Barangkali beberapa jatuh dan luka terjadi bukan karena kurang waspada, tetapi sebagai pengingat bahwa dalam hidup beberapa hal memang bukan kontrol manusia semata.
---
Lily Diandra
Apa yang dirindukan seseorang saat bilangan usia rasanya makin banyak secara almanak?
Barangkali sebuah jawaban yang kusebut ini bisa mewakili. Menjadi anak-anak atau paling tidak, kembali menjadi seorang anak yang meringkuk dalam hangat peluk seorang ibu. Sesekali memeluk dengan menangis tersedu sekadar untuk mengadu karena terbangun di tengah tidur akibat mimpi buruk yang bahkan lima menit kemudian setelah tangan lembutnya mengusap-usap bahu kita juga akan lupa.
Kali lain kita memeluk ibu dengan gembira sembari memamerkan sesuatu tak seberapa seperti kertas gambar dari TK, selembar hasil ulangan matematika, atau satu pak buku tulis hadiah juara kelas yang dibungkus kertas kado apa adanya. Ibu, perempuan yang penuh apresiasi, pemberi perayaan bahkan pada hal-hal paling sederhana yang bisa dicapai anaknya, tempat pulang dan mengadu dari apa saja yang menakutkan, menyesakkan perasaan, atau kecamuk pikiran. Meski sejatinya, saat ia memelukmu, ia juga sedang perlu ditenangkan.
Aku di sini, membiarkan mobil berhenti di halaman rumah lama keluarga kami. Sebuah rumah bergaya arsitektur tahun sembilan puluhan dengan tegel berwarna merah marun pada teras yang cukup luas untuk sepasang kursi jati dan sebuah meja kayu bundar. Rumah lama yang rasanya tetap teduh dan istimewa. Ada pot bunga mama yang menggantung dari sela atap beranda berisi bunga janggut Musa yang menjuntai lebat semua. Ada pula sirih cina. Lalu entah sebagian lagi apa dengan warna ungu tua.
Lama sekali sepertinya aku tidak mampir ke sini dengan kesempatan mengamati rumah keluarga kami. Sekali waktu dulu hanya untuk menghindari temu dengan Ali. Beberapa selang kemudian untuk memperingati seratus hari kepergian Giandra yang bahkan tak pernah merasakan kususui langsung. Ada sesak yang menyusup. Kutarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan secara perlahan sebagai upaya penyelamatan pada diri sendiri sebelum kenangan penuh luka itu mengambil alih terlampau jauh.
Aku baru beranjak setapak ketika teralis besi yang dipasang melapisi pintu kayu itu terdengar dibuka. Benar saja, Mama berdiri dalam balutan daster motif kembang-kembang. Senyumnya rekah serupa bunga-bunga mawar yang tumbuh di halaman rumah kami itu. Kususuli ia di ambang pintu selepas meletakkan sepatu di rak dekat kursi kayu.
"Mama tadi dengar suara mobil tapi ditunggu-tunggu kok nggak ada yang ketuk pintu, jadi keluar duluan deh," beritahu Mama ketika aku menyalami tangannya.
Aku mengangguk. "Lily rapi-rapi dulu tadi, agak berantakan abis dari puskesmas."
"Yuk masuk. Kita makan siang dulu, Acil sudah masak mie kuning kesukaan kamu. Kalau mau nasi, ada sup ikan jelawat juga."
Kuekori Mama menuju dapur rumah kami. Persis seperti anak kecil baru pulang sekolah di hari Jumat siang sedang mengiringi ibunya untuk makan karena kelaparan belajar setengah hari. Meski siapapun tahu, terkadang hari Jumat, pelajaran yang diberi tidaklah terlampau memberati. Biasanya diisi dengan pelaran keagamaan. Tetap saja pulang cepat disambut aneka lauk pauk makan siang yang masih tersaji panas di meja makan itu menyenangkan. Aku juga ternyata. Meski bilangan usia telah banyak beranjak di almanak. Meski sudah pernah menjadi ibu bagi seorang anak.
***
Segala yang tersaji telah ditata pada meja makan berbentuk persegi panjang dengan empat kursi berbahan kayu. Meja makan lama berwarna cokelat tua nyaris hitam. Ada piring panjang dengan dua ekor ikan jelawat tak seberapa besar dikerat melintang lalu diberi taburan daun bawang, seledri, belimbing wuluh serta cabai merah dan hijau besar yang dirajang sembarang. Aku memilih mie kuning yang dimasak tanpa kuah dengan tambahan sawi hijau dan kol saja. Setelah disaji baru diberi tambahan suiran ayam, potongan telur rebus, dan taburan bawang merah goreng.
"Mau pakai limau kuit kah?" tawar Mama seraya menyodorkan sebuah piring kaca kecil dengan potongan jeruk purut di atasnya.
"Boleh, Ma."
Kuambil sepotong jeruk purut dari piring itu lalu membubuhkannya ke sepiring mie kuning masakkan acil. Mengaduk rata lalu menyuap dengan perlahan. Rasanya masih sama. Gurih, asam, dan sedikit pedas dari sambal cair yang dibuat Acil secara terpisah. Rasanya yang kukenali sejak masih anak-anak.
"Nikmat banget kayaknya sampai tutup mata begitu," komentar Mama kuhadiahi tawa.
"Banget, susah nyari yang jual begini, Ma. Rasanya sederhana, khas rumahan, nggak ditambah macam-macam."
Mama mengangguk setuju. "Nah kalau sup ikan jelawat ini Mama yang masak, cobain, Ly."
Mama menyuapkan ikan jelawat yang tersembunyi di balik nasi. Sulit dipahami, tetapi mataku terasa hangat begitu tangan yang mulai mengeriput itu masuk mulut. Kunyahanku terasa berat dan lama. Bukan. Bukan sup jelawat buatan mama tidak enak. Ini enak sekali. Hanya rasanya, ada rindu yang menyertai bersamaan dengan sesuap nasi dan potongan ikan berwarna putih bersih ini.
"Kamu ternyata masih suka ikan jelawat ya, Ly?" celutuk Mama ringan begitu sadar suapan demi suapannya membuat nasi tersisa dua per tiga piring belaka. Wajahnya tampak puas dan bahagia.