Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #36

Dyspnea

Banyak berpikir bukan sesuatu yang keliru. Tetapi terjebak pada pikiran yang belum tentu terjadi hanya akan mengundang perasaan gelisah dan cemas.

---

Lily Diandra

 

In fact, something difficult than creat one is taking care of them. Maksudku, seperti membuat kehidupan baru berupa seorang anak, sepasang manusia hanya perlu menit atau jam untuk bercumbu. Tetapi untuk menghadirkannya dengan sehat setidaknya perlu puluhan minggu merawat dalam kandungan.

Perumpamaan lain barangkali perihal luka. Hanya perlu waktu sebentar untuk membuatnya ada. Terlepas disebabkan secara sengaja atau tidak, selama ada benda tajam bahkan sekadar tergores gilasan benang layangan. Tetapi perlu waktu berhari-hari merawatnya hingga luka itu sembuh. Dan waktu selalu terasa lebih lama untuk merawat terlebih jika dilalui dalam kecemasan seperti aku sekarang.

Kulirik lagi lampu di atas pintu ruang operasi. Masih merah menyala, pertanda pertarungan di dalam belum selesai sejak Prof Lukman memanggilku dengan hasil rontgen terpampang di dinding ruang kerjanya. Lelaki berambut perak sebagian dengan kacamata berlensa tebal itu menatap prihatin.

“Lukanya selebar 0,9 milimeter. Saya perkirakan pelurunya berkaliber 9 milimeter. Dari hasil rontgen lokasi proyektilnya teridentifikasi ada di rongga dada sebelah kiri. Hampir mengenai jantung memang, beruntung masih tertahan sela-sela tulang iga. Ada bercak darah juga di dalam,” papar Prof Lukman membuat kepalaku berdenyut pening.

“Berapa persentase pasien untuk selamat, Dok?” ulik Bang Darius yang berdiri di sebelahku.

Napas Prof Lukman terhela begitu panjang. Ditatapnya aku dengan pandangan prihatin. Ia tentu paham aku sendiri sedang menerka-nerka berbagai kemungkinan terkait kondisi Ali pasca tertembak pistol Erlan.

“Sepuluh persen,” sahutnya kemudian. Bang Darius terperanjat. Ia jelas tidak menyangka prognosis Ali demikian negatif. “Karena sembilan puluh persen pasien dengan luka tembak nyaris tembus ke jantung tidak akan selamat jika lebih dari sepuluh menit baru tiba di rumah sakit. Pasien beruntung sempat ditangani dengan tepat oleh Dokter Lily di tempat kejadian.”

Percakapan kami ditutup dengan doa bersama saat empat dokter spesialis RS Ansari Saleh bergerak menuju ruang operasi. Prof Lukman sebagai dokter spesialis bedah memimpin operasi cito kali ini. Ia didampingi spesialis bedah torak, paru, dan anastesi. Bang Darius sendiri mesti kembali ke Polda, mengurus penahanan Erlan. Jadilah aku sendirian, menanti lampu berubah hijau di depan ruang operasi.

Kupilin sudut tunik yang menyisakan noda darah kering. Darah dari dada kiri Ali yang di perjalanan menuju IGD tadi sempat mengalami dyspnea. Sebuah gejala sesak napas setelah tertembak disusul kesadarannya yang semakin menurun.

Dusta kalau kubilang bukan segala hal buruk yang berkelebatan dalam kepala. Bagaimanapun kepergian Papa yang tiba-tiba, kehilangan Giandra tanpa sempat memeluknya, sudah cukup membuatku dibayangi ketakutan akan kepergian orang-rang terdekat. Lalu kini Ali yang hanya punya sepuluh persen kemungkinan selamat setelah menjadi tameng hidup-hidupku dari kenekatan Erlan.

“Giandra sama Kai dulu aja ya di sana. Ibu belum siap kalau Ayah pergi sekarang,” racauku getir sembari memindahkan rasa sakit dari dalam diri ke ujung bibir.

Denting berbunyi. Lampu ruang operasi berubah warna. Pintu terbuka. Prof Lukman keluar sembari melepaskan surgical mask-nya. Lekas kuhampiri ia. Menyongsong lebih dulu dengan perasaan tak menentu.

“Kondisi Pak Ali tadi sempat menurun, bersyukurnya tidak ada pendarahan aktif setelah proyektil diangkat. Kita akan tetap pantau secara intensif.”

“Terima kasih, Dok.”

Prof Lukman hanya membalas dengan anggukan. Ditepuknya pundakku beberapa kali sebelum berlalu dari selasar ruang operasi.

***

“Baru lepas dinas dengan banyak pasien, Dok?”

Sebuah sapa dengan ritme tenang namun dalam itu membuatku bergegas mengangkat kepala yang terasa berat.

Pria berambut perak, bermata abu, berjas putih lengan Panjang. Pandang kami bertemu. Ia tersenyum ramah seperti matahari di pematang sawah saat padi-padi menguning siap panen. Pemandangan yang akan kalian temui kalua mampir ke ruang spesialis jiwa di rumah sakit Ansari Saleh ini. Psikiater Darmansyah, Sp.KJ. Dokter yang pernah memberiku perumpamaan tentang gajah berantai benang saat kasus tudingan malpraktik dulu.

Lihat selengkapnya