Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #34

Imam Dua Makmum

Hakikat imam itu dekat dengan perasaan hebat. Perasaan yang ketika dipupuk dengan keliru akan menumpulkan rasa maklum dalam hati kita sendiri.

---

Ali Nata Negara

 

Seorang lelaki mendekat, melipat kaki di atas ambal tanpa alas salat. Ia bersila tenang dengan mata terpejam. Sesayup kudengar bibirnya melantunkan zikir serupa gumam, pelan, perlahan seperti tak bermaksud mengganggu ketenangan siapapun. Kubentang alas salat yang terlipat hingga cukup menjadi tempat dua orang bersujud. Mata yang tadi terpejam membuka perlahan, pandangannya berubah heran. Tetapi tak sepatah kata pun terucapkan.

“Silakan,” tawarku kemudian.

Ia mengangguk disertai seulas senyuman.

“Terima kasih,” sahutnya santun. “Mohon maaf ini sepertinya ada kelopak mawar yang tersangkut.”

“Ah itu sepertinya sisa dari kemang barenteng yang saya bawa.” Aku menerangkan.

“Bapak sehabis ziarah kah?”

“Iya. Ziarah ke makam putri saya dan alas salat ini selimut yang terakhir ia pakai.”

“Innalillahi wa innailaihi ro’jiun. Turut berduka untuk Bapak sekeluarga.”

Aku mengangguk. Percakapan kami terhenti saat khatib memberi tanda khutbah salat Jumat akan segera dimulai. Masjid Mapolda cukup padat hari ini. Beberapa jamaah memang terlihat tak kebagian alas salat. Sejatinya aku jarang membentangkan selimut Giandra untuk orang lain. Meski setiap salat kupakai. Selain sebagai penunai rindu, juga sebagai perantara harap semoga pahala senantiasa mengalir untuknya di sana. Seperti hari ini, pada hari keseratus Giandra pergi mendahului kami. Aku membentang selimutnya untuk alas bersujud dua wajah. Semoga menjadi syafaat yang melapangkan dan menerangi makam Giandra. Sekalipun aku tahu ia belum menanggung dosa sebagaimana kami orang tuanya.

“Apa rasanya menjadi imam di antara para imam?”

Aku memicingkan mata demi mendengar pembuka khutbah Jumat yang tidak biasa. Kurasa semua jamaah masjid mapolda Kalsel melakukan hal yang sama. Ini imam agak lain di telinga. Seketika yang terkantuk menegakkan duduk. Terheran-heran memandang ke arah sumber suara.

“Itu perasaan saya hadirin jamaah salat Jumat sekalian manakala diberi tahu akan mengimami para polisi hari ini. Barangkali bagi sebagian orang tidak ada yang berbeda sebagaimana salat-salat Jumat lainnya. Makmumnya sama. Laki-laki semua yang dalam Islam disebut al-rijalun. Para pemimpin.

Bapak-bapak, adinda, kanda, dan hadirin yang dirahmati Allah. InsyaAllah. Pun demikian menjadi imam salat Jumat bagi saya pribadi selalu istimewa. Waktunya agak panjang. Perlu kerelaan hati untuk menyempatkan diri di tengah sibuknya pekerjaan duniawi. Sesuatu yang kemudian membuat hakikat imam begitu rawan tergelincir.”

Masjid mapolda mendadak hening. Sesiut angin menyusup dari arah pintu yang terbuka. Mengibarkan gorden-gorden tipis yang menutupi jendela.

“Hakikat imam itu dekat dengan perasaan hebat, Bapak-bapak. Perasaan yang ketika dipupuk dengan keliru akan menjadikannya ujub atau bangga diri. Lebih jauh lagi, perasaan yang menumpulkan rasa maklum dalam hati kita sendiri.”

Beberapa kepala menggut-manggut demi mendengar kalimat itu. Tidak terkecuali aku. Ada persetujuan yang tak terucapkan.

“Jamaah yang dirahmati Allah, ada sebuah cerita menarik yang terjadi di rumah saya sendiri. Suatu malam setelah kami melaksanakan salat Isya berjamaah. Putra bungsu saya lekas merapati sajadah begitu salam ditunaikan. ‘Abuya baru hafal surah baru kah?’ Pertanyaan yang terasa menggelitik hati. Sebab surah yang saya baca sama saja seperti mengimami di langgar. Rupanya hadirin, menurut putra saya, surah yang saya baca terlampau panjang sehingga mereka merasa gelisah sepanjang salat karena takut kemalaman belajar padahal besok akan ulangan.

Allah karim, lekas saya istighfar. Saya sadar hampir tergelincir pada sikap bangga atas hafalan yang saya miliki sehingga lupa hakikat imam itu mesti punya rasa mawas, rasa ingin memudahkan makmum. Sebab barangkali masing-masing makmum punya uzur dan hajat yang mesti disegerakan.”

Lihat selengkapnya