Pagi hari ini kami memutuskan untuk tetap berada di rumah dua lantai ini. Idris berdiri di ambang pintu, dan bayangannya menutupi tubuhku.
"Aku sudah mengisi airmu lagi, Nak!" kata Idris.
Aku menggenggam botol minumku dan melihat isinya yang jernih.
"Darimana kau mendapatkan air segar ini? Bukankah ini rumah yang terbengkalai? Jadi pastilah tidak ada air yang mengalir dengan baik, atau jernih seperti ini."
"Ada baiknya untuk tidak bertanya mengenai hal-hal yang dirimu tidak ketahui. Ambil dan minum saja, setelah itu lupakan. Kamu harus ingat, Oscar, jangan membebani pikiranmu sendiri dengan sesuatu yang rumit. Nikmati saja dan syukuri."
"Sepertinya memang harus bertanya. Bagaimana jika air ini berbahaya dan kau mengambilnya ditempat yang salah? Bukankah bertanya itu adalah hal yang tepat?"
"Karena aku juga telah meminumnya, dan aku adalah orang yang pertama kali sebelum dirimu meminum air itu. Aku tidak mati, juga aku mengetahui di mana air itu berada."
"Baiklah! Aku bisa percaya padamu. Apa setelah ini kita akan pergi lagi?"
"Jika kamu memang sanggup untuk berjalan, maka aku tidak akan keberatan. Oh, ya, jangan harap aku akan menuntunmu, atau malah menggendongmu."
"Tenang saja, aku tidak akan merepotkan dirimu sampai sejauh itu."
Aku mencoba untuk berdiri, dan menggerakkan kakiku secara perlahan. Sangat kaku dan nyeri rasanya. Saat dipakai berjalan pun, aku malah terpincang-pincang. Kalau seperti ini rasanya aku butuh tongkat untuk menyangga tubuh sendiri.
Tapi belum apa-apa, Idris berbalik dan memberikan tongkat untukku. Dia berkata:
"Mungkin kamu butuh tongkat ini untuk berjalan." Dan dia pergi keluar lebih dulu setelah mengatakan itu.
Aku heran, apa orang ini memang bisa membaca pikiranku, atau dia sudah pernah mengalami sakit kaki seperti ini? Dan itu yang menyebabkan dirinya telah menyiapkan tongkat untukku. Apa pun itu aku merasa lega karena tak perlu bersusah payah untuk mencarinya sendiri.
Kami akhirnya melanjutkan perjalanan, sebisa mungkin aku tetap harus bergerak meski kakiku telah pincang sebelah. Kaki kiri lebih tepatnya. Belum lagi lecet pada telapaknya yang membuat lukanya menggelembung dan berair.
"Kali ini kita akan kemana?" aku mencoba bertanya.