DUA MUSAFIR: Dialog

Arthur William R
Chapter #10

BAB 9

Idris, siapa sebenarnya dirimu?" 

Idris terlihat bingung dengan pertanyaanku. "Aku bukan siapa-siapa," jawabnya.

"Aku tidak mencurigaimu, hanya saja dirimu selalu membawa keberuntungan. Mulai dari selendang yang bisa membuat tubuhku sejuk, lalu ada air bersih, dan tebakanmu tentang masalah yang dihadapi Romeo. Semua itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan, kan? Dan sekarang, kau disambut baik oleh pemimpin di kota itu. Apa rahasiamu?"

"Tak ada! Aku hanyalah orang tua yang mungkin saja memiliki banyak pengalaman darimu, dan kamu hanya perlu terus belajar dan belajar. Soal tongkat itu..."

"Nah, itu dia," potongku. "Bagaimana caranya dirimu bisa membaca pikiranku?"

"Ya, soal tongkat itu aku sebenarnya tidak pernah membaca pikiranmu. Aku hanya mengetahui jika kakimu sedang bermasalah, maka pilihan terbaik adalah dengan bertumpu pada sebuah tongkat. Aku pernah melihat orang-orang yang juga mengalami hal yang sama sepertimu, dan tentu saja aku sendiri pernah mengalaminya. Tapi itu dulu, saat aku masih muda sepertimu."

"Apa rasanya berpuasa terus menerus?"

"Sungguh nikmat! Awal-awal kamu pasti belum terbiasa karena tidak makan dari pagi sampai sore hari. Tapi lambat laun dirimu pasti akan beradaptasi. Sekarang, coba bayangkan, jika setiap pria dewasa melakukan puasa, maka mereka bisa berhemat uang belanja. Mereka tidak perlu makan sehari tiga kali, dan lambat laun lambung mereka akan terbiasa dengan porsi makanan yang sedikit yang masuk ke perutnya.

"Di jaman seperti ini, ketika banyak orang kesusahan serta kelaparan, ada baiknya mereka melakukan puasa. Dengan begitu, anak dan istri mereka akan mendapatkan jatah makan. Orang yang berpuasa tidak akan mati karenanya, berbeda dengan orang-orang yang menahan lapar, mereka pasti akan merasakan kelaparan di siang hari, bahkan sebelum siang hari. Kamu lihat aku tak pernah makan di waktu subuh, kan, tetapi aku masih bisa berdiri sampai sore hari. Itulah kehebatan puasa dengan berniat.

"Nah, sekarang, bayangkan saja dahulu. Aku mengharapkan jika setiap pria di bumi ini akan melakukan puasa. Untuk bertahan diri dari kemiskinan, tentu saja. Kamu tahu, kan jika banyak rumah tangga yang tidak mampu bertahan jika perut mereka dalam keadaan lapar?! Coba saja jika salah satu dari mereka, atau kedua orang tuanya melakukan puasa. Maka anak merekalah yang akan mendapatkan jatah makan. Meskipun kita tahu jika kemiskinan tetap akan menghantui mereka."

"Apa benar begitu? Aku memang pernah melihat orang-orang yang berpuasa, dan mereka bertahan sampai waktu berbuka. Tapi kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya. Ketimbang meributkan ingin makan apa hari ini dan besoknya, ada baiknya kita menahan diri dengan puasa seperti yang kau katakan itu. Cara seperti itu akan meringankan beban pikiran kita untuk tidak merasa was-was terhadap nasib diri sendiri. Tapi, mengapa manusia tidak bisa berpuasa terus menerus sepertimu?"

"Oscar, aku tidak tahu pasti soal itu. Mungkin saja manusia memiliki nafsu yang besar terhadap hal-hal duniawi. Ada kalanya orang-orang tidak bisa menahan keinginannya untuk terus mencoba. Bukan hal yang mudah untuk menahan diri dari segala sesuatu yang ada di depanmu. Berpuasa itu menahan diri, bukan hanya terhadap makan dan minum, tetapi juga dari segala keinginan duniawi dan segala macam emosi. Ketika aku masih belajar di suatu tempat, yang di mana para guru-guru selalu tekun mengajarkan ibadah kepada muridnya, kami melakukan puasa rutin. Kami melakukan puasa yang wajib maupun yang tidak diwajibkan. Itu bertujuan untuk melatih menahan diri dari segala nafsu. Tetapi, berapa banyak dari mereka yang lulus dan mencontohkan puasa di dalam rumah mereka? Aku tidak tahu pasti.

"Jika saja anak-anak itu mencontohkan atau membujuk orang tuanya untuk berpuasa, mungkin lambat laun mereka tak akan merasa kekurangan apapun. Hal ini sama seperti ketika kita membuat suatu prinsip dalam hidup. Ada yang mengatakan seperti ini: 'aku tidak perlu memikirkan masalah esok hari, karena hari esok sudah ada takdirnya sendiri.' atau juga perkataan lainnya yang serupa. Begitulah kira-kira, Oscar!"

Saat Idris selesai bicara, kami ternyata telah sampai di depan gerbang kota Eastern Rock. Ini benar-benar terlihat seperti gerbang dari benteng kerajaan kuno, aku jadi penasaran bagaimana keadaan di dalamnya. Kami mengarah ke sebuah jalan kecil sekarang, yang mana di depan sana terlihat ada sebuah rumah yang megah.

"Idris, mungkin suatu hari aku akan mencoba untuk berpuasa. Jadi, tolong ajari aku," kataku yang hendak turun dari mobil.

Kami berdua di sambut oleh Presiden itu sendiri. Ya, aku mengenali wajahnya saat berpidato di festival waktu itu. Dia menyalamiku dengan gembira dan mempersilahkan kami untuk masuk. Rumah ini terlihat seperti istana kecil, atau istilahnya seperti Chateau dengan taman berukuran sedang di depannya. Ukiran-ukiran patung dan juga lukisan terdapat di dalamnya saat kami telah masuk. Ruangan di sini sangat megah dan didominasi dengan warna krem. Di langit-langitnya terdapat lukisan malaikat yang sedang terbang, lalu kaca-kaca di sini menggunakan kaca berwarna seperti pada sebuah gereja dengan gambar-gambar para kesatria berpedangnya.

"Aku senang kalian menyempatkan diri untuk mampir kemari," kata Presiden itu. "Pamanmu ini telah menyelamatkan anak perempuanku."

Paman? Maksudnya Idris? Lalu, menyelamatkan apa?

"Maksudnya, anakmu dalam bahaya? Dari apa kalau boleh tahu?"

"Saat itu anakku sedang bermain-main dengan seekor ular berbisa, dan tak sengaja tergigit olehnya. Tangan anakku akhirnya biru dan lama-kelamaan terkulai lemas. Kami sudah mencoba beberapa obat, hanya saja sakit anakku tambah menjadi. Dia akhirnya terserang demam hebat hingga meracau tak jelas. Sampai suatu hari, ada orang tua yang datang kemari dan menawarkan bantuannya. Dan dia adalah pamanmu ini."

Begitu, ternyata Idris melakukan sesuatu yang tak terduga. Tapi bagaimana cara dia menyembuhkan anak itu?

"Obat apa yang dipakai?" tanyaku kepada mereka berdua.

Lihat selengkapnya