Langkah pertama untuk memperbaiki hubungan yang nyaris karam adalah dengan merendahkan hati, memadamkan bara, dan meminta maaf secara tulus.
---
Ali Nata Negara
Kumandang azan Isya yang baru saja berlalu perlahan menggantungkan sunyi di udara. Aku duduk di sofa bed depan televisi, menggonta-ganti saluran dari sinema keluarga, berita terkini Indonesia, sampai hiburan yang tidak jelas junjrungannya. Acara yang terakhir tadi agak persis aku sebenarnya. Mata terpaku pada layar, tapi pikiran melanglang buana tak tentu arahnya. Sesekali suara televisi timbul tenggelam belaka hingga Bapak menyentak dengan kunci mobil yang mendarat ke paha. Aku tergeragap, membetulkan posisi yang setengah baring, menatap beliau dengan pandangan bingung.
“Li, temenin Bapak keluar sebentar,” pintanya singkat.
“Mau ke mana, Pak?”
“Cari nasi sama kopi.”
Perut Bapak sudah banyak terisi ketika mama mertuaku datang membawakan aneka panganan dari yang ringan sampai berat macam pepes ikan patin, ikan gabus bakar, juga ayam masak habang yang bumbunya beliau racik sendiri. Baru lepas Magrib tadi seluruh hidangan itu tandas dari meja makan. Sisa-sisa minyaknya saja kuyakin belum kering semua. Maka dengan seluruh analisa sederhana, aku paham ini akal-akalan Bapak saja agar kami bisa bisa bicara berdua tanpa Lily dan Ibu menyertai. Aku sadar, tapi jelas mustahil menolak permintaan Bapak.
Aku membawa mobil ke arah Masjid Hasanuddin Madjedi, lurus menuju kampus universitas terbuka, tempat kedai-kedai kopi digelar hingga malam suntuk pukul tiga. Sepanjang perjalanan Bapak lebih banyak diam, hanya sesekali menggumam kecil ketika mengamati perubahan kota Banjarmasin dibandingkan kondisi terakhir ia berkunjung ke sini. Aku juga tidak berani banyak bicara, lebih banyak mengalihkan diri dengan fokus mengemudi sambil mempersiapkan diri kalau-kalau pembicaraan kami nanti menguras hati.
Mobil masuk ke halaman sebuah kedai kopi yang dominan berdinding kaca. Kacanya besar-besar tanpa tirai. Bapak memilih duduk di sebuah meja kecil yang terletak di sudut agak tersembunyi oleh sebatang pohon asam. Meja yang terletak di bagian samping luar kedai. Setelah memesan kopi, beliau mengeluarkan sebungkus rokok, menyalakan sebatang tanpa berkata-kata.
Aku duduk di seberangnya sembari menebak-nebak kalimat pertama apa yang akan meluncur dari Bapak. Asap mengepul disusul tangan Bapak yang terulur menawarkan bungkus rokok padaku. Pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir aku merokok lagi. Tepatnya setelah tahu Lily mengandung Giandra, aku tidak pernah berani menyentuh sebatang pun rokok lagi. Lily sensitif dengan asap rokok di sekitarnya seperti ketika ia muntah parah di polresta awal hamil Giandra.
“Di rumah kan bisa ngopi sambil ngerokok juga, Pak,” ujarku pelan, mencoba memulai percakapan.
Bapak menghembuskan asap rokok perlahan. “Ada Ibumu. Lagipula, Lily itu dokter. Kurang pantas rasanya merokok di rumah kalian.”
“Biasanya juga nggak masalah, Pak.” Aku memberi tanggapan, sekalipun sebenarnya aku sadar sekali, suasana rumah kami jauh dari kata hangat dan tentram.
“Biasanya kapan? Waktu kamu masih bujangan?” Bapak balas dengan nada yang sedikit menyindir.
Aku hanya bisa tersenyum canggung, merasa tak perlu menanggapi lebih jauh. Bapak menarik sudut bibirnya tipis, nyaris tak terlihat. Aku tahu, kalau bukan malam ini, mengabaikan pertanyaan Bapak sama saja dengan mencari masalah.
Jenderal polisi itu mengisap rokoknya lagi, lalu berbicara dengan nada yang lebih serius. “Li, dalam kehidupan bernegara, peraturan itu sering dirapatkan lagi, diubah, atau diamandemen supaya relevan. Rumah tangga juga begitu. Peraturan yang ada pas bujang kadang perlu direvisi pas sudah berkeluarga. Jadi, berapa lama kalian nggak saling bicara?”