Badai yang sangat besar yang berlangsung pada malam hari, pagi ini telah berlalu begitu saja. Angin yang mengamuk telah memberikan kengerian tersendiri; kilat dan guntur rasanya seolah-olah hendak menghentikan detak jantungku. Idris dan aku sama-sama terjaga, kami berdua tidak bisa tidur karenanya, mungkin bisa saja atap rumah ini ikut hancur lalu menimpa kami yang sedang terlelap. Saat kami keluar, rumah-rumah di sekitar kami ternyata telah banyak yang rusak; atap-atap beterbangan, lalu ada sebagian puing rumah yang roboh karenanya, banyak pohon-pohon kering yang tumbang di kiri-kanan jalan, sayang sekali, pikirku. Pohon-pohon ini harus mengalami nasib yang buruk pada akhirnya.
Pagi ini kami mencoba untuk berjalan sejenak, mungkin sampai mendekati waktu siang hari, baru kami akan berhenti untuk beristirahat. Keputusan untuk singgah sementara terpaksa kami urungkan, alasannya agar aku tidak menyia-nyiakan banyak waktuku di sini.
"Angin yang datang semalam sangat buruk," kataku, yang memulai percakapan. "Aku berharap malam nanti angin itu tidak datang kembali."
Tapi Idris sendiri sepertinya tidak menghiraukan ucapanku, dan lebih menyarankan untuk memulai sarapan.
"Makanlah manisan milik Dehan itu," katanya. "Hari ini aku sedang tidak berpuasa, jadi, berikan aku beberapa."
Ya, barangkali dengan mengkonsumsi gula, bisa membuat tubuh kami kembali bersemangat. Kami berdua berjalan dengan cepat menyusuri sisa-sisa atap rumah yang hancur, yang tergeletak sampai ke tengah jalan. Badai semalam telah memberikan bencana yang besar, juga kerusakan yang sangat parah. Entah sudah berapa lama rumah-rumah ini ditinggalkan, bahkan mobil-mobil pribadi yang terparkir di garasi telah tertutup oleh debu, dan sekarang sebagiannya telah hancur tertimbun oleh reruntuhan. Wajah Idris sendiri menyiratkan ketidakpedulian terhadap pemandangan sekitarnya, lagi pula aku dan Idris memang tidak banyak bicara untuk saat ini. Setelah malam itu, entah kenapa perasaanku menjadi sedikit buruk, rasanya lemas di sekujur tubuh dan seolah-olah enggan untuk melangkahkan kaki.
Selain rintangan dari alam dan keadaan sekitar, aku juga mendapat cobaan dari temanku sendiri. Ya, aku dan Idris terpaksa harus berbeda pendapat mengenai jalan yang harus dilalui. Idris, dengan pendiriannya, ingin melewati jalan yang berbeda. Aku sendiri tetap memilih untuk mengikuti petunjuk dari peta ini. Tidak biasanya sebenarnya, aku dan Idris jarang sekali beradu argumen, tapi kali ini kami berdua sama-sama memilih untuk keras kepala, dan sedikit terjadi perdebatan. Apa penyebabnya aku sendiri tidak tahu, atau mungkin suasana hati yang buruklah yang telah menyebabkan kami tidak mau mengalah. Supaya perselisihan ini tidak menjadi semakin buruk, akhirnya kuputuskan saja untuk sadar diri karena usiaku lebih muda darinya. Aku mengalah, dan membiarkan Idris yang menuntun jalanku kembali.
Dari arah Utara, tiba-tiba aku harus berbelok untuk mengambil jalan ke arah Barat. Tapi sebelum kami melanjutkan perjalanan yang jauh, waktu siang hari ternyata lebih dulu menghampiri. Istirahat pun dimulai kembali sampai waktu malam tiba.
Saat itu, saat kami telah kembali berjalan di malam harinya, Idris memilih untuk masuk ke sebuah taman bermain. Tempat ini sudah terbengkalai dan terasa menyeramkan layaknya suasana pada film horor. Ada wajah badut raksasa yang sedang tersenyum di atas pintu gerbang masuknya. Sampah ada di mana-mana; rumput-rumput telah tumbuh subur di sepanjang jalan yang kami lewati, patung-patung terlihat seakan-akan monster yang tengah bersembunyi, warna cat mereka yang pudar dan sebagiannya mengelupas, serta ekspresi dan senyum mereka yang mengerikan, telah berhasil membuat seluruh tubuhku merinding; bunyi berdecit dari sebuah ayunan yang berkarat, yang tertiup oleh angin, juga telah menambah kesan mistisnya. Di samping tempat ini dulunya pastilah terdapat sebuah sungai, tapi sepertinya airnya sudah sangat menyusut dan menjadikannya kubangan lumpur yang besar, aku mengetahuinya karena bau yang menguar dari sungai ini, bau lumpur yang sangat menyengat. Ada perasaan ngeri jika harus melewati tempat-tempat seperti ini, seolah-olah ada berjuta pasang mata tersembunyi yang tengah mengawasi perjalananmu, meskipun aku sendiri tidak mempercayai mitos tentang hantu. Entah kenapa Idris mau melewati tempat suram seperti ini, bukankah dia pernah bilang, kalau akan selalu menghindari tempat-tempat yang memiliki bangunan?
Beruntung bagiku karena kami telah keluar dari taman ini dan menuju ke puncak bukit yang rendah, dari sana kami berdua bisa melihat pemandangan sebuah kota, entah masih ada penghuninya atau tidak, tapi Idris mengarah ke jalan tersebut. Aku menghentikannya sebentar untuk bertanya, sayangnya Idris sendiri malah memberikan alasan yang tidak berguna. Dia mengatakan kalau jalan tersebut kemungkinan jalan pintas yang terdekat. Apa yang diinginkannya aku sendiri tidak tahu, karena sekarang Idris telah melanggar peraturannya sendiri. Kota ini merupakan kota besar, banyak bangunan pencakar langit yang masih berdiri dengan gagahnya. Suasananya sama suramnya dengan taman bermain tadi.
"Kamu tahu apa yang bisa kita dapatkan di sini?" tanya Idris.
"Aku tidak tahu," kataku. "Kau yang mengajakku kemari."