"kami berterimakasih atas bantuan yang telah kalian berikan. Kalian semua merupakan para pendatang tetapi memiliki keberanian yang sangat tinggi. Sebagai imbalannya, saya akan memberikan penghargaan bintang jasa untuk kalian bertiga."
Itu merupakan sambutan yang baik dari seorang jendral bintang lima dan juga merupakan pemimpin kota ini. Satu-persatu dari kami diberikan sebuah penghargaan dan sambutan hangat, tidak lupa juga ucapan terima kasih yang mengalir terus menerus tanpa henti, dan Idris di sini telah menjadi tokoh utamanya. Ya, kami telah terbebas dari para pemberontak itu. Sangat sulit bagi kami untuk bisa berjalan dengan membawa kereta di atas jalan yang tidak rata. Aku juga tidak akan menceritakan detail kejadian tersebut, mengenai bagaimana kami dapat melalui peperangan itu dan bagaimana takutnya diriku ketika mendengar suara tembakan dari arah dekat. Bukan karena pelit, hanya saja aku tak ingin lagi mengingat hal-hal konyol yang terjadi pada diriku saat itu.
Pertempuran seperti itu sebenarnya merupakan hal biasa, kami bertiga dengan dikawal oleh beberapa tentara berhasil melintasi medan yang rumit. Aku sangat bersyukur meskipun harus berjalan lebih jauh lagi untuk bisa sampai ke pusat kota.
Dari kabar yang kudengar, para pemberontak didanai oleh orang-orang asing yang hendak merebut sebagian wilayah mereka. Lalu ada juga rumor tentang senjata yang dipakai oleh musuh yang merupakan hasil dari selundupan, dan ada salah satu pengkhianat yang mendanainya. Suatu kejadian biasa yang terjadi di atas wilayah yang luas dan kaya. Memang, sepintas kita hanya melihat desa terpencil dan jalan yang buruk, tetapi tempat itu memiliki tambang emas yang kaya dan belum lagi dikeruk isinya. Kota ini belum memiliki alat canggih yang dapat mengolah emas mentah, jadilah emas-emas itu tetap dibiarkan tidak disentuh agar tidak merusak alam sekitarnya.
Masalahnya, ada saja orang luar yang hendak ikut campur terhadap negara mereka. Penghasutan dan pengambilalihan wilayah, lalu pada akhirnya mereka hanya akan dikuras habis alamnya tanpa menghiraukan masyarakatnya. Sering terjadi hal-hal seperti ini. Dahulu kala ada perang Boer di Afrika, lalu ada isu minyak bumi di Timur Tengah, dan juga penjajahan rempah-rempah oleh bangsa Eropa. Semuanya tertulis di buku sejarah dengan lengkap, bahkan mungkin ada banyak sejarah yang belum diketahui dan belum ditulis di dalam buku.
"Tetapi, sebagian dari peristiwa itu telah membawa takdir bagi negara yang terjajah tersebut," kata Idris yang menimpali keherananku.
Kami memutuskan untuk tidak tinggal lama di kota ini, hanya dua hari lebih tepatnya. Dehan juga mendapatkan pembeli secara dadakan, dan itu membuat uangnya bertambah. Walaupun sebenarnya uang itu merupakan ganti dari manisan yang terpakai untuk makanan kudanya, ditambah lagi dirinya harus membeli makanan khusus bagi kuda-kuda itu.
"Yah, apa boleh buat, kuda-kudaku juga adalah bagian dari asetku," keluhnya kepadaku.
Pagi yang cerah dan berawan mengiringi kepergian kami dari kota ini. Aku juga bersyukur karena tak ada satupun yang kehilangan setelah melewatkan kejadian yang sulit. Dalam perjalanan, Idris selalu bercerita mengenai perburuan malamnya bersama sang kapten, dia berbicara tak henti-hentinya dan begitu bersemangat. Sementara Dehan masih menyesali dirinya yang harus tertembak dan mengakibatkan kakinya pincang. Walaupun dia sendiri juga membanggakan keikutsertaannya untuk bertempur, selalu saja dia katakan sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Aku tidak tahu pengalaman yang bagaimana, yang kutahu hanyalah Dehan mempunyai pengalaman terkena tembakan untuk pertama kalinya. Tapi biarkan saja kedua orang tua ini merasakan kebahagiaannya.
"Apa kakinya akan kembali normal?" tanyaku.
"Tak usah khawatir," kata Idris. "Kakinya akan sembuh dan Dehan akan berjalan normal kembali."
Syukurlah kalau begitu, batinku. Dalam perjalanan, berkali-kali aku selalu bertanya tentang pohon-pohon di bukit berbatu itu. Apakah ada banyak pohon? Atau, apakah ada yang mengurusnya hingga pohon-pohon itu masih bisa bertahan di cuaca yang panas? Apakah masih jauh? Apakah kita bisa sampai dengan cepat? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tidak begitu penting. Tapi Dehan dengan sabar menjawab semua pertanyaanku.
Aku hanya senang akhirnya kami dapat berjalan kembali. Tapi kali ini akulah yang menuntun Idris ke arah jalanku, entah dia suka atau tidak, tapi rasanya Idris sendiri terlihat tidak keberatan. Dia masih tetap bersantai di antara tumpukan kain tanpa bicara apapun, terkadang aku melihat wajahnya sedikit jemu akibat lamanya perjalanan dengan kereta. Idris lebih suka berjalan kaki, dia mengucapkannya suatu hari kepada kami. Aku paham, Idris memang orang tua yang kuat menghadapi segala rintangan. Hanya satu yang aku belum tahu, yaitu tentang masa lalunya. Siapa dia dan darimana dia berasal masih belum jelas. Pernah aku mencoba untuk bertanya, tapi Idris selalu menolak untuk menjawab pertanyaanku. Dia selalu berusaha mengalihkan pembicaraan, lalu pada akhirnya dia sendiri tidak akan membuka suara lagi. Pernah ketika dia sedang tak ingin membahas sesuatu hal, lantas Idris mengeluarkan kantung berukuran kecil yang disimpan di dalam sabuknya. Itu adalah biji zaitun dan biji kurma, katanya. Dia menunjukkan isinya kepada kami, masing-masing ada tiga buah biji dari dua jenis buah itu.
"Aku menyempatkan diri untuk menanam biji-bijian ini di tempat-tempat yang minim tumbuhan," katanya. "Lalu aku akan meninggalkannya dan setelah bertahun-tahun, baru aku akan mengunjunginya lagi."
"Apa bisa tumbuh?" tanyaku. "Kau tidak merawat atau menyiramnya, kan?"
"Tentu saja bisa. Dengan kekuatan ajaib, aku bisa menumbuhkan biji-biji ini menjadi tunas hingga akhirnya menjadi pohon kehidupan. Aku berharap, buahnya dapat dikonsumsi oleh para musafir lain yang kebetulan singgah di sana."
"Sihir, maksudmu? Sama seperti yang kau praktekkan di hadapan Presiden itu?"
"Aku hanya mendoakannya saja, dan, simsalabim abrakadabra! Jadilah, maka jadilah atas seiziNnya!"
Entah Idris serius atau tidak dengan perkataannya itu, aku tidak tahu. Dia tertawa terbahak-bahak setelah mengucapkan itu semua. Atau mungkin ini salah satu leluconnya. Tapi aku lihat Dehan juga ikut tertawa, saat kutanya kenapa mereka tertawa, mereka semua tak mau menjelaskannya. Apa memang ada candaan bagi para musafir, sampai-sampai aku tidak mengetahuinya? Setelah melewati kejadian pemberontakan dan tembak-menembak itu, mereka sekarang jadi semakin akrab.
Ada jalan-jalan yang tidak kami lalui sesuai saran dari Idris. Kota mati, itu yang paling utama. Lalu jalanan beraspal pun juga tidak kami lintasi, alasannya karena jalan beraspal akan semakin panas di tengah panasnya cuaca, dan untungnya Dehan sendiri memiliki sebuah peta. Jika dipikir-pikir aku ini sebenarnya sembrono, melakukan perjalanan tanpa tujuan dan bekal yang cukup merupakan langkah yang nekat. Kalau aku tidak bertemu Idris dan Dehan, mungkin saja aku tidak akan bisa bertahan. Banyak orang yang mati ketika melintas di tengah gurun yang panas, dehidrasi tak akan bisa terhindarkan. Terlebih lagi jalan yang aku lalui adalah perbukitan dan bekas hutan atau cekungan-cekungan danau yang kering.
Suatu hari, kami melewati suatu tempat yang mempunyai banyak tumpukan sampah. Sampah-sampah itu sudah menjadi sebuah gunungan yang meninggi. Yang membuat aku tertarik melihatnya karena adanya rumah yang telah tertimbun di sana, masih terlihat ventilasi dari pintu rumah itu. Aku yakin jika rumah-rumah yang berjejer ini adalah milik para penyintas. Di masa lalu, banyak orang miskin yang tinggal dekat dengan tumpukan sampah ini, lalu ada sebuah longsoran yang menimbun rumah mereka. Mungkin yang terjadi pada mereka juga sama, atau sampah-sampah ini memang sengaja ditimbun di atas rumah mereka? Atau ada juga tumpukan sampah yang akhirnya meledak karena lama tertimbun, Ledakan yang terjadi karena gas metana (CH4) yang dihasilkan sampah organik bereaksi dengan udara. Saat ton demi ton sampah dibiarkan menggunung dan tidak mendapat paparan oksigen, metanogen muncul dan tersimpan di bawah permukaan sampah.