatasi stres."
"Iya itu, kalau ilegal udah pasti ditangkap tim kau di satnarkoba kayak kasus penyergapan kemarinnya kan?"
Aku membenarkan pernyataan Bang Darius dengan sebuah anggukan. Diazepam atau benzodiazipine dalam dosis kecil biasa digunakan sebagai obat penenang karena bisa menekan sistem saraf pusat. Di Indonesia sebenarnya termasuk golongan narkotik karena zat sedative san hipnotiknya.
"Balik yok!" ajak Bang Darius sambil menyikut lenganku. "Aku perlu peregangan sebelum 5 jam berdiri di ruang mirip kulkas ini."
"Autopsinya di studio ya?" tanyaku mengingat penyidik tidak akan bisa terlibat kecuali dua alasan. Pertama proses autopsi di lapangan atau kedua di dalam ruang studio dengan jendela kaca besar.
"Iya. Brigjend Waluyo akan ikut memantau. Sama kasat reskrim polres HST juga turun langsung biar bisa langsung mengabari penyidik di TKP buat cari alat bukti. Tim identifikasi belum nemu sidik jari pasti soalnya."
Sebelum meninggalkan ruang pemulasaran jenazah RS Bhayangkara ini, aku menyempatkan membungkuk di depan meja autopsi. Pelan kusingkap sedikit kain penutup jenazah Melati.
"Mel, kalau memang kematian ini bukan keinginan kamu sendiri, kasih Abang petunjuk lewat mimpi atau apa pun itu. Abang akan bantu sebisanya biar kamu bisa beristirahat dengan tenang," bisikku pelan di telinga kiri Melati.
***
Azan Subuh hampir berkumandang saat air panas dalam teko kecil itu mendidih. Aku segera menuangkan ke cangkir kramik yang telah diisi bubuk kopi dan gula kelapa. Tanpa mengganti seragam, aku duduk di ruang makan, menyesap perlahan aroma kopi hitam sekadar menenangkan pikiran. Belum sempat mencecap ke lidah, kiriman foto dari Bang Darius lebih dulu membuatku tertegun. Foto Melati bersama para dokter dengan latar belakang polres Hulu Sungai Tengah. Namun bukan semata itu yang membuatku terperangah, melainkan keberadaan seorang laki-laki berjambang tipis di sekitar rahang yang kukenali sebagai sahabat baik Lily. Uno. Dokter berperawakan tinggi besar itu berdiri tepat di belakang Melati.
Foto terakhir Melati sebelum ditemukan meninggal.
Demikian keterangan yang Bang Darius berikan di pesan singkatnya kepadaku. Lekas kuketikan pesan balasan.
Dapat dari siapa, Bang?
Dari grup WA istriku.
Katanya ada acara baksos medis.
Visum et repertum sementara sudah keluar?
Sudah.
Lebam garis-garis warna perunggu itu indikasi karena keguguran kata dokpol.
Melati meninggal karena pendarahan?
Bisa jadi, Li.
Tapi masih dicek ini usia kehamilannya berapa minggu.
Sama nunggu hasil pemeriksaan tokso
Iya, Bang.
Kabari kalau ada perkembangan sama kalau ada yang perlu kubantu ya?
Coba kau tanya kontak dokter berjambang itu ke Lily.
Kata Rivlan si dokter itu mantan pacar Melati.
Kalau bisa kita ajak dia ketemu sebelum penyidik gerak.
86, Bang.
Aku baru menelungkupkan ponsel ke meja bersamaan dengan Lily yang keluar kamar untuk mengambil wudu. Langkahnya terlihat pelan karena tertahan perut yang mulai membesar di usia kandungan empat setengah bulan. Dari jarak kami, aku bisa melihat ia sempat mengusap-ngusap hidung saat berjalan melewatiku yang duduk menghadap meja makan.
"Kamu abis penyergapan di mana kok bau formalin?" tanya Lily.
Aku menggeleng lemah. "Abis dari ruang pemulasaran jenazah RS Bhayangkara."
"Ada tersangka yang meninggal atau gimana?"
"Bukan. Coba ke sini sebentar," ajakku sambil mendekatkan ponsel ke arah Lily lalu membuka menu galeri untuk menunjukkan sesuatu di sana.
"Eh kok ada foto sama Uno?" celutuk Lily begitu melihat foto berjajar para dokter dan polisi di depan polres HST.
"Lagi baksos," sahutku. "Itu tepat di depan Uno, polisi cewek yang rambut sebahu, dia temanku. Tadi malam ditemukan meninggal dalam bathtub rumah sewaannya. Diduga bunuh diri."
"Innalillahi ...." ucap Lily refleks menutup mulut dengan tangan. "Itu Melati 'kan?"
Aku mengangguk bingung. "Kamu kenal Melati?"
"Bukan kenal secara langsung sih, cuma tahu. Dia dulu 'kan sempat pacaran sama Uno."