DUA MUSAFIR: Dialog

Arthur William R
Chapter #6

BAB 5

Ini pertama kalinya aku kembali tidur di dalam rumah yang layak semenjak aku pergi meninggalkan kota. Kali ini aku tidak tidur di lantai yang dingin, melainkan kami tidur beralaskan kasur tipis. Bukan suatu masalah.

Akibat tidur yang terlalu pulas, aku sepertinya telah bangun kesiangan. Idris tak ada lagi disampingku. Jendela kamar ini telah dibuka. Ada rasa malu karena telah terlambat untuk bangun, jadi aku langsung bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci wajahku. Meskipun tubuh ini terasa seperti mau remuk, dan masih ingin melanjutkan tidur kembali.

Aku keluar dari kamar dan melihat Romeo yang tengah melamun. Dia tidak melihatku tetapi dia berseru kepadaku:

"Oscar! Makananmu sudah ada di meja. Aku juga minta maaf jika tak bisa memberimu makanan yang lebih baik."

Aku menyahut dengan perasaan tidak enak. Kebetulan sekali bahwa meja yang dimaksud itu adalah meja makan, dan letaknya di dekat kamar mandi. Ruangan makan ini terpisah dari ruang tamu yang hanya dihalangi oleh tirai kain berwarna merah muda. Aku jadi iseng membuka wadahnya. Aku melihat semacam roti yang teksturnya seperti pancake, atau mungkin ini memang pancake? Warnanya putih dan gurih. Di atasnya juga ada taburan gula pasir sebagai penambah rasa manis. Lumayan, aku suka!

Setelah mencuci muka dan makan, aku bertanya di mana temanku. Romeo bilang dia telah pergi lebih dulu, kemungkinan pagi-pagi sekali. Idris juga meninggalkan sepucuk surat, yang isinya seperti ini:

     "Aku pergi lebih dulu karena ada suatu urusan yang mendadak. Pesanku untuk kalian, bahwa tak perlu mengkhawatirkan diriku. Untuk Romeo, kamu akan dibantu oleh Oscar dalam menghadapi masalahmu. Jangan berkecil hati dan jangan lagi menjadi seorang pencuri. Temanku ada di sampingmu untuk membantumu setiap saat.

"Semalam, sebelum kami beranjak tidur, kami berdua telah memutuskan untuk membantumu semampunya. Oscar menawarkan diri untuk menolongmu dengan cara apapun, dan aku menyetujuinya. Kalau begitu aku bisa pergi untuk mengurus masalahku dengan tenang. Aku pamit! Dan kutitipkan Oscar kepadamu.


Salam!"


Itu adalah isi suratnya, dan aku tak bisa berpikir apa-apa lagi mengenai tindakan yang diambil oleh Idris. Apa maksudnya pergi secara diam-diam! Apa dia ingin menjebak kami dan tidak ingin mengurusi masalah ini bersama? Atau ini salah satu trik dirinya untuk lolos dari serangan penjahat? Dengan mengorbankan teman seperjalanannya?

Aku mematung beberapa saat menatap surat ini dengan rasa tak percaya. Kami bahkan belum memikirkan rencana apapun untuk membantu Romeo, lalu dia dengan mudahnya melimpahkan semua masalah ini kepadaku seorang. Aku kecewa sekaligus kesal dengan cara seperti ini. Ku Akui dirinya pintar, hanya saja tidak demikian caranya.

Lamunanku buyar ketika Romeo bertanya kepadaku.

"Jadi, rencana apa yang kau miliki, Anak Muda?"

Aku ingin membuat alasan lain, hanya saja diriku juga merasa tidak enak untuk mengatakannya. Wajah Romeo terlihat murung dan kantung matanya bengkak. Sepertinya dia habis menangis semalaman dan tak bisa tidur. Aku tidak tega melihatnya, mungkin juga ada baiknya untuk membantu Romeo sebisa mungkin. Kalau-kalau kami menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini.

Baiklah, mula-mula kita akan berjualan. Aku memikirkan ide ini karena kue pancake yang kumakan tadi. Romeo setuju dengan ideku, dan kami mulai melihat bahan-bahan yang ada untuk membuat kuenya. 

Nah, sayangnya kami tak lagi memiliki persediaan bahan bakunya. Kami perlu santan dan tepung beras. Hanya ada sedikit tepung, santan sudah tak ada lagi, sementara gula pasir hanya tersisa sedikit. Akhirnya kami berpikir lagi dikarenakan Romeo tak memiliki simpanan uang yang cukup untuk membeli bahan bakunya.

Aku juga berpikir untuk menjual barang berharga. Sayangnya Romeo tak memiliki barang seperti itu, dan ini yang memberatkan. Aku melihat ke arah tas yang kubawa, mungkinkah aku harus menjual pisau? Atau botol minum? Aku hanya membawa ransel berukuran sedang, sementara yang kubawa juga tak banyak. Bahkan aku hanya membawa baju sedikit tanpa membawa selimut.

Aku kepikiran soal jam tangan yang kupakai ini. Mungkinkah harus...

"Romeo," kataku. "Kita harus menjual sesuatu untuk mendapatkan modal. Dengan begitu kita bisa berjualan."

"Kau tahu aku tidak memiliki apapun, Oscar!" serunya.

"Masalah itu, kau tahu pepatah yang berbunyi, 'waktu adalah uang?'"

Romeo menggeleng, lalu aku melanjutkan. "Aku memiliki jam tangan dan kita bisa menjualnya."

"Lebih baik tidak usah, itu milikmu sendiri dan kau membutuhkannya dalam perjalananmu."

"Jangan hiraukan itu, aku bisa membelinya lagi suatu saat. Tidak ada jaminan bagiku untuk tetap selamat dalam perjalanan selanjutnya. Jika aku mati, jam ini hanya akan terkubur bersama jasadku."

"Kau membicarakan tentang kematian seolah-olah dirimu telah siap."

"Anggap saja begitu, Romeo. Kau tunggu di sini dan aku akan mencoba menjual jam tanganku ini. Jika kita tak bisa mulai berjualan hari ini, maka kita akan lakukan esok hari. Yang jelas, jam ini harus laku dahulu. Bagaimana?"

Lihat selengkapnya