Walaupun kami terlihat unggul, tetapi itu bukanlah sebuah jaminan kalau kami akan menang dengan mudah. Terkadang, ada sesuatu yang datang tanpa diharapkan, dan itu terjadi tepat di depan mataku. Dehan yang ikut bertempur bersama tentara itu kini harus merasakan pedihnya peluru mereka. Ya, Dehan tertembak di bagian paha kanannya.
Para pemberontak terus berdatangan dan terus saja menembak secara membabi buta, hal seperti itulah yang membuat kami kewalahan menghadapinya. Senapan otomatis mereka memberondong formasi kami lalu membuyarkan setiap barisan bagaikan kerumunan semut, tidak sedikit dari tentara itu yang terlihat sedikit panik ketika mengetahui ada yang terkena peluru. Saat Dehan tertembak, Idris menoleh dan menopang tubuh teman kami. Aku yang memperhatikan dari kejauhan bergegas untuk menyusul mereka. Sebenarnya, ada rasa takut yang muncul di kepalaku saat melihat kejadian itu, bagaimana jika Idris juga ikut tertembak? Pikirku. Lalu satu persatu dari kami menyusul yang lainnya. Bagaimana jika ternyata kami ditawan oleh mereka? Apa mungkin aku akan melihat penyiksaan yang terjadi terhadap diri kami? Aku sebisa mungkin mencoba untuk menghalau semua pikiran buruk itu, dan bergerak dengan cepat untuk menolong Dehan. Beberapa robot juga ikut membantu menolong majikannya.
Dehan dibawa oleh kami menuju keretanya, sementara yang lain tetap menghalau pergerakan lawan agar kami bisa pergi dari sini. Entah apa yang akan terjadi jika kami semua mati di tempat ini. Para pemberontak itu sebenarnya terlihat sembrono dalam menggunakan senjata api, mereka menembakkan senjatanya tanpa arah yang dituju. Satu persatu dari para pemberontak itu terus maju menaiki bukit, dan teman-teman mereka di belakang terus saja menghujani kami dengan peluru. Tak ada pilihan lain selain mundur dan menyelamatkan diri.
Hanya Idris yang masih terlihat sangat teguh dan pasti dalam menghadapi mereka. Atau mungkin Idris juga memang seorang tentara? Dia terlihat sangat terlatih dalam membidik setiap musuh, malahan dirinyalah yang tetap terus berdiri tegak tanpa takut akan peluru lawan yang bisa membunuhnya. Lalu perasaanku tiba-tiba berubah menjadi lega. Dari belakang aku melihat ada bantuan yang datang untuk menolong kami, mereka itu merupakan pasukan yang kami temui dalam perjalanan kemari. Pasukan-pasukan muda itu bergerak sigap dalam membantu kami dan sebagiannya membantu temannya yang sedang berperang. Kami bergerak dengan cepat, sampai-sampai aku lupa jika Idris masih bertempur di sana. Aku tidak lagi menoleh kebelakang, karena di sini ada Dehan yang butuh pertolongan.
Saat kami berada di tempat yang aman, Dehan segera mendapatkan pengobatan terhadap lukanya. Jarak kami memang belumlah jauh dari tempat pertempuran itu, dikarenakan jalanan yang tidak rata maka lukanya harus segera diatasi. Gerakan yang menyentak akan membuat kaki Dehan merasakan sakit, maka aku juga memutuskan untuk naik menemaninya sambil menjaga kaki itu agar tidak bergerak secara berlebih. Dehan meringis kesakitan.
"Aku berharap aku tidak akan mati di sini," kata Dehan. "Ini semua salahku karena membawa kalian melintasi jalan terkutuk ini!"
Aku tidak berkata apa-apa, aku hanya memilih untuk mengeluarkan botol minumku dan menyodorkannya kepada Dehan. Dia meminumnya sedikit. Bibirnya terlihat pucat dan bergetar karena rasa sakit. Beberapa kali dia mengerjapkan mata dan menekannya dengan sangat lama.
"Aku menggigil..." ucapnya lagi.
Benar, tubuhnya lambat laun terasa dingin saat kupegang. Dehan meremas kain yang ada di dekatnya kuat-kuat untuk menghilangkan kegelisahannya, air matanya keluar karena menahan rasa sakit. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menenangkannya, sementara kami terus menjauh dari tempat kejadian.
***
"Bagaimana kabar temanmu?" tanya salah satu anggota pasukan itu.
"Dia sedang istirahat," kataku. "Sepertinya dia tidak akan kenapa-kenapa."
"Aku mewakili teman-teman yang lain ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena tragedi ini harus terjadi. Kami berharap temanmu itu bisa segera pulih."
"Terima kasih banyak!"
"Kalian sepertinya bukan penduduk di sini, ya? Aku tak pernah melihat wajah kalian."
"Benar, kami ini musafir, dan temanku yang terbaring itu adalah seorang pedagang. Kami sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat. Ngomong-ngomong, di mana temanku yang satunya lagi?"