Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #40

Sebuah Perjalanan Memaafkan

Segala sesuatu yang diputuskan dengan sadar itu mesti dipertanggungjawabkan. Meski kemudian segala sesuatunya tidak sesuai yang diharapkan atau bayangkan, komitmen itu bentuk tanggung jawab yang harus dipegang.

---

Ali Nata Negara

 

Mesin alkon dimatikan, perahu kayu itu berhenti sebelum matahari tergelincir jauh ditelan rawa Daha yang mengaliri seluruh ruas-ruas Nagara. Kilaunya memantulkan cahaya dengan kentara. Lily sampai menurunkan topi purun-nya hingga nyaris menenggelamkan kepala. Sementara aku merapatkan kacamata hitam yang bertengger sejak perahu kayu bermesin tempel ini meninggalkan dermaga di belakang masjid jami desa Paharangan.

"Eh, basah!" pekik Lily saat lenguh penghuni rawa berkulit hitam legam itu melenguh panjang di sebelah kami usai menandaskan rumput-rumput yang mengapung. Ia tampak puas. Seperti bersendawa kekenyangan oleh hidangan puntup hari.

Aku terkekeh kecil di belakang Lily. Juga para gembala yang kemudian menghalau kerbau albino itu menuju kawanan lainnya. Kerbau yang nakal. Sadar dirinya berbeda, rada istimewa, cari perhatian pula lakunya.

"Ada rasa daging kerbau nggak airnya tadi?" godaku berhasil membuat Lily mencebikkan bibir.

"Dipikir kaldu kayaknya ya," sungut Lily kutertawai. "Himungnya sidin lah maliat urang batampungas wan liur hadangan[1]."

"Tampung tawar pang mindanya pian[2], sambutan selamat datang," koreksiku semakin membuat Lily dongkol tetapi sesaat belaka. Ia sudah kembali memalingkan pandang pada sekawanan kerbau yang kulitnya demikian mengkilap ditimpa matahari sore.

"Seumur-umur aku baru tahu kalau kerbau bisa berenang," celutuk Lily memecah buih kediaman kami. "Aku kira kakinya napak di dasar rawa, ternyata beneran mengapung. Padahal dia kan hewan darat ya?"

"Inget pelajaran adaptasi hewan dan tumbuhan nggak?"

Lily membalikkan pandang. Ia tampak menunggu aku meneruskan penjelasan. Agak terbalik sebenarnya. Kupikir ia lebih banyak berkutat dengan pelajaran ilmu pengetahuan alam sedari sekolah dasar hingga berkuliah di kedokteran. Akan tetapi sorot mata sebening rawa itu menyihirku, menanti jawaban atas seluruh tanya yang telanjur menyala dalam kepalanya.

"Hewan dan tumbuhan itu berubah dari perilaku sampai bentuk fisiknya, menyesuaikan tempat ia berada. Kegagalan adaptasi akan membuat mereka punah. Misal jerapah, dulu katanya ada yang berleher pendek dan panjang. Leher pendek terkena seleksi alam, mereka gagal bertahan karena bahan makanannya sulit dijangkau. Kerbau di Nagara juga begitu, menanti makanan datang tanpa usaha apa-apa pada akhirnya bisa membuat mereka mati kelaparan. Pada musim pasang, rumput mengapung, mereka mesti berenang untuk dapat makanan."

"Menyesuaikan diri," ulang Lily beberapa kali. Ia tampak tertarik dengan kosa kata itu. "Persis seperti orang-orang di Nagara juga kayaknya. Musim pasang jadi nelayan air tawar, musim kemarau berkebun terong, tomat, dan semangka." 

"Manusia dan alam, dua entitas berbeda, baru bisa selaras dan berdampingan kalau masing-masing mau saling beradaptasi."

"Kita termasuk yang gagal beradaptasi berarti ya?" cetus Lily tiba-tiba.

Aku tidak siap memberi jawaban apa-apa. Ludahku sepat. Bibirku kelu. Hingga teriakan lantang para gembala menghalau kawanan kerbau menuju kandang, sebaris tanya yang Lily utarakan belum mampu kuberi sahutan. Tanya itu tidak lesap. Ia masih mengapung-apung dalam kepalaku. Mengisi sela-sela kemelut yang masih serupa benang kusut.

Mesin alkon menyala, perahu kayu bergerak mengekori kawanan kerbau yang digembala menuju kandang tempat peristirahatannya. Pukul lima senja. Matahari bulat sempurna terpantul di permukaan rawa yang nyaris tiada berbatas dengan langit sewarna kasturi matang. Pemandangan yang menyihir. Pertanyaan yang multitafsir.

***

Seratus dua puluh satu pasang kaki yang perlahan menapaki tangga papan ulin landai di samping pondok gembala. Ketipaknya terdengar serempak. Satu-satu silih berganti. Tiada yang menerabas antrean menuju peristirahatan sebelum petang berubah malam. Beberapa bahkan ada yang curi-curi kesempatan merumput lagi barang satu atau dua kunyahan. Gembala yang sabar menghalau tubuh-tubuh liat itu dengan ujung galah mereka. Para kerbau naik. Ada yang sukarela, ada pula yang masih tampak lapar selalu meski telah mengunyah banyak rumput itu.

Aku dan Lily mengamati laku para penguasa rawa dari bangku panjang yang terpasang di teras pondok gembala. Sepiring ubi jalar rebus tersaji bersama secangkir kopi dan teh panas. Kerbau yang lenguhnya menciprati Lily tadi masih asyik menguyah rumput di bawah. Sementara beberapa kerbau betina lainnya ada yang sudah mulai menyusui anaknya.

"Kata gembalanya kerbau-kerbau ini mirip pegawai kantoran sebenarnya," ucapku usai meletakkan cangkir kopi yang baru selesai disesap. Asapnya masih mengudara dengan kentara membuatku tak bisa menenggak banyak-banyak. Rawan membuat lidah melepuh dan hilang rasa.

"Kenapa begitu?" ulik Lily.

"Mereka turun merumput pukul sembilan pagi, kembali ke kandang pukul lima petang. Tepat waktu. Nyaris nggak ada yang lebih lama." 

"Mereka nggak pernah berpikir jenuh atau bosan apa ya tiap hari menjalani rutinitas yang sama?"

"Kupikir sih nggak. Bukan karena cuma daerah ini yang mereka kenali, tapi karena komitmen mereka dengan hidup. Mereka nggak bisa memilih terlahir sebagai apa atau ditempatkan di mana? Satu-satunya pilihan yang mereka punya kan cuma menjalani yang ada supaya bisa bertahan."

Lihat selengkapnya