Perlahan orang itu mulai menghampiriku, sementara aku masih sulit untuk bangkit dan merasa kalau kakiku telah terkilir. Aku hanya bersandar pada bebatuan di belakangku. Tas yang kubawa mulai kuraba-raba untuk mengeluarkan sebilah pisau, mungkin saja orang ini akan berpikir ulang untuk mendekat, tetapi kalau dia ini memang orang gila yang liar, maka ancaman yang kubuat juga tidak akan ada banyak gunanya, dan terpaksa aku harus melawannya juga. Sekalipun aku sendiri tidak mempunyai keberanian untuk membunuh orang lain bahkan hanya melukainya sedikit. Itulah kenapa aku selalu menghindari perkelahian sebisa mungkin dan mencoba untuk menjadi pribadi yang netral terhadap semua orang. Jika aku tidak suka atau tidak sesuai saat bergaul dengan orang lain, aku akan sebisa mungkin untuk menghindar dan mencari alasan yang baik. Barangkali ini yang membuat diriku tetap menjadi pria yang lemah, karena aku lebih memilih untuk berbaur dengan sesama orang lemah. Kadang kala, kemampuan seseorang bisa dikeluarkan sepenuhnya jika orang itu tengah bersama dengan orang yang memiliki kemampuan di bawahnya atau setara dengan dirinya. Akan tetapi, jika dia harus berbaur dengan kumpulan atau satu orang saja, yang kemampuannya di atas dirinya, maka dia sendiri tidak akan bisa berbuat banyak dan lebih terlihat seperti orang bodoh atau seorang pesuruh yang lugu.
Sekarang dia bertambah dekat, tatapannya benar-benar membuat mataku terganggu. Bukan karena ada sesuatu yang cacat, melainkan orang ini memandangku tanpa sekalipun berkedip, tatapan yang biasa digunakan untuk mengintimidasi orang lain. Sering kita merasakan terganggu dengan tatapan semacam ini dan hal tersebut bisa dipergunakan untuk menundukkan lawan bicara kita, tetapi gelagat tubuhnya sendiri tidak menunjukkan kalau dia ingin menyerangku. Semakin mendekati dan semakin jelas terlihat wajahnya. Pipinya cekung dengan bentuk dagu yang panjang. Alis hitamnya terlihat tebal; hidung mancung dan garis-garis kerutan pada dahinya bagaikan tanah kering yang retak. Berapa lama orang ini tidak makan? Tanyaku dalam hati. Perutnya seolah-olah telah menempel pada lambungnya, bahkan seluruh kulitnya terlihat tipis. Meskipun begitu, pria ini masih terlihat cukup berwibawa, tidak seperti manusia yang tengah mengalami kelaparan, apalagi terlihat seperti tengkorak berjalan. Sekarang dia melambai kepadaku, jari-jarinya yang panjang malah mengingatkanku dengan jariku sendiri. Sepertinya tidak ada bedanya aku dan dirinya sekarang ini.
Orang ini menyapaku dengan suaranya yang lembut. "Pagi tadi, aku melihatmu sedang tertidur di bawah sana, aku kira dirimu sudah mati. Kemana dirimu akan pergi, musafir?"
Aku ragu-ragu ingin menjawab, mungkin karena pandanganku yang terlihat ketakutan sekaligus waspada, dia memutuskan mundur beberapa langkah. "Jangan anggap aku sebagai orang gila, aku ini masih waras. Kebetulan aku tinggal di gua yang ada bukit ini."
Seperti dugaanku sebelumnya. Aku masih tidak ingin menjawab dan tetap lebih memilih untuk mengacungkan senjata, tetapi dia malah tersenyum ketika melihatku seperti ini. Orang ini malah mengingatkanku pada sosok Idris ketika kami bertemu Romeo untuk pertama kalinya. Kalau dipikir-pikir, aku selalu mengingat-ingat suatu hal. Aku tidak tahu kenapa harus selalu melakukan itu, mungkin ini kebiasaanku untuk mengingat dan membandingkan sesuatu yang kulihat dengan sesuatu yang terjadi sebelumnya. Aku berkata kepadanya untuk menjauh, lalu sedikit memberikan ancaman meskipun dengan nada suara getir yang tidak bisa ditahan untuk keluar dari kerongkonganku. Dia tampaknya ragu jika aku benar-benar berani untuk menggunakan pisau ini. Sekarang, posisiku sama seperti Romeo saat itu, sama-sama memiliki keraguan dalam mengancam orang lain.
Aku tidak tahu kenapa sesuatu yang diperbuat orang lain akan, atau bisa mengulang kepada diri kita juga. Orang bilang jika masa lalu akan terulang kembali di masa depan, dan apa yang dilakukan orang lain akan kita lakukan juga. Apakah sesuatu yang kualami sekarang ini merupakan semacam karma? Apakah bisa disamakan seperti itu? Ketika aku masih kecil dan pernah melakukan kenakalan yang diluar batas terhadap orang lain, dalam jangka waktu lima tahun aku sudah mendapatkan balasannya. Saat itu, akulah yang menjadi korban kenakalan orang lain, sesuatu tersebut terjadi lebih parah lagi daripada saat aku yang melakukannya. Tidak! Karma sendiri merupakan pembalasan terhadap sesuatu yang buruk, sedangkan yang terjadi terhadapku bukan diakibatkan karena suatu kejahatan yang telah aku dan Idris lakukan terhadap Romeo. Kemungkinan ini hanyalah sebagian dari hal-hal aneh yang terjadi di alam semesta ini, yang mana kejadiannya sendiri sering kali datang secara kebetulan atau di luar nalar. Sama seperti Dejavu yang mampu membingungkan ingatan kita terhadap waktu. Ya, ini hanyalah suatu kebetulan yang secara ajaib telah menimpa diriku.
Aku mencoba bergerak ke sisi kiri dengan tertatih-tatih, orang ini memperhatikanku dengan perasaan aneh tentunya, ekspresi herannya terhadapku dan alisnya yang bertaut telah membuktikan itu. Belum sempat untuk berjalan jauh, aku sudah tidak kuat dan jatuh dengan posisi berlutut. Aku mengerang kesakitan dan merendahkan tubuhku ke tanah. Mendadak, ada sesuatu yang menyentuh bagian bahuku dan aku sadar jika orang itu telah mendekat, lalu dia berbicara dengan sangat lembut untuk mencoba menenangkan. Ketika tubuhku diangkat perlahan olehnya, aku tidak bisa menolak lagi bantuannya. Aku tidak sanggup dan lebih memilih untuk membuang segala macam rasa curiga serta bahaya yang sedari tadi bergumul dalam pikiran. Dia membantuku berdiri, menuntunku untuk berjalan. Karena aku yang sudah benar-benar tidak kuat, maka orang ini meminta diriku untuk naik ke punggungnya. Aku menolak jika harus digendong, aku sendiri khawatir terhadap tenaganya yang barangkali aku bisa saja mencelakainya. Sayangnya penolakanku tidak diindahkannya, tangannya mencengkram tanganku dengan kuat dan meyakinkan diriku agar tidak perlu khawatir. Tidak ada pilihan lain, toh tidak ada gunanya juga berdebat dalam kondisi buruk seperti ini, yang kuinginkan hanyalah cepat-cepat beristirahat.
Tidak ada yang bisa menduga kapan kesialan dan keberuntungan akan datang. Tidak ada juga yang bisa menduga siapa yang akan menjadi penolongmu dalam perjalanan. Bisa saja orang yang terlihat buruk di mata kita, ternyata merupakan penolong yang paling baik di alam semesta. Pandangan-pandangan kita yang terlalu sinis barangkali telah menutupi itu semua, atau mungkin saja kitalah manusia yang lebih tak bermoral dari mereka-mereka itu. Akan tetapi, bisa jadi semua ini merupakan cara manusia untuk memproteksi dirinya dari sesuatu yang asing. Berhati-hati terhadap sesuatu hal yang tidak mereka kenali, atau bisa saja prasangka baik kita sendirilah yang ternyata salah, lalu orang yang terlihat buruk sejatinya memanglah memiliki tabiat yang buruk pula. Hidup ini terkadang tidak bisa ditebak kejadiannya, yang kita perlukan hanyalah bersiap untuk menyambut segala macam kejutan dan menerimanya dengan lapang dada.
Setelah melewati adegan drama di bukit itu, ternyata aku masih sempat-sempatnya terserang demam, butuh waktu seminggu agar aku bisa pulih kembali. Selama sakitku, orang inilah yang selalu merawat dan memberikan makan. Keadaan di dalam gua sangat dingin, sementara tubuhku hanya membeku di balik selimut kasar nan tebal. Aku juga tidak pernah mencoba untuk bertanya tentang asal makanan yang dibawanya. Suatu hari, ketika aku sudah mampu untuk bersandar pada dinding gua, samar-samar terdengar suara gumam pelan dengan kalimat yang selalu diulang-ulang. Ini meyakinkanku jika dia adalah seorang pertapa. Lalu setelah benar-benar sembuh, aku memilih untuk bertanya tentang dirinya dan tentang keadaan pohon-pohon di sini sebelum kedatanganku. Perihal apa pohon-pohon ini ditebang? Mula-mula aku bertanya tentang namanya, dia bilang kalau orang-orang memanggilnya dengan sebutan "kera gila" lalu dia tertawa setelah mengatakannya. Ini tidak lucu bagiku, dan memilih untuk tidak ikut tertawa. Dia baru berhenti saat melihat raut wajahku yang menatapnya dengan serius, lalu melanjutkan. "Kau boleh memanggilku Jacob."
"Namaku Oscar, salam kenal! Sebelumnya aku juga ingin berterima kasih atas bantuan yang telah kau berikan, serta aku harus meminta maaf karena pernah menodongkan senjata ke arahmu. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu perihal pohon-pohon yang ada di bukit ini. Siapa yang menebangnya dan kenapa harus ditebang?"
"Kau langsung bertanya keintinya, ya? Baiklah, aku bisa menjelaskannya sedikit. Kau lihat perkampungan padat yang ada di sana?" Jacob menunjuk ke arah bangunan-bangunan bertingkat dan padat yang ada di depan mataku. Dari atas sini tempat itu terlihat sangat kumuh dan berdesak-desakan. Keseluruhan tempat itu tidaklah luas, kemungkinan juga para penghuninya sangatlah banyak. Lalu dia melanjutkan. "Beberapa orang yang terdiri dari laki-laki telah datang kemari sambil membawa banyak alat, mereka memutuskan untuk menebang semua pohon yang ada dan menjadikannya sebuah bangunan pondok. Kau pasti sudah melihat bangunan itu saat datang kemari."
"Kenapa tidak kau halangi perbuatan mereka?" kataku. Sepertinya pertanyaan yang kulontarkan telah membuatnya sedikit bingung, dan aku juga menyadari jika pertanyaanku seolah-olah merupakan suatu tuntutan untuknya. Aku jadi merasa tidak enak.