Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #31

Operatic Kamer

Setiap hari tugasku menjaga keamanan banyak orang, tapi aku nyaris gagal menjaga keamanan anakku yang bahkan belum bisa membela dirinya ketika dalam bahaya.

---

Lily Diandra

 

Warung tenda dekat penanda tepi jalan Andalas. Nama jalan yang sebenarnya aku lupa, sebab orang-orang lebih banyak mengingat warung nasi kuning Rahmat yang patokannya seberang hotel Andalas. Sebuah warung kecil yang setiap pagi ramainya nyaris menyaingi riuhnya Pasar Lama tak jauh dari sini. Warung yang tertera di tenda buka hingga jelang makan siang namun realitanya hanya sampai pukul 8 pagi. Itu juga kalau bukan akhir pekan. Karena di akhir pekan, sering bukan hanya orang Banjarmasin yang sarapan melainkan juga wisatawan. Seperti kami sekarang. Aku dan Ali sedang menjamu Bapak serta Ibu. 

"Dapat parkirnya?" usutku ketika Ali tiba dengan keringat bergelantungan di atas kening. 

Ia mengangguk dengan deru napas yang terdengar memburu. "Lumayan jauh dapatnya, ada kali hampir 200 meteran dari sini. Depan ruko yang tutup aku parkirnya. Nanti selesai makan tunggu di sini aja deh daripada jalan kaki, mobil biar aku ambil sendiri."

"Udah kayak Jakarta lama-lama Banjarmasin ya?" celutuk Bapak mertuaku. 

"Bukan lagi, Pak. Udah duplikat kalau pagi sama sore hari kerja di Jembatan Pasar Lama," sahut Ali. 

"Kasian yang di satlantas, capek ngaturnya." 

"Untung Ali udah nggak." 

Ali masih berbincang dengan Bapak ketika antrean di depan etalase kaca sekaligus tempat memesan makanan itu mulai lengang. Aku dan Ibu beranjak mendekat, menunggu sejenak seorang pembeli menyelesaikan proses pembayaran. Begitu pembeli tadi pergi, aku bergegas menanyakan menu apa saja yang masih tersedia mengingat antrean di belakang kami sudah tak banyak lagi dan matahari sudah mulai tinggi. Beruntung masih lengkap semua dari lontong sayur hingga nasi kuning. 

"Bapak sama Ibu mau pesan lontong atau nasi kuning?" 

"Ibu lontong aja deh, Ly." 

"Lauknya mau ikan gabus, telur, atau ayam, Bu?" 

"Telur aja, Ly. Nggak pedas kan ya itu?" 

"Nggak, Bu. Telurnya bukan balado kok, lebih kayak bumbu Bali gitu manis gurih." 

"Kalau Bapak disamain Ibu atau gimana?"

"Bapak nasi kuning aja. Lauknya ayam, sama jangan dikasih serundeng." 

Aku mengulang pesanan Bapak dan Ibu sebelum beralih menanyakan Ali. Setelah pesanan dicatat, aku baru melirik Ali yang berdiri di dekat Bapak.

"Kamu mau nasi kuning atau lontong sayu?" 

"Nasi kuning aja pakai ikan gabus masak habang m, tapi yang kepala ya? Jangan ekor, susah misahin tulangnya." 

"Nasi kuning satu sama lontong satu, lauknya sama-sama ikan gabus masak habang," beritahuku pada penjualnya. "Minumnya mau apa?" 

"Bapak sama Ibu teh tawar hangat." 

"Aku juga." 

"Minumnya samain semua aja, Cil, teh tawar hangat empat." 

Kami duduk agak ke dalam di sebuah meja panjang yang menempel ke dinding bangunan. Di depannya sebuah bangku panjang tersedia. Belum sempat kakiku melangkah, perutku mendadak terasa kencang seperti didorong dari dalam.

"Aush," desisku agak keras. 

"Kenapa, Ly?" selidik Ibu panik. 

Aku menggeleng dengan bibir terlipat ke dalam. Kulihat Ali merapat dengan raut cemas. 

"Kamu kontraksi lagi?" Ali meletakkan tanggan ke atas perutku. 

"Bukan, ini tadi anaknya nendang agak kencang, makanya ngilu," beritahuku membuat mereka menarik napas lega. 

"Kalau kontraksi kayak tadi malam bilang ya," pinta Ali. 

Aku mengerjapkan kelopak mata sebagai tanda persetujuan. 

"Aku sebenarnya nggak tenang ninggalin kamu tugas pas kayak gini. Kalau bisa digantiin ke Jakarta, aku mending stay di Banjarmasin aja." 

"Kamu dinas cuma 4 hari, ada Ibu sama Bapak di sini, tenangkan hati ya," nasihat Ibu sembari mengusap bahu anak lelaki tunggalnya. 

"Dia masih 26 minggu, Li, ruang geraknya masih luas, nanti makin besar juga nggak akan selasak ini lagi. Percaya deh." Aku berusaha memberi penjelasan pada Ali yang dihadiahi tatapan selidik. 

"Sudah, istrimu dokter, dia pasti paham kondisinya," timpal Bapak kemudian. 

Ali terlihat berusaha menguasai diri, sekalipun aku mengerti tatapan cemasnya sulit didustai. Tatapan yang sebenarnya bermula saat kami memeriksakan kandungan dua minggu lalu, jauh sebelum Bapak dan Ibu memberitahu akan bertandang ke Banjarmasin untuk menghabiskan masa cuti. Sore itu aku mengeluhkan ada keputihan. Dokter Dachrial yang merupakan Ayah Kania, kekasih Uno yang baru itu mengatakan kondisi ini bisa mengakibatkan infeksi saluran kencing. Kalau dibiarkan bisa menyebabkan mulut rahim melunak yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi pembukaan dini. Itu sebabnya Ali selalu panik ketika aku mengatakan perut terasa kencang, karena ia mengira merupakan tanda kontraksi akibat terbukanya mulut rahim. Padahal bukan. Lebih sering karena ditendang. 

"Perkembangan kasus Melati gimana, Li?" kulik Bapak seraya menaruh sendok ke piring usai menyuap nasi kuning. "Sudah ada titik terang?" 

"Saat ini masih pengembangan kasus, Pak. Belum sepenuhnya pasti, tapi terus kita susuri. Karena jelas kematian Melati bukan bunuh diri." 

"Kasihan keluarga Mas Waluyo. Belum genap setahun cucu pertamanya meninggal, 

sekarang putri tunggalnya juga pergi dengan cara ndak wajar," cetus Bapak dengan pandangan prihatin. 

"Anaknya Mas Djati meninggal karena apa sih? Perasaan waktu lahir sehat-sehat saja." 

"Kebocoran jantung bawaan, Li. Katanya dari lahir susah nyusu ke ibunya." 

"Kemarin sempat hamil lagi, tapi di luar kandungan, sudah terlanjur besar akhirnya saluran tuba dia dipotong. Katanya kemungkinan hamil lagi kecil." Ibu menambahi.

Aku menyimak dengan perasaan tak enak. Membayangkan pukulan bertubi yang mesti diterima keluarga Melati. Penjelasan Uno ketika diintrogasi Ali dan Bang Darius kemarin cukup menguatkan kami, pelaku pembunuhan Melati mestilah seorang yang mengenal baik korbannya sekaligus cerdas dalam mengeksekusi. Meski menurut Ali tidak sepenuhnya rapi. 

***

Aku baru saja menutup pulpen dan menepikan setumpuk resep ketika pintuk ruang praktik di klinik kembali diketuk. Usai mempersilakan, sepasang orangtua muda dan anak lelaki kecilnya masuk secara bergantian. Begitu melihatku, anak kecil dengan mata sembap itu seketika meraung keras. Aku paham, ia pasti sedang ketakutan. Sudah kadung anak-anak takut dengan dokter. Berbagai macam alasannya. Salah satunya terlalu sering diancam orang dewasa akan disuntik jika mereka tidak menurut ketika disuapi atau ditegur apa saja. Ancaman yang kemudian tanpa sadar tertanam dalam benak mereka bahwa dokter berbaju putih itu menakutkan, suka menyakiti anak-anak, atau sekelumit hal negatif lainnya. 

"Hallo," sapaku sembari mendekati dan mengusap punggung anak lelaki yang meronta dalam gendongan ayahnya. Meminta diturunkan dari bed pemeriksaan. "Namanya siapa?" 

Ia menggeleng, tak mau menjawab pertanyaanku, bahkan kian mengeratkan pegangan pada lengan ayahnya. Aku tersenyum, mensejajarkan kepala ke wajahnya yang bersembunyi di balik dada sang ayah. 

Lihat selengkapnya