Dua Kuda di Komidi Putar

mirandaseftiana
Chapter #41

Sepiring Soto Selepas Hujan

Rasanya nyaman dan aman saat tahu kamu diterima, dipedulikan, disayangi apa adanya sebagai manusia seutuhnya.

---

Ali Nata Negara

 

Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Moch. Ansari Saleh. Aku memandangi gedung bercat hijau lumut yang tersamarkan oleh derai hujan petang jelang azan Ashar berkumandang. Jariku mengetuk ragu pada stir mobil milik Lily, memperhitungkan jarak antara parkiran dengan pelataran rumah sakit untuk setidaknya membuat seragamku aman dari potensi basah kuyup. Sia-sia belaka nampaknya pabila mempertimbangkan jarak yang tak dapat dihitung hanya lima sepuluh langkah.

Barangkali melepas seragam lalu menjadikannya tameng sesaat dalam menghalau hujan adalah pertimbangan yang mendingan daripada berlari lintang pukang tanpa perhitungan kemudian terpeleset di salah satu anak tangga lobby rumah sakit, sementara berpuluh pasang mata menyaksikan pertunjukan sirkus seorang polisi yang demikian badut ini. Aku menggeleng kuat, menyadari betapa bodohnya hari ini, lupa mengembalikan payung ke mobil setelah dipakai Lily menerobos hujan tadi malam demi menemui tukang mie tek-tek yang berkeliling komplek perumahan kami. 

Sayang, sudah di mana?

Pesan di ponsel yang hendak kumasukkan ke saku celana segera mendistraksi. Terlalu lama jika mesti mengetik pesan balasan untuk menjelaskan keberadaanku sekarang. Lekas kudial nomer Lily yang kini kontaknya berubah nama. My +1 Lengkap dengan simbol hati di ujungnya. 

"Assalamualaikum." Aku membuka percakapan dengan salam sebelum istriku itu merepet panjang karena suaminya terlambat menjemput satu setengah jam dari perhitungan. Janjiku sudah ada 30 menit sebelum ia lepas dinas di pukul tiga petang. 

"Walaikumussalam. Jangan bilang kamu masih di Polresta ya?" sahutnya disertai tudingan. 

"Eh ..." 

"Sayang ah ... 'kan tadi janjinya mau Asharan dulu di sini," rajuknya tanpa memberi kesempatanku bicara. 

"Ibunya Giandra yang baik, ini Ayahnya Giandra boleh dikasih kesempatan jawab dulu?" bujukku berbalas tawa. "Aku sudah di parkiran, Sayang, ini lagi mikir gimana caranya nerabas hujan buat sampai ke lobby RS tanpa basah kuyup." 

"Payung kita mana?" 

"Ketinggalan di rumah, lupa lipat dan masukin mobil abis dipakai ibu bhayangkari beli bakso tadi malam," sindirku usil. 

"Duh dosa bersama ini namanya," celutuk Lily ringan. Aku tergelak. Tidak mengelak. "Aku susul ke parkiran deh ya, bawa payung ruang penyakit dalam. Nanti izin pinjam." 

Telepon ditutup dan Lily datang sepuluh menit kemudian. Ia membawa payung berukuran raksasa nyaris serupa milik paman pentol di ujung pagar sana. Cengirannya terasa khas meski samar oleh derai hujan yang turun di kaca mobil. Lekas aku keluar, menutup pintu secepatnya mencegah air hujan masuk ke dalam. Kuambil alih payung darinya sebab tinggi kami yang tidak setara, pegal leherku kalau harus mengikuti batas ketinggian payung berdasarkan pegangan Lily. 

"Kamu lagi romantis apa ngeledek ya garcep banget ambil payung begini?" tanya Lily begitu aku menguncupkan payung di pelataran RS. 

"Ckckck ... suudzon bener sama suaminya." 

"Mengonfirmasi," elaknya kemudian. 

"Realistis, Sayang," kilahku membuat Lily menggelengkan kepala. 

Azan Ashar menyelamatkan kami dari debat yang lebih panjang. Lily dan aku sama-sama mempercepat langkah menuju selasar yang mengarah ke masjid. Sebuah masjid cukup megah untuk berada di tengah-tengah bangunan rumah sakit ini. Letaknya persis di selasar yang memisahkan bangunan rawat jalan dan taman. Masjid yang berdiri dua lantai dengan bagian bawah berfungsi khusus sebagai tempat wudhu, mandi bagi para keluarga pasien, serta bilik-bilik istirahat yang bisa digunakan para pasien rujukan untuk beristirahat sejenak. Terutama untuk pasien-pasien dari kabupaten kota. Itu yang diceritakan Lily kepadaku setelah enam bulan terakhir ia kembali memutuskan berdinas di rumah sakit ini sebagai ASN. RS yang pertama kali kuantar dirinya dulu setelah ditilang Bang Hendru. 

Kami berpisah di tangga lantai pertama. Ada dua tangga menuju dua pintu berbeda. Satu pintu untuk ke areal salat laki-laki. Satu pintu lagi untuk ke areal salat perempuan. Kali ini berpisah jalan dengan Lily terasa tidak mengkhawatirkan sebab kami sadar satu tujuan. Sesuatu yang membuat pernikahan kami nyaris kandas di awal memulai perjalanan, sebab tidak memiliki tujuan dan arah yang sama. Tidak juga jelas mau ke mana sebenarnya selain keyakinan semu belaka bahwa cintaku berbalas padanya. 

"Li, ngelamun?" tegur Lily dari jarak tak seberapa jauh dariku. Sebelum ia benar-benar melangkah ke anak tangga pertama. "Hati-hati membuka pintu masuk buat syaitan." 

"Astaghfirullah," ucapku. "Harus kena air wudhu segera nih." 

Lily mengangguk. Ia hilang dari pandangan kemudian ditelan oleh pagar tangga yang menutup badan. Aku mengambil wudhu sebelum masuk ke shaf laki-laki. Mengenyahkan kenangan buruk yang mengusik perlahan. Bukan. Bukan aku menolak kenyataan, melainkan memberi diri kesadaran bahwa yang sedang kujalani adalah hari ini dengan segala kebaikan dan kenikmatan dari Allah. Kesadaran yang menuntunku dan Lily untuk memperbaiki hubungan bukan hanya terhadap kami berdua melainkan ke Allah juga. Sebab kami sepenuh paham, tiada yang bisa menjaga Giandra di surga selain Allah saja. Dia yang bisa menyampaikan rindu kami pada Giandra melalui doa.

 

***

Hujan masih menyisakan rintik yang turun satu per satu. Tidak terlalu lebat tetapi cukup membuat bajumu basah jika berjalan tanpa payung di bawah. Konsekuensi lain dari gerimis macam ini adalah lalu lintas kota Banjarmasin yang lumayan padat seperti sekarang. Perlu dua kali lampu merah untuk mobil yang dikendarai bersama Lily bisa lepas dari padatnya kendaraan menuju sebuah warung makan dekat stadion sepak bola. 

"Jangan ikutan klakson, berasa berisiknya kalau kamu sahut-sahutan," kata Lily memperingatkan lengkap dengan tepukan di lengan. Aku berdecak lalu tersenyum kecil. Lily dengan segala celutukannya belakangan ini memang hiburan tersendiri. "Haji Iyus juga baru buka warungnya selepas Ashar tadi." 

"Ya abis lama banget kendaraan di depan," balasku. 

"Sabar, Bapak Ali Nata Negara. Mereka bawa motor, kalau nggak pelan bisa terciprat air genangan dari lubang jalan itu." 

"Soto Banjar dengan fosil dinosaurus minim nggak papa ya ini kalau kita nyampe sana lama?" godaku menyebut tulang-belulang ayam yang biasanya Lily minta sertakan dalam sepiring soto miliknya. 

"Ikhlas aku daripada di akhirat dimintain malaikat tanggung jawab karena ada pengendara yang merasa terdzalimi gara-gara klakson mobil kita." 

Aku mengangguk. Mobil kembali melaju dengan kecepatan rata-rata menuju warung soto Haji Iyus yang tadi Lily sebutkan. Sebuah warung kecil yang terletak di antara toko meubel dan mini market. Warung berdinding papan yang catnya sudah mulai mengelupas di sana sini. Warung yang cuma punya empat bangku panjang saling berseberangan. Bukan tempat yang ideal memang, tetapi citarasa rumahan akan membuatmu memberi banyak permakluman pada warung soto Haji Iyus ini.

Kami tiba saat hujan tak seberapa reda. Masih ada rintik dan kabut yang tersisa. Aroma tanah basah menguar di udara, beradu dengan aroma sate ayam dan tulangan yang sedang dibakar pada tungku di depan warung Haji Iyus. Lily dan aku mempercepat langkah usai memarkirkan mobil di halaman mini market. Sudah biasa. Ada tukang parkir juga. 

Beberapa orang dengan helm dan jas hujan tidak dilepas juga mengantre. Mereka memilih memesan soto take away, dimakan di rumah bersama keluarga barangkali. Haji Iyus memang terhitung murah hati. Porsi kuah di sini kalau dibungkus memang cukup untuk makan berdua. Tinggal tambah nasi sendiri. Irisan telur rebus dan suiran ayamnya juga cukup banyak dengan harga yang ramah sekali. 

"Kamu duduk duluan deh, aku aja yang pesan. Pakai lontong kayak biasa 'kan?" titah Lily kuangguki. 

Ia mengantre di samping etalase kaca yang tinggi. Jauh melampaui kepala Haji Iyus dan istri yang sibuk meracik pesanan pembeli. Beberapa tentu sudah langganan seperti kami sehingga tidak banyak permintaan yang mereka lontarkan. Seperti sudah saling sepaham apa yang akan dipesan. Tangan Haji Iyus demikian cekatan menuangkan kuah dan membungkus pesanan, sementara istrinya juga meracik isian soto, nasi sop, atau gado-gado. Tiga menu yang tersedia di sini. Di luar sate ayam dan tulangan yang sedang dibakar oleh salah seorang pegawai mereka.

Lihat selengkapnya