Aku bergegas pulang untuk memberikan kabar jika jam milikku telah terjual. Aku juga merasa perlu untuk membelikan sebuah makanan untuk kami makan nanti. Untuk bahan belanja, aku akan serahkan uangnya kepada Romeo langsung. Biar dia saja yang memilih bahan-bahannya. Selama perjalanan bersama Idris, aku belum pernah lagi memakan daging hewan selain ikan mentah itu, mungkin ini bisa menambah tenagaku untuk esok hari.
Aku perlu protein dan juga makanan manis semacam kue coklat. Di sana ada yang menjual cupcake berukuran sedang. Aku beli dua buah, juga membeli ayam panggang yang diolesi dengan madu. Semakin mendekati waktu makan siang, maka semakin banyak rombongan para pendatang yang kemari. Sepertinya tempat ini benar-benar akan menjadi ramai dan sungguh menarik perhatian.
Aku membayangkan tentang tenda-tenda penjual dan segala macam aktivitas serta hiburan yang tersaji. Aku juga berharap malam harinya akan terlihat banyak lampu warna-warni. Semua pesanan kue telah selesai dan waktunya untuk kembali.
Romeo tengah tertidur di ruang tamu ketika aku masuk. Dia duduk di bangku sambil menyenderkan kepalanya ke dinding. Romeo pasti benar-benar lelah dan kurang tidur, pikirku. Aku beranjak ke dapur untuk menyiapkan makanan kami. Menaruhnya ke atas piring dan meletakkannya di meja ruang tamu. Aku tidak ingin membiarkan Romeo berjalan ke dapur, maka dari itu kubiarkan diri kami untuk makan di ruang tamu.
Aku menggerakkan dengkulnya perlahan supaya dia bangun, tapi tak ada respon. Kucoba lagi dengan gerakan yang agak kuat, dan itu membuat dia terkejut.
"Kau sudah pulang?" tanyanya setelah dia mulai tersadar sepenuhnya.
"Aku berhasil menjualnya kepada seorang pedagang yang datang dari tempat yang jauh. 130 Rupel," kataku.
"Apa itu harga yang sebanding dengan harga jam tanganmu?"
"Tentu saja tidak, lagi pula mana ada pembeli yang akan setuju jika aku menjual dengan harga yang mendekati harga sebenarnya."
"Lalu makanan ini?"
"Aku membelinya barusan. Kita butuh makan siang, kan? Nah, makanlah Romeo, kita perlu protein dan makanan manis untuk mengembalikan keceriaan kita."
Kami makan siang bersama. Mataku juga sambil mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di pasar ini. Menarik melihat kesibukan yang mereka lakukan, mungkinkah dunia di masa lalu seperti ini? Tak ada robot, tak ada hal-hal yang modern atau mesin yang melayani dengan kaku. Semua orang terlihat bercengkrama tanpa batasan. Ada seorang anak kecil yang bermain di tengah pasar bersama dua orang temannya sambil terkikik seru. Juga suara tangisan bayi yang sampai ke dalam rumah kami, dan telah menghilangkan rasa hening di meja ini.
Aroma manis bercampur bau amis dari ikan yang dijual menjadi aroma tersendiri bagi penciumanku. Aku memang pernah pergi ke luar tembok untuk membantu penyintas, hanya saja pemandangan seperti ini belum pernah kudapatkan. Aku lebih sering melihat suasana kumuh bagaikan di tengah-tengah korban perang atau bencana. Suara orang yang tengah melakukan transaksi atau candaan antar sesama pedagang sama sekali tidak pernah kudapatkan di luar tembok.
Ada memang, dan kotaku juga memiliki hal yang serupa seperti ini. Di sebuah perpustakaan yang terletak di bukit, dan menjadi Perpustakaan Nasional. Bangunan yang terbuat dari kaca dan dibentuk setengah lingkaran. Lalu ada koridor penghubung menuju sebuah pasar swalayan dengan nuansa Timur Tengah yang serupa. Banyak lampu-lampu, dan didominasi warna merah dengan hiasan lampu gantung bangsa Moor.
Yang membedakan dari pasar yang ada di depanku, hanyalah suasana naturalnya. Tidak ada orang-orang atau pedagang yang berbaur saling berdekatan, dan juga tidak sebising di tempat ini. Kalau saja aku juga membawa kameraku, pasti akan kuabadikan suasananya lalu kubagikan kepada teman-teman organisasiku.
"Romeo, mulai besok kita akan berjualan," kataku setelah menghabiskan sepotong cupcake. "Akan ada festival bazar di tempat ini, dan kita harus bisa mencari keuntungan yang besar."
"Apa akan laku dalam waktu yang sangat cepat? Bukankah dalam berdagang kita tidak bisa langsung mendapatkan keuntungan besar?"
"Itu pasti! Makanya aku akan mencoba menawarkan kue buatanmu sambil berkeliling pasar dan rumah-rumah. Aku baru mengetahui pasar ini saja dan belum mengetahui lokasi yang lain. Ada waktu lima hari bagi kita untuk bisa ikut mendirikan tenda. Kau tahu di mana para pendatang itu akan mendirikan tenda-tendanya?"
"Mereka selalu mendirikannya di luar tembok. Dari sini, kau bisa ke arah kanan dan menemukan pintu gerbang yang agak lebar, di sanalah tenda-tenda akan didirikan."
"Aku akan periksa itu nanti. Bagaimana dengan malam hari? Apakah akan ada lampu yang bersinar di sini?"
"Tentu! Akan ada lampu warna-warni yang akan menghiasi waktu malam. Biasanya akan ada para seniman yang akan menunjukkan kepandaiannya di pinggir jalan. Mereka itu terdapat di alun-alun kota, tidak jauh dari pasar ini. Yang jelas, akan banyak kegiatan hiburan nantinya."
"Aku bisa membayangkannya. Apa kau bisa bermain musik? Kalau saja aku membawa harmonikaku, mungkin aku akan ikut unjuk kebolehan," kataku sambil merapikan piring. "Romeo, hari ini kau bisa beristirahat! Aku ingin berkeliling lagi untuk melihat-lihat."
"Kau tidak ingin ditemani?"
"Tidak usah! Oh, ya, ini uangnya." Aku mengeluarkannya dari saku celanaku. Aku melanjutkan. "Masih tersisa 105 Rupel lagi, peganglah dan belanjakanlah bahan yang diperlukan. Sore nanti saja kau pergi, jangan siang ini."
"Aku mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya, Oscar!" katanya.
"Jangan berterima kasih dulu, keluargamu masih belum bisa dibebaskan. Perjuangan masih panjang, dan kita baru memulai."
Setelah mengatakan itu, aku kembali ke dapur untuk mencuci piring tersebut, dan setelahnya kembali keluar untuk melihat-lihat suasana kota ini.
***