DUA MUSAFIR: Dialog

Arthur William R
Chapter #3

BAB 2

Sudah tiga hari kami berjalan tak tentu arah dan jarang sekali berhenti. Dia benar, aku rasa-rasanya tak sanggup mengikuti langkahnya yang cepat dan tak kenal lelah itu. Aku tidak tahu tujuan orang ini secara pasti, dia hanya berjalan lurus tanpa ragu.

Kakiku sudah mulai sakit saat berjalan. Walaupun aku sudah terbiasa untuk berjalan atau memanjat tebing, hanya saja rasanya sungguh berbeda dengan berjalan kaki biasa. Mungkin ini pengaruh cuaca yang panas, serta sedikitnya waktu istirahat dan juga bekal yang kami makan.

Tapi berbeda dengan orang ini. Dia sedikit makan dan minum, juga sedikit tidur dan istirahat. Aku pernah bertanya, apakah dia tidak lelah? Dia menjawab tidak, dan tak ingin berhenti agar kakinya tidak merasa lelah. Aku mencoba untuk mengikuti perkataannya tetapi aku sendiri malah tidak sanggup.

"Hei, Idris!" Namanya Idris. "Bukan perjalanan semacam ini yang kuinginkan. Maksudku, kita lebih bisa menikmati setiap perjalanannya dengan santai."

"Aku sudah bilang padamu jika kamu pasti tidak akan sanggup. Sekarang, lihatlah dirimu, kamu kelelahan dan kesakitan!"

"Karena kita jarang berhenti dan istirahat lama. Lagi pula kau membawaku ke tengah tanah gersang."

"Jika kamu pergi ke kota, di zaman seperti ini, maka kamu akan menjadi sasaran perampokan atau korban mutilasi. Makanya aku tidak mencari kota."

"Tapi, tidakkah kita bisa duduk sejenak? Aku telah menyeret kakiku dan tidak lagi menggunakannya untuk berjalan secara normal."

Idris terpaksa berhenti. Dia melihat diriku yang kurus dengan wajah terbakar sinar matahari. Aku meringis menahan sakit dari kakiku yang sepertinya lecet, juga urat pada paha dan betisku yang mengencang.

"Baiklah, kita duduk sekarang," ucapnya.

Kami akhirnya duduk di tengah tanah yang luas ini. Tak ada apapun di sini, hanya tanah kering berwarna coklat muda.

"Kenapa kau tidak merasa lelah?" tanyaku.

"Karena aku belum merasakan lelah."

"Kau tidak lapar? Kau belum minum dan makan sejak aku bertemu denganmu."

"Aku berpuasa, dengan begitu aku tak perlu memikirkan makan lagi."

"Ini tidak logis, bagaimana kau masih sanggup berjalan dan terlihat tetap bugar?"

"Mungkin karena sudah terbiasa. Aku juga sebisa mungkin untuk tetap menikmati hidup dalam kondisi apapun. Tak ada sesuatu yang membuat pikiranku berat. Dan jangan pikir logis atau tidaknya. Semakin banyak keinginan, maka semakin berat beban pikiranmu. Jika kamu sudah terbiasa, maka tak ada lagi yang akan menghalangi dirimu. Sekalipun rasa lelah itu sendiri. Manusia bisa melampaui batas dirinya, juga melampaui batas pemikirannya. Sering-seringlah berlatih anak muda!"

Idris memberikan selendangnya untuk menutupi kepalaku. Kulit wajahku yang terasa terbakar, tiba-tiba saja terasa menjadi sejuk. Apa ada sesuatu di selendangnya?

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Idris sambil tersenyum.

"Sedikit lebih baik."

Lihat selengkapnya