"Dia penculik yang sedang kita cari, ada kemungkinan dia tidak bekerja seorang diri."
"Bagaimana dengan anak itu? Kalian tidak menemukannya?"
"Untuk itu kami harus minta maaf, kami sudah berusaha sekeras mungkin mencari kesegala tempat. Sepertinya, ada baiknya jika kita buat orang ini mengaku, jika tidak mengaku juga, maka lebih baik kita eksekusi saja sebagai balasan yang setimpal."
Suara-suara itu kudengar dari balik pintu yang terbuat dari jeruji besi. Aku tidak tidur, makanya aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka. Orang-orang menuduhku sebagai penculik, padahal nyatanya aku bukanlah seperti yang mereka tuduhkan. Suara pintu terbuka, disusul dengan suara langkah kaki yang mendekat. Sebelum sempat untuk bangun, tubuhku lebih dulu diangkat oleh seseorang dan didudukkan pada bangku yang ada dalam ruangan ini. Kepalaku tertunduk lesu, rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat untuk hidup. Dalam pikiranku sudah terbayang akan kematian yang mendekat, padahal diriku belum lagi siap dan masih takut untuk menghadapi yang namanya mati. Idris pernah mengajarkan untuk tidak banyak berpikir perihal masalah kematian. Mau mati dengan cara apapun, itu tidak penting, yang harus kusiapkan adalah keyakinan dan keberanian. Sekalipun aku sempat memikirkan kata-kata bijak Idris, tetapi keadaannya jauh berbeda ketika kita hanya mendengarkan sebuah teori yang keluar dari mulut dengan begitu entengnya. Berbanding terbalik saat kita sendirilah yang menjalaninya. Itulah kenapa berbicara lebih mudah daripada mencoba. Rasa takut dalam hatiku teramat sangat besar, hanya saja aku saat ini tidak mampu untuk menunjukkannya melalui wajahku, mungkin karena aku terlalu lemah serta kepalaku yang masih terasa sakit. Namun, rasa takut itu telah membuat hatiku seperti berdebar dengan kencang, sampai akhirnya diriku merasakan putus asa. Jika waktuku berakhir di sini, maka habis sudah perjalananku. Manusia di depanku saat ini mengangkat kepalaku agar terlihat dengan jelas. Dia menahannya dan terlihatlah olehku wajah dari seorang pria dengan tampang kejam. Sementara yang lainnya sibuk memberitahukan kepada orang ini perihal diriku, dan mereka memanggil orang yang ada di depanku dengan sebutan "Sherif".
Dia pastilah sangat berpengaruh di tempat ini. Terdengar dari cara yang lain berbicara kepadanya dengan nada yang sopan. Berhubung orang ini tidak mengatakan apapun, maka aku lebih dulu untuk bersuara. Aku mengatakan jika diriku tidaklah bersalah, tuduhan penculikan tersebut tidak benar adanya. Untuk pria yang besar sekaligus kejam, ternyata dia merupakan seorang yang bijak. Dirinya memberikanku kesempatan untuk menjelaskan semuanya, serta masih sempat untuk memberikanku minum dan makan agar aku mempunyai tenaga saat berbicara. Hal seperti ini membuat kepercayaan diriku semakin bertambah, sekaligus memberikan rasa haru terhadap batinku. Instingku meminta agar aku berlutut dan menghiba dihadapannya, tetapi aku masih menahan tindakan tersebut. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatnya merasa terganggu. Semua kebenaran kujelaskan dengan suara yang serak, sementara sang Sherif mengangguk saat mendengar keseluruhan cerita yang kusampaikan. Setelah selesai, mereka semua berdiskusi dengan cara bergumam pelan, aku tidak dapat mendengar apapun, aku hanya berharap ada kemurahan hati dari pria besar itu. Setelah ditunggu, ternyata tidak ada ucapan apapun yang akan diberikannya untukku. Aku ditinggalkan kembali oleh mereka, ini membuat harapanku menjadi sirna.
Tidak ada kabar apapun terhadap diriku dalam waktu yang lama. Kehidupanku di luar telah membuatku melupakan waktu dan hari, hanya makan dan minum seadanya saja yang bisa orang-orang itu bawakan. Saat aku mencoba bertanya kepada setiap penjaga yang masuk, mereka enggan untuk menjawab, bahkan ada yang meludah ke arahku. Sementara di luar banyak sekali warga yang menonton, seolah-olah aku adalah hewan buas yang tertangkap dan dimasukkan dalam kandang. Mereka tampak penasaran ingin melihat diriku, sebagiannya menghardik bahkan anak-anak pun ikut pula meneriakiku. Aku tidak punya niatan untuk memohon kepada mereka atau berteriak dari dalam sini. Sudah jelas jika mereka tidak akan mendengarkan, sementara tenagaku hanya terkuras sia-sia. Saat malam tiba, aku selalu berharap jika Idris atau Dehan, akan singgah ke tempat ini dan membebaskanku. Mereka akan bersaksi tentang tuduhan-tuduhan yang kuterima. Sekalipun aku juga beranggapan jika hal tersebut sangatlah mustahil, karena malam berlalu begitu saja dan tidak terjadi apa-apa. Suatu waktu, ada seorang anak kecil, dia adalah anak laki-laki yang memandangiku cukup lama sambil berjongkok. Dia tidak seperti anak yang lainnya, yang selalu mengejek atau melempariku dengan batu. Anak ini bertanya tentang asalku, lalu bertanya lagi mengenai alasanku menculik anak kecil. Kujelaskan jika tidak satupun seorang anak yang pernah kutangkap, dan aku bukanlah kriminal, serta tuduhan semua orang adalah bohong. Saat kusebut nama Jacob, anak ini menjawab jika ibunya selalu memberikan makanan untuk orang tua itu. Aku merasa gembira saat mendengarnya, mungkin aku bisa minta tolong dengan anak ini agar melaporkan keadaanku di sini kepada Jacob. Akan tetapi anak itu merasa ragu-ragu, lalu dia hanya mengatakan "iya", aku tidak tahu apakah dia benar-benar akan menyampaikannya atau tidak, tetapi aku berharap jika dia bisa membantuku. Lalu pada suatu hari aku mendapat kabar jika Jacob dalam keadaan baik-baik saja, serta dia mengatakan jika tidak dapat membantuku untuk bersaksi atau membebaskannya, dia sendiri mendapat ancaman untuk tidak ikut campur tentang masalah ini. Anak itu sendiri yang membawa laporannya. Aku berterima kasih atas kesediaannya membantuku sekaligus aku juga berduka karena tidak ada lagi yang bisa kuharapkan. Terpikir olehku untuk meminta bantuan yang lain, entah atas dasar dan prasangka apa, aku masih sempat-sempatnya meminta agar anak ini bersedia menyalin peta yang ada di dinding gua itu ke dalam lembaran kertas. Saat kuminta, dia menolak dengan alasan tidak pandai menulis atau menggambar. "Kau punya alat tulis dan kertas?" tanyaku kepadanya. Dia menjawab, "ya, aku punya, tapi untuk kertas aku tidak tahu pasti." Kukatakan kepadanya jika itu bukanlah suatu masalah. Pergilah kepada Jacob, kataku, lalu mintalah tasku dan carilah sebuah kain putih di dalamnya, minta Jacob agar menyalin gambar peta itu. Inilah instruksi yang kuberikan untuknya, dia mengangguk patuh dan langsung bergegas untuk pergi. Dalam hati, aku merasa sangat bersyukur karena masih ada yang mau membantuku, sempat juga terpikir agar aku bisa memanfaatkan anak ini untuk melarikan diri dari penjara. Namun, hal tersebut merupakan sebuah kesembronoan jika aku sampai berani melakukannya. Saat salinan peta telah selesai dan sampai di tanganku dengan aman, dikarenakan penjara ini tidak memiliki penjaga khusus dan letaknya tepat mengarah ke jalan umum, maka segala komunikasiku terjadi tanpa ada kendala. Anak ini juga terkadang membawakan makanan berupa daging panggang yang dipotong tipis-tipis. Sayangnya anak itu terlalu jujur untuk mengatakan jika ini merupakan daging tikus yang diolah. Itu tandanya aku selalu melahap daging tikus ketika dalam keadaan sakitku. Tak ada gunanya lagi mengeluh atau merasa jijik, aku sudah memakannya berkali-kali tanpa kusadari. Pahaku yang kurus kumanfaatkan untuk menyembunyikan kain tersebut, aku mengikatkannya di sana. Meskipun tak ada kepastian kapan aku akan dibebaskan, aku masih mempunyai harapan yang besar untuk bisa pergi ke hutan laut. Tak ada lagi jalan untuk kembali, sekarang hanyalah maju atau mati, itu yang ada di benakku selama dikurung di sini.