Hari-hari yang kami lalui diisi dengan berjualan, bukan hal yang mudah menjajakan makanan di tengah keramaian pasar. Apalagi dengan banyaknya berbagai macam makanan di sini. Dua hari kami masih menyisakan banyak sekali yang belum terjual, kami juga terpaksa memakannya sendiri jika tak ingin terbuang sia-sia. Sementara aku terus berkeliling menjajakan kue di setiap sudut kota.
Aku tidak menyangka jika di tengah kota dan alun-alun ternyata sangatlah sepi. Pasar adalah pusat keramaian utama di sini. Sementara para pembeli terkadang merupakan penduduk dari luar kota atau orang-orang yang singgah dari perjalanan jauh.
Kami sekarang memasuki hari ke tiga. Terpikir olehku untuk menawarkan makanan ini kepada pedagang yang membeli jam tanganku. Barangkali dia suka, pikirku. Orang itu membeli satu, dan aku merasa bersyukur karenanya. Pedagang ini menjual alat-alat rumah tangga, sementara aku mencoba untuk menumpang di sampingnya. Sama saja, tak ada orang lain yang tertarik, dikarenakan lebih banyak pedagang yang lalu-lalang ketimbang pengunjung pasar. Mungkin hari kelima tempat ini baru akan ramai.
Aku lebih baik kembali, tetapi kali ini aku mencoba untuk mampir ke tenda milik saudagar itu. Dia ada di sana bersama dua robotnya. Awalnya aku agak malu, tetapi dia sepertinya melihatku dan memanggil diriku. Mau tak mau aku harus menghampirinya.
"Kalau tidak salah, kita ini belum berkenalan, kan?" katanya.
"Ya, aku rasa kita memang belum saling kenal. Kalau begitu, namaku Oscar!"
"Aku Dehan! Aku melihat kau membawa keranjang. Kau habis berbelanja?"
"Oh, ini, aku berjualan."
"Apa yang kau jual?" tanyanya dan sambil melayani seorang pembeli.
"Aku tidak tahu menyebutnya apa, tapi ini seperti pancake, atau yang semacam itu."
"Boleh aku coba? Berikan aku satu."
Aku menyiapkan satu kue di atas piring plastik dan menaburinya dengan gula pasir.
"Enak! Rasanya gurih dengan parutan kelapa. Sudah berapa hari berjualan?"
"Sudah tiga hari, dan sepi sekali pembeli," ujarku.
"Tidak mudah untuk berjualan jika baru pertama kali. Aku minta satu lagi," katanya.
"Bagaimana caranya kau bisa sesukses ini? Apa rahasianya?"
"Kerja keras, tentu saja. Bersabar, itu yang paling penting, dan aku memang hidup dari orang tua yang merupakan seorang pedagang. Jangan kau pikir jika baru memulai usaha bisa laris dengan cepat. Aku juga perlu waktu dan sedikit keberuntungan, jika bukan begitu, maka aku mungkin saja tidak berada di sini. Butuh waktu lama untuk bisa memiliki tenda sekaligus kemah seperti yang kau lihat ini. Aku memutar uangku dari penjualan hewan ternak dan nekat untuk berkeliling dari kota ke kota. Ada kerugian, dan itu pasti, tetapi aku tetap merasa senang karena memang inilah jalan hidupku. Berpetualang sambil berdagang."
"Kau beruntung," kataku tersenyum. "Di zaman seperti ini sangat susah sekali mencari kehidupan yang layak dan mendapat pekerjaan. Tak peduli kita telah memasuki masa modern atau belum, kita tetap akan berkutat pada kesulitan."